Makanan sering kali menjadi alat bagi penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya, termasuk dalam dinamika politik dan konflik kekuasaan. Salah satu kasus nyata terjadi di Desa Bakung, Kabupaten Blitar bagian selatan, sekitar tahun 1967-1968. Desa ini menjadi saksi bisu kekejaman genosida yang dilakukan oleh rezim Orde Baru terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mereka yang dianggap simpatisan. Selain itu, Bakung juga menjadi arena perebutan dominasi politik dan ekonomi antara Orde Baru dan PKI, di mana makanan digunakan sebagai senjata strategis dalam persaingan tersebut. Dampaknya, terjadi perubahan besar dalam pola pertanian di Blitar Selatan, yang sebelumnya bersifat tradisional berubah menjadi modern.
Potret suram peristiwa di Bakung terekam dalam risalah akademik Vannesa Hearman yang berjudul “Sweet Potato Dreaming: Development, Displacement and Food Crisis in South Blitar, East Java, 1968” (2015). Hearman menjadikan makanan sebagai sudut pandang utama untuk menelusuri dampak operasi militer tahun 1967-1968 terhadap perubahan pola budidaya pangan dan konsumsi masyarakat di Bakung. Penelitiannya juga mengungkap bahwa makanan berperan sebagai senjata efektif untuk memperkuat dominasi kekuasaan. Pada masa itu, terdapat dua kubu utama yang menggunakan makanan sebagai instrumen legitimasi kekuasaan, yakni PKI dan rezim Orde Baru.
Gerakan 30 September dan Kembali ke Desa
Hearman memulai pembahasannya dengan mengisahkan perjuangan sisa-sisa anggota PKI yang melarikan diri ke Bakung untuk mencari perlindungan dari operasi militer rezim Orde Baru. Peristiwa ini berawal dari tragedi 1 Oktober 1965, ketika terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya Gerakan 30 September. Peristiwa kelam tersebut, yang diduga melibatkan unsur-unsur militer, dimanfaatkan oleh Mayor Jenderal Soeharto untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya dengan menuduh PKI sebagai dalang utama. Ancaman dari militer memaksa para anggota PKI untuk mengungsi ke Bakung, sebuah wilayah yang dianggap aman karena memiliki basis pendukung yang cukup kuat.
Pada tahun 1966, cabang PKI Jawa Timur melakukan penyelidikan atas kelayakan Bakung sebagai lokasi persembunyian, pertemuan dan pengaturan kekuatan baru untuk melawan militer. Desa ini dipilih karena mendapat dukungan kuat dari masyarakat sekitar, yang sebelumnya telah menunjukkan dukungan yang kuat terhadap PKI dalam pemilihan umum (pemilu) 1955 dan 1957. Selain itu, Blitar Selatan juga merupakan basis organisasi sayap kiri yang terdiri dari petani, seniman dan perempuan.
Sesampainya di Bakung, para pengungsi PKI disambut hangat oleh masyarakat lokal yang menyediakan tempat tinggal bagi mereka. Untuk memudahkan proses integrasi, pemimpin PKI setempat memerintahkan anggotanya beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Sebagai bentuk rasa terima kasih, mereka menyelenggarakan pelatihan pertanian modern untuk meningkatkan produktivitas panen petani lokal. Namun, di balik program tersebut, terdapat tujuan strategis untuk membangun basis revolusioner progresif guna melawan kekuatan militer.
Sistem Pertanian Tradisional di Bakung
Sebelum kedatangan para pelarian PKI, Bakung memiliki sistem pertanian tradisional yang unik. Menurut Hearman, para petani di wilayah ini mampu merancang perhitungan yang cermat dan menerapkan sistem pertanian yang disesuaikan dengan berbagai faktor, seperti ketahanan pangan, kondisi geografis, siklus musim, serta kebutuhan nutrisi dan gizi mereka. Hasil pertanian pun sepenuhnya difokuskan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari, atau dikenal dengan sistem subsistensi.
Secara geografis, lahan pertanian di Bakung terbilang tidaklah subur, karena didominasi oleh tanah kapur. Kondisi yang sedemikian rupa, menyebabkan kesulitan para petani baik pada musim kemarau atau musim hujan. Masyarakat Bakung harus dihadapkan dengan kondisi kekeringan ekstrim saat kemarau tiba. Sementara saat datangnya musim penghujan, daerah tersebut tergenang air karena tanah kapur tidak mampu menyerapnya dalam jumlah banyak.
Secara geografis, lahan pertanian di Bakung tergolong kurang subur karena didominasi oleh tanah kapur. Kondisi ini menyulitkan para petani, baik di musim kemarau maupun musim hujan. Saat kemarau, wilayah tersebut menghadapi kekeringan ekstrem, sementara di musim penghujan, tanah kapur yang tidak mampu menyerap air dalam jumlah besar menyebabkan daerah ini tergenang.
Untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrem, para petani mengandalkan sistem pertanian tradisional yang telah diwariskan secara turun-temurun. Hearman mencatat bahwa salah satu strategi utama mereka adalah penggunaan teknik terasering dan tumpang sari untuk menunjang kebutuhan pangan. Lahan pertanian biasanya ditanami padi kering (padi gogo) bersama dengan berbagai jenis umbi-umbian, palawija, dan kacang-kacangan.
Menurut Hearman, sistem pertanian tradisional ini merupakan hasil perhitungan cermat para petani untuk mempertahankan kehidupan sekaligus mengelola risiko ketahanan pangan. Mereka melakukannya dengan memperbanyak keanekaragaman tanaman pangan. Sebagai contoh, singkong atau tiwul digunakan sebagai makanan pokok, beras disediakan untuk anak-anak kecil dan acara seremonial, sementara hasil palawija dan kacang-kacangan dimanfaatkan untuk menunjang kebutuhan keuangan.
Pertanian Lokal dalam Bayang-Bayang Modernisasi
Kedatangan PKI membawa perubahan signifikan pada pola pertanian di Bakung. Setelah tiba di wilayah tersebut, partai politik ini segera mengadakan pelatihan pertanian modern untuk meningkatkan produksi beras. Hearman mencatat bahwa program ini dilatarbelakangi oleh pandangan PKI yang menganggap masyarakat lokal masih “primitif,” merujuk pada singkong atau tiwul sebagai makanan pokok mereka. Oleh karena itu, modernisasi pertanian dianggap sebagai langkah penting untuk memenuhi kebutuhan beras.
Pandangan serupa juga dipegang oleh Orde Baru, yang memprioritaskan modernisasi pertanian di Bakung. Melalui program Revolusi Hijau pada 1967-1970, pemerintah menandatangani kontrak dengan perusahaan Swiss, CIBA, untuk menyediakan peralatan teknis guna meningkatkan produksi beras. Langkah ini menjadi bagian dari strategi nasional untuk mencapai swasembada pangan.
Namun, cara pandang kedua pihak—PKI dan Orde Baru—terhadap sistem pertanian lokal di Bakung dinilai cenderung semena-mena. Keduanya gagal mempertimbangkan secara cermat teknik pertanian tradisional yang telah disesuaikan dengan kondisi alam setempat. Baik PKI maupun Orde Baru mengukur kesejahteraan masyarakat secara sempit, hanya berdasarkan ketersediaan beras yang melimpah. Hearman juga menyoroti bagaimana elit perkotaan, termasuk pengungsi PKI dan pemerintah, memandang rendah singkong, yang dianggap sebagai simbol kemiskinan.
Singkong sering dikaitkan dengan kemiskinan dan malnutrisi, seperti yang diungkapkan ahli gizi Burhanudin Napitupulu pada 1968. Ia berpendapat bahwa tingginya konsumsi singkong menjadi salah satu penyebab utama masalah gizi. Pandangan ini mencerminkan paradigma modern yang cenderung menghubungkan keterbelakangan dengan inferioritas makanan, sebagaimana diuraikan oleh Corinna (2007). Namun, Hearman menolak anggapan tersebut. Ia mengutip pernyataan Pierre Van Der Eng, yang menegaskan bahwa konsumsi singkong tidak dapat secara langsung dikaitkan dengan kemiskinan atau gizi buruk.
Konflik Pangan dan Transformasi Sistem Pertanian Tradisional
Program modernisasi pertanian yang digagas oleh PKI dan Orde Baru justru berakhir dengan malapetaka. Setidaknya ada dua konsekuensi utama dari program tersebut: pertama, konflik politik yang memicu operasi militer, dan kedua, pergeseran sistem pertanian tradisional. Dampak dari dinamika ini membuat masyarakat Bakung menderita akibat krisis pangan yang luar biasa.
Penderitaan ini berawal dari program modernisasi pertanian yang digunakan sebagai alat politik oleh PKI dan Orde Baru untuk melegitimasi kekuasaan masing-masing. Kedua pihak berlomba merebut dominasi melalui berbagai program, khususnya untuk meningkatkan produksi beras. PKI meluncurkan pelatihan pertanian modern, sementara Orde Baru mengimplementasikan program Revolusi Hijau. Namun, karena adanya motif politik yang mendasari kedua program tersebut, konflik politik tak terhindarkan, hingga akhirnya memicu operasi militer.
Pada 1 Juni 1968, rezim Orde Baru melancarkan operasi militer yang dikenal sebagai Operasi Trisula untuk menumpas sisa-sisa PKI di Bakung. Rezim mengklaim operasi ini dilakukan karena PKI diduga merencanakan pemberontakan dan ingin mendirikan pemerintahan de facto di Blitar Selatan. Namun, menurut Hearman, alasan utama di balik Operasi Trisula bukanlah ancaman pemberontakan, melainkan upaya Orde Baru untuk memperkuat dominasi politik dan ekonominya di Bakung, yang dianggap terancam oleh keberadaan PKI. Konflik berdarah ini menjadi bukti bahwa politik penyediaan pangan di Indonesia merupakan inti dari hubungan antara negara dan masyarakat serta alat legitimasi kekuasaan (Vu, 2003).
Sayangnya, dampak terburuk dari konflik ini justru dirasakan oleh masyarakat Bakung. Selama operasi militer, warga dipaksa mengungsi ke kamp penahanan militer tanpa pasokan pangan yang memadai. Selain itu, lahan, tanaman, ternak, dan persediaan makanan yang mereka tinggalkan dirusak atau dijarah oleh militer dan pelarian PKI. Akibatnya, masyarakat Bakung mengalami kelaparan yang sangat parah.
Penderitaan masyarakat Bakung tidak berakhir setelah operasi militer selesai. Wilayah tersebut tetap dilanda krisis pangan dan penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan makanan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Orde Baru meluncurkan sejumlah program, termasuk pelatihan peternakan, perikanan, pertanian berbasis komoditas, dan pengembangan industri kreatif, yang semuanya diawasi oleh militer sebagai kepala desa. Namun, bukannya memperbaiki kondisi, program-program ini justru semakin memperburuk situasi.
Program-program tersebut mengubah corak pertanian lokal yang telah disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Konsumsi beras meningkat pesat, menggeser singkong sebagai makanan pokok masyarakat. Ladang-ladang yang dulunya dipenuhi keanekaragaman tanaman harus digantikan dengan tanaman komoditas yang ditentukan pemerintah. Pergeseran ini menandai transformasi sistem ekonomi lokal dari subsistensi menjadi berbasis komoditas. Ironisnya, program-program tersebut gagal, dan masyarakat semakin menderita karena lahan mereka dirampas oleh militer.
Potret Bakung, sebagaimana diuraikan oleh Hearman, memberikan wawasan penting tentang awal mula pergeseran pertanian tradisional Jawa menjadi pertanian modern secara total. Transformasi ini bermula sejak dicanangkannya proyek Revolusi Hijau oleh Orde Baru. Artikel ini juga menegaskan bahwa makanan tidak hanya menjadi kebutuhan pokok, tetapi juga alat strategis bagi penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya, yang pada akhirnya menjadi penyebab utama pergeseran sistem pertanian.