Penyihir dan Kontrol atas Tubuh Perempuan

Perempuan sakti di beberapa budaya dicitrakan negatif dalam politik ingatan. Mereka digambarkan sebagai ancaman terhadap tatanan sosial patriarki, sehingga harus ditundukkan atau disingkirkan. Narasi ini bertahan hingga kini dalam budaya populer dan politik, memperlihatkan bagaimana kontrol atas tubuh dan suara perempuan masih berlangsung sebagai bagian dari struktur kekuasaan yang lebih luas.
Kemerosotan Tayub

Tayub merupakan tarian Jawa yang kontroversial karena nuansa erotik dan ritual mistisnya. Melalui pendekatan antropologis, Robert W. Hefner menyoroti berbagai faktor yang menyusutkan eksistensi tayuban. Suatu kenyataan pahit bahwa tayuban kini semakin tersisihkan, menuju kepunahan sebagai dampak tak terhindarkan dari perubahan zaman.
Waranggana

Waranggana merupakan simbol perempuan Jawa yang kuat dan mandiri, berperan penting dalam ekonomi dan harmoni sosial. Mereka tidak hanya menghibur, tetapi juga menjaga keseimbangan nilai tradisional melalui “Skenario Rayuan.” Namun, citra harmoni ini terguncang akibat tragedi 1998, di mana perempuan menjadi korban kekerasan massal.
Diponegoro dan Identitas Nasionalisme

Pangeran Diponegoro memimpin Perang Jawa (1825–1830) melawan penjajahan Belanda, membangkitkan semangat nasionalisme Indonesia. Perjuangannya mengintegrasikan nilai spiritual dan budaya lokal, membentuk identitas kebangsaan. Meski akhirnya ditangkap dan diasingkan, semangat perjuangannya menginspirasi generasi penerus untuk melawan penindasan dan memperjuangkan keadilan.
Sufisme Jawa dalam Serat Centhini

Soebardi dalam “Santri-Religious Elements As Reflected In The Book Of Tjëntini” (1971) mengungkap laku spiritual Syekh Among Raga mencapai tahap manunggal (penyatuan). Untuk mencapai kesempurnaan itu, orang harus memadukan pengetahuan esoteris (widji nugraha) dan pengetahuan eksoteris (wadah sakalir). Menurutnya, wadah sakalir dan widji nugraha harus saling melengkapi. Inilah puncak spiritualitas di Jawa.