Justus Maria van der Kroef dalam “Prince Diponegoro: Progenitor of Indonesia Nationalism” (1949), menyajikan Pangeran Diponegoro sebagai pionir pergerakan nasionalisme Indonesia. Ini terlihat ketika Diponegoro berhasil memimpin perjuangan rakyat Jawa dalam melawan Belanda selama Perang Jawa (1825-1830). Perang yang bukan hanya sekedar aksi militer, tetapi juga menjadi momen penting bagi penegasan identitas bersama antar bangsa Indonesia yang terpisah dari pengaruh kolonial Barat. Betapapun konsep negara Indonesia ketika itu belum terbentuk, sosok Diponegoro dinilai sebagai peletak tonggak semangat dan spirit nasionalisme dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Kroef menyoroti bagaimana Diponegoro memiliki ciri khas tersendiri dalam membangun indentitas nasionalisme. Identitas nasionalisme yang dibangun Diponegoro menggabungkan nilai-nilai spiritual dan etika dari agama-agama terdahulu (Hindu-Muslim). Ini tentu saja menggambarkan bagaimana Diponegoro menekankan pentingnya teologi serta mistisisme sebagai bagian dari budaya dan karakter bangsa.
Selain itu, Diponegoro juga dipandang sebagai seorang mistikus, dimana corak mistisisme terlihat dari praktik spiritualnya yang mendalam dan pencarian makna kehidupan. Diponegoro kerap melakukan meditasi dan pertapaan, menganggap pengalaman mistis sebagai cara untuk mendapatkan petunjuk ilahi dalam perjuangan melawan penindasan Belanda.
Pengalaman spiritual itu tidak hanya memperkokoh keyakinannya, tetapi juga menarik perhatian masyarakat yang mendambakan pemimpin dengan kedalaman spiritual yang kuat. Diponegoro pada akhirnya dipandang sebagai representasi dari Erucakra, Ratu Adil, dan Imam Mahdi, atau yang biasa disebut Juru Selamat (Kroef, 1959). Citranya sebagai Juru Selamat memberikan keyakinan moral dan harapan masyarakat Jawa terhadap sosok pemimpin yang dapat membawa keadilan dan perubahan.
Dengan begitu, citra Ratu Adil yang melekat dalam diri Diponegoro sekaligus membentuk anggapan bahwa sebuah pemberontakan melawan pemerintah kolonial merupakan misi suci, yang bukan hanya untuk kepentingan politik individu tetapi petunjuk dari Tuhan untuk pembebasan dari penindasan. Ketokohan Diponegoro sebagai Ratu Adil mampu menjadi inspirasi dan membius semangat perjuangan masyarakat Jawa kala itu.
Perang Jawa menjadi momen penting bagi Diponegoro untuk bangkit melawan penindasan Belanda. Kroef secara garis besar menguraikan kondisi politik, sosial, dan ekonomi yang menjadi latar belakang terjadinya perang tersebut. Penelitian mendalam menunjukkan bahwa akar penyebab Perang Jawa tidak terbatas pada satu faktor kecil, melainkan berasal dari keresahan kolektif masyarakat yang menderita akibat penindasan dan kerugian besar akibat penjajahan kolonial Belanda.
Salah satu alasan yang menggerakan Diponegoro ialah, ia sedari awal memiliki sentimen terhadap kolonial Belanda. Diponegoro merasa bahwa Belanda bertanggung jawab atas amoralitas yang melahap tanah airnya. Belanda terlalu ikut campur dalam kehidupan politik, termasuk dalam kehidupan keraton Djokdjakarta. Campur tangan Belanda tidak hanya mengobrak-abrik tatanan pemerintahan tetapi juga mengancam nilai-nilai budaya dan tradisi yang telah ada sejak lama. Dibuktikan dengan bagaimana Belanda mengintervensi perpindahan kekuasan dari Sepoeh atau Hamengkubuwono II ke Rojda, ayah Diponegoro.
