Harimau Jawa, Riwayatmu Kini!

Harimau Jawa (Panthera tigris sondaicus) telah lama dinyatakan punah, namun jejaknya tetap hidup dalam budaya dan mitologi Jawa. Hewan ini dianggap suci, memiliki hubungan dengan leluhur, dan dipercaya menjaga desa serta institusi keagamaan. Kini, hewan ini hanya tersisa sebagai simbol kekuatan alam yang pernah berdampingan dengan manusia, sebelum akhirnya punah akibat eksploitasi.

Harimau Jawa, yang secara ilmiah dikenal sebagai Panthera tigris sondaicus, telah lama dinyatakan punah di alam liar. Namun, seperti pemaparan Robert Wessing dalam artikelnya “The Last Tiger in East Java: Symbolic Continuity in Ecological Change,” makna simbolis harimau tersebut tetap hidup meski keberadaan fisiknya telah lenyap. Artikel ini diterbitkan dalam jurnal Asian Folklore Studies, Volume 54, Nomor 2, pada tahun 1995. Wessing menunjukkan bahwa meskipun harimau Jawa tidak lagi ada di alam liar, nilai-nilai budaya dan simbolisme yang terkait dengan harimau terus berkembang seiring dengan perubahan lingkungan dan zaman.

Wessing menyatakan bahwa harimau bukanlah sekadar hewan buas yang dulu sering dijumpai di hutan-hutan Jawa. Hewan ini merupakan bagian penting dari entitas kebudayaan manusia, yang keberadaannya melekat dalam mitologi, tradisi, dan keyakinan lokal. Salah satunya terdapat cerita bahwa harimau dan manusia berasal dari leluhur yang sama. Cerita-cerita seperti ini tersebar luas dan banyak ditemukan di berbagai wilayah Asia Tenggara.

Di Jawa, misalnya, ada legenda yang mengisahkan bahwa harimau awalnya adalah makhluk vegetarian yang hidup berdampingan secara harmonis dengan manusia. Namun, suatu hari, manusia secara tidak sengaja mencampurkan daging ke dalam makanan harimau. Setelah merasakan daging tersebut, harimau mulai menyukainya dan akhirnya berubah menjadi binatang liar. Cerita-cerita ini merupakan mitos tