Akar Kepunahan Harimau di Jawa

Robert Wessing dalam “The Last Tiger in East Jawa: Symbolic in Ecological Change” (1995) menggambarkan kepunahan harimau Jawa disebabkan oleh perubahan pandangan kosmologis masyarakat Jawa terhadap harimau. Awalnya harimau dianggap perwujudan roh leluhur, tetapi pada masa Amangkurat ll (Era Mataram, 1677-1703), Keraton menggambarkan harimau sebagai gangguan, dan karenanya harus dimusnahkan. Kajian ini mungkin didukung secuil bukti kesejarahan, tetapi sangat tendensius karena mencuci dosa-dosa kolonialisme atas kepunahan harimau di Jawa

 

Masyarakat Jawa memiliki pandangan kosmologi tersendiri terkait harimau. Pandangan ini setidaknya terbagi menjadi dua dan saling bertolak belakang, pandangan pertama diwakili oleh masyarakat desa dan
pandangan yang kedua di wakili oleh pihak Keraton Islam. Masyarakat desa memandang bahwa harimau adalah perwujudan roh leluhur yang menjaga keseimbangan hutan dan desa, sedangkan pihak Keraton memandang harimau sebagai sebuah ancaman yang liar dan buas.

Robert Wessing dalam “The Last Tiger in East Jawa: Symbolic in Ecological Change” (1995) telah mendeskripsikan bagaimana transformasi pandangan kosmologis masyarakat Jawa terhadap alam mempengaruhi kepunahan harimau. Wessing beranggapan akar permasalahan atas kepunahan harimau di Jawa tidak serta merta murni dari pengaruh Barat, melainkan masyarakat Jawa itu sendiri yang
menyebabkan penurunan populasi harimau di Jawa.

Di dalam tulisan ini Wessing menuturkan bagaimana populasi harimau menurun drastis akibat visi baru tentang alam yang dicanangkan Keraton. Harimau yang semula digambarkan sebagai roh leluhur, berubah menjadi makhluk asing, dan menghambat dominasi manusia terhadap lingkungan. Karena pandangan inilah, harimau dianggap sebagai ancaman yang harus dimusnahkan. 

Wessing menjelaskan bahwa pada tahun 1822 harimau masih dapat ditemukan dengan mudah di hutan-hutan di Jawa. Hewan ini tergolong salah satu hewan yang umum ditemukan di semua hutan. Kehidupan antara masyarakat dan harimau hidup berdampingan. Harimau juga jarang menganiaya manusia, bahkan lebih melindungi masyarakat dari satwa liar. Kehidupan masyarakat dan harimau sama-sama berevolusi di tepi hutan. Harimau berevolusi secara biologis dan masyarakat berevolusi secara simbolis dan budaya.

Awal dari petaka kepunahan harimau Jawa terjadi pada abad ke-19 M, yang diawali dengan pembukaan lahan di Jawa. Hal ini mendorong migrasi ribuan orang dari Jawa Tengah dan Madura. Perebutan ruang hidup membuat harimau jadi lebih sering turun ke desa dan menyerang masyarakat. Ada setidaknya 2.500 orang lebih yang mati akibat diserang harimau pada masa itu. Karenanya, citra harimau berubah
menjadi buas dan liar. Di sisi lain, pemerintah kolonial juga mulai memperkerjakan pemburu harimau, penggunaan senjata di tahun tersebut memungkinkan pemburu membunuh harimau lebih banyak daripada sebelumnya.

Hingga di tahun 1940-an harimau diperkirakan hanya tersisa sekitar 300 ekor. Ada perbincangan tentang pembuatan cagar alam, tetapi terhambat akibat perebutan ruang hidup oleh manusia dan perebutan dana untuk pembangunan strategis nasional. Hingga di tahun 1962 harimau tidak pernah terlihat lagi. Meski begitu, masyarakat desa tetap meyakini bahwa harimau ada di sana, di dalam hutan.

Jauh sebelum modernisasi menginvasi desa-desa, masyarakat Jawa meyakini bahwa harimau maupun hutan sebenarnya memiliki hubungan yang erat. Ada sebuah jalinan layaknya persahabatan di antara mereka. Harimau dianggap sebagai penguasa dan sekaligus pelindung hutan, begitu juga sebaliknya.

Harimau sendiri selain digambarkan sebagai penguasa hutan, ia juga direpresentasikan sebagai hewan yang memiliki kekuatan magis. Salah satu kekuatan yang dimilikinya adalah kemampuan untuk menghilang. Bahkan harimau sendiri tabu untuk dilihat oleh masyarakat. Ada keyakinan bahwa ketika harimau terlihat dia akan dihukum untuk bersemadi selama 40 hari untuk mengembalikan kekuatannya.

Memang kepercayaan masyarakat pedesaan memandang harimau sebagai representasi kekuatan roh, perwujudan ilmu, danyang, dan dukun. Dimana pada nantinya menggambarkan jalinan gaib antara manusia dan harimau. Seperti dalam cerita danyang Patrilineaga Singa di Lumajang yang kekuatannya mampu mengubah harimau menjadi manusia untuk membantu membuka hutan. Konon, manusia harimau tersebut menikahi manusia dan memiliki keturunan yang sama-sama berwujud manusia harimau.

Terlepas dari itu memang sering digambarkan bahwa manusia ataupun harimau memiliki jiwa yang sama. Sehingga tak jarang ketika seseorang memasuki hutan, orang tersebut menggantikan kata harimau dengan sebutan kakek dan nenek untuk menggambarkan hubungannya dengan sang harimau.

Pandangan kosmologi masyarakat desa tersebut, sebenarnya hampir mirip dengan pandangan Keraton era Panembahan Senopati (Era Mataram, 1575-1601). Konon, Senopati beserta keturunannya memiliki hubungan dengan raja harimau. Legenda mengatakan bahwa Senopati menikahi roh ini, untuk menjaga kesejahteraan Keraton. Keturunan Senopati pun dianggap secara bergantian melakukan pernikahan ini.

Pandangan itu pada akhirnya mengalami transisi pada era Amangkurat ll (Era Mataram, 1677-1703) di mana keraton menggambarkan harimau sebagai gangguan dan mengganggu keselarasan kosmik kehidupan manusia. Itulah asalan mengapa perburuan terhadap harimau digalakan, dan hingga abad ke-20 M awal masih dapat dijumpai acara seremonial tahunan, seperti macan rampok di Jawa (upacara pembunuhan harimau). Harimau yang dibunuh menggambarkan sebuah bentuk pemulihan tatanan sosial dan pembersihan sisi liar masyarakat.

Di sini dapat diamati bahwa terdapat ambiguitas dalam memandang harimau, antara masyarakat desa dengan Keraton. Pertentangan pemahaman juga terjadi antara Keraton dengan kekuasaan hutan. Pertentangan ini terdapat di balik cerita pertunjukan Reog Ponorogo. Kesenian ini bercerita tentang kekalahan harimau dan manusia harimau yang bernama Singo Barong, ketika Patih Bandar Angin mempersiapkan pernikahan antara Rajanya dengan putri Kediri, ia diminta untuk menangkap 150 harimau di hutan Roban.

Singo Barong selaku roh harimau pelindung hutan marah atas penculikan 150 harimau bawahannya. Ditemani banyak harimau ganas dia lalu menyerang prosesi pernikahan di istana. Singa barong mengubah bentuknya menjadi manusia harimau. Namun pada akhirnya Singo Barong dan pasukannya dikalahkan dan raja. Prosesi pernikahan pun berlanjut. Seluruh pasukan Singo Barong dibunuh, meski begitu Singo Barong dibiarkan hidup untuk tetap melayani raja.

Wessing mengatakan, penggambaran harimau sebagai yang asing dan liar bukanlah sepenuhnya merupakan inovasi dari Barat. Keraton Jawa telah mencirikan hutan sebagai yang asing dari bentuk konsep negara yang teratur, dan membenarkan kepunahan harimau terjadi. Meski pandangan Wessing ini mendapat pembenaran data-data kesejarahan, akan tetapi ulasannya terasa tendensius karena seolah bersikap ‘cuci tangan’ akan dosa-dosa praktik kolonialisme Barat yang ikut andil atas kepunahan harimau di Jawa.

Menyebut perubahan pandangan kosmologi masyarakat Jawa sebagai aktor yang paling bertanggung jawab atas kepunahan harimau, jelas tidak berbanding lurus dengan fakta bahwa legalisasi pemburu harimau, penggunaan senjata, dan pembukaan lahan menjadi faktor yang paling mempercepat kepunahan harimau. []

 

Terpopuler

Harimau Jawa, Riwayatmu Kini!

Harimau Jawa (Panthera tigris sondaicus) telah lama dinyatakan punah, namun jejaknya tetap hidup...

Penyihir dan Kontrol atas Tubuh Perempuan

Perempuan sakti di beberapa budaya dicitrakan negatif dalam politik ingatan. Mereka digambarkan...

Kemerosotan Tayub

Tayub merupakan tarian Jawa yang kontroversial karena nuansa erotik dan ritual mistisnya. Melalui...

Waranggana

Waranggana merupakan simbol perempuan Jawa yang kuat dan mandiri, berperan penting dalam ekonomi dan...

Desa Proyek Kolonial?

Desa di Jawa yang kita kenal saat ini merupakan hasil proyek kolonial yang melembagakan struktur...

Integrasi Kurikulum Nasional di Pesantren

Proses Integrasi kurikulum nasional di pesantren Indonesia dan Thailand Selatan mencerminkan dua...

Ragam Messianisme Di Indonesia

Messianisme di Indonesia mencerminkan keragaman budaya dan sejarah masyarakat yang meliputi...

Bakung 1967-1968: Potret Kelam Perang Pangan

Bakung 1967-1968 menggambarkan konflik antara Orde Baru (Orba) dan PKI yang menggunakan pangan...

Dukun Manten di Jawa

Dukun pengantin dalam tradisi pernikahan Jawa memainkan peran penting sebagai pembimbing spiritual...