Situasi lain yang melatarbelakangi perang Jawa ialah masalah penindasan dan kesanjangan ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda. Kebijakan yang membatasi hak sewa tanah dan memaksa penggarap pribumi membayar ganti rugi atas perbaikan yang dilakukan di tanah tersebut. Sehingga banyak bangsawan mengalami kerugian finansial dan mulai bersekutu dengan Diponegoro untuk melawan kekuasaan Belanda.
Lebih lanjut, pihak musuh berniat membangun sebuah jalan yang menghubungkan antara kota Djokdjakarta dan desa Senepi. Jalan tersebut dibangun di atas tanah milik Diponegoro dengan cara memasang patok-patok tanah di Tegalredjo. Kroef menggarisbawahi klaim atas tanah Diponegoro menjadi pemantik yang akhirnya meletus menjadi pemberontakan berskala besar. Dimulai ketika Diponegoro mengganti tanda jalan yang di patok oleh musuh dengan lembing, sebagai tanda perang. Situasi tersebut mendorong sekumpulan orang bersimpati pada sikap yang diambilnya, bergabung dengan Diponegoro di tanah miliknya.
Bergabungnya sekelompok masyarakat dalam Perang Jawa tidak terlepas dari kedekatan Diponegoro dengan berbagai lapisan masyarakat, baik dari rakyat jelata hingga para bangsawan bahkan kalangan ulama. Kedekatan tersebut, mampu memberi Diponegoro bantuan massa yang cukup untuk turut serta dalam Perang Jawa melawan Belanda. Mobilisasi ini tidak saja memberi dampak pada pertempuran itu sendiri tetapi juga turut serta membangkitkan semangat nasionalisme.
Perang Jawa berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830, dimana pertemuan pertama terjadi di desa Selarong, ketika itu Diponegoro berhasil memukul mundur pasukan Belanda di bawah komando Letnan T. Thierry. Hal ini juga membangun kepercayaan di kalangan pendukungnya, Ia memanfaatkan pengetahuan tentang medan perang untuk melakukan serangan terhadap pasukan Belanda. Dengan mengikutsertakan rakyat dalam pertempuran tersebut, menciptakan kesatuan yang utuh dalam perjuangan nasionalisme.
Pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro mengejutkan Belanda yang tidak siap menghadapi serangan tersebut. Sementara itu, jumlah pasukan pemberontak terus bertambah setiap harinya. Kemenangan awal Diponegoro berhasil menarik dukungan luas dari masyarakat. Pasukan Belanda yang dikirim dari Semarang untuk membantu pasukan mereka yang terkepung di Djokdjakarta mengalami kekalahan telak di tangan para pengikut Diponegoro. Pada Juli 1825, Kolonel von Jett melancarkan serangan ke basis Diponegoro di Selarong, namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil yang signifikan. Baru setelah Jenderal de Kock tiba di Surakarta, Belanda mulai pulih dari kekalahan awal mereka.
Kroef meninjau bahwasanya dalam perang Jawa, demi menghindari konfrontasi sebanyak mungkin, Diponegoro dan pasukannya menggunakan strategi gerilya, dengan serangan “tabrak lari” dan teknik “bumi hangus”. Serangan “tabrak lari”, melibatkan serangan mendadak terhadap Belanda yang diikuti dengan pergerakan cepat ke daerah aman untuk bersembunyi, seperti hutan atau pegunungan, sebelum Belanda dapat bereaksi ataupun memperkuat pertahanan.
Lebih lanjut, teknik “bumi hangus”, Diponegoro memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan sumber daya yang ada, termasuk membakar rumah, ladang, dan persediaan makanan, sehingga mengurangi sumber daya yang dapat dimanfaatkan pasukan Belanda. Jembatan dan jalan juga dihancurkan untuk menghambat pergerakan pasukan Belanda. Dengan mengurangi akses ke sumber daya, Diponegoro berniat melemahkan mental dan kemampuan tempur pasukan Belanda.
Kedua strategi ini menunjukkan kecerdikan Diponegoro dalam memanfaatkan kondisi geografis, serta kemampuannya untuk beradaptasi dengan segala situasi yang ada selama Perang Jawa. Dengan menggunakan siasat-siasat ini, Diponegoro juga mendapat dukungan dari masyarakat lokal yang merasakan dampak dari penjajahan. Semakin mendorong rakyat turut serta dalam perjuangan pembebasan ini.
Pada tahun 1826, Belanda mulai meraih kemenangan pertamanya. Di sisi lain, pada pertengahan Juli, Diponegoro berhasil menarik dukungan dari sejumlah bangsawan berpangkat tinggi yang sebelumnya setia kepada Belanda, sehingga memulihkan dan meningkatkan popularitasnya yang sempat meredup. Meskipun Belanda mulai unggul di beberapa pertempuran, kekuatan pasukan Diponegoro tetap menjadi ancaman besar. Surakarta dan Yogyakarta terisolasi, sementara jalur komunikasi dengan Semarang terputus total.
Pada akhir tahun 1828, Diponegoro menderita kekalahan besar di Gawok, meninggalkan sepertiga pengikutnya di medan pertempuran. Di sisi lain, Jenderal De Kock mulai memperkuat sistem pertahanannya dengan membangun jaringan garnisun kecil yang strategis. Posisi para pemberontak perlahan-lahan semakin sulit dipertahankan. Akhirnya, pada tahun 1830, beberapa letnan Diponegoro menghubungi Kolonel Cleerens untuk membahas kemungkinan gencatan senjata. Cleerens menyambut inisiatif tersebut dengan menawarkan hubungan yang lebih bersahabat.
Diponegoro secara sukarela membawa dirinya ke markas regional tentara Belanda di Djokdjakarta, untuk bernegosiasi dengan Jenderal De Kock sendiri. Selama negosiasi, Belanda awalnya memperlakukan Diponegoro dengan hormat. Namun ketika Diponegoro meminta waktu untuk mempertimbangkan persyaratan Belanda, De Kock, kehilangan kesabaran, pertemuan mereka dikelilingi oleh pasukan Belanda dan memaksa Diponegoro untuk menerima tuntutannya. Situasi tersebut pada akhirnya mengakibatkan penangkapan dan penempatan Diponegoro dalam tahanan.
Dengan cara ini, De Kock mengakhiri perang yang telah menelan ratusan nyawa di kedua belah pihak. Setelahnya penangkapannya, Diponegoro dibawa ke Batavia, dan diasingkan ke Manado di pulau Celebes, kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih layak huni di Makassar. Tahun-tahun terakhirnya dihabiskan dengan meditasi, dan menulis surat kepada rekannya, di mana ia mengungkapkan penyesalannya atas nasib mereka. Ia meninggal pada tahun 1855. Meskipun demikian tidak ada keraguan akan keberanian, semangat, keinginan, dan tekadnya yang kuat untuk memperjuangkan kemakmuran bangsanya.
Peran Pangeran Diponegoro dalam pembentukan identitas Nasionalisme Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata. Selama memimpin Perang Jawa, ia tidak hanya berjuang melawan penjajahan Belanda, tetapi juga membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya identitas lokalitas. Melalui ajaran dan praktik keagamaannya, Diponegoro berhasil mengintegrasikan nilai-nilai spiritual yang mencerminkan warisan lokalitas terdahulu, sehingga menciptakan landasan bagi semangat nasionalisme yang kuat. Ia dikenang bukan hanya sebagai pahlawan nasional yang berjuang untuk kemerdekaan, tetapi juga menginspirasi generasi setelahnya untuk terus memperjuangkan keadilan.
Perjuangan Diponegoro masih tetap relevan dalam konteks nasionalisme Indonesia saat ini, semangat yang ditanamkan oleh Diponegoro tetap hidup dalam banyak aspek kehidupan politik dan sosial di Indonesia. Partai-partai politik, termasuk yang berbasis Islam, masih mengacu pada nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Diponegoro dan mencoba menerapkannya dalam konteks Indonesia modern. Semangat dan spirit perjuangan Diponegoro pada akhirnya, mampu menginspirasi para pemuda Nasionalis Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan.