Pembentukan Identitas Perempuan Islam Jawa

Kurniawati Hastuti Dewi dalam Javanese Women and Islam: Identity Formation since the Twentieth Century (2012), menyebut Islam kekuatan transformatif bagi pergeseran identitas perempuan Jawa, terutama terkait dengan pada peran dan statusnya. Identitas Perempuan pada mulanya berbasis budaya, lalu beralih menjadi berbasis religio-kultural. Pergolakan ini berlangsung sejak akhirabad ke-16 M, dan menemukan bentuk konservatifnya hingga abad ke-21 M saat ini.

Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku

Di Jawa, konsep ngelmu hanya dapat diketahui berdasarkan ketajaman batin serta penghayatan pribadi, bukan dengan aktivititas otak atau pikiran (Soesilo, 2000). Fasenya,ada ngelmu kanuragan yang dikaitkan dengan fase Kanoman, dan ngelmu kasampurnan yang dikaitkan dengan fase Kasepuhan.

Menunggu Datangnya Ratu Adil

Orang Jawa menggunakan konsep Ratu Adil sebagai pengharapan atas datangnya sosok penyelamat yang memulihkan keselarasan dengan alam dan kesentosaan. Diwarisi dari konsep Erucakra dalam tradisi Hindu-Jawa. Meski begitu, konsep tersebut terlalu abstrak. Karenanya diberi muatan makna baru melalui konsep Kristus Sang Juru Selamat dariajaran Kristen, dan konsep Imam Mahdi dariajaran Islam. Dalam sejarah, harapan akan datangnya Ratu Adil pernah diberikan kepada Pangeran Diponegoro. Melalui pemaknaan baru, Sang Pangeran adalah representasi Erucakra, Ratu Adil, dan Imam Mahdi pada saat bersamaan.

Melawan Radikalisme dengan Suka-Cita

Dalam “Muslim Education, Celebrating Islam and Having Fun As CounterRadicalization Strategies in Indonesia” (2010) Mark Woodward bersama sejumlah koleganya menawarkan Pendidikan Muslim yang konstruktif dan perayaan hari-hari besar Islam yang meriah sebagai strategi melawan radikalisme.

Menyelami Konsep Erotika Jawa

Dalam kajiannya yang panjang terhadap Serat Centhini, Elizabeth Inandiak menemukan istilah ‘sir’ yang menjadi garis batas antara konsep erotika Barat dengan Jawa. ‘Sir’ adalah sebuah khalayan sebelum terjadinya sanggama, sebuah ketakjuban
panca indera melewati khayalan dan pikiran. Di Jawa, erotika tidak perlu tubuh ragawi, erotika hanya perlu khayalan. Puncak erotika itu sekaligus jalan mistik penyatuan (kemanunggalan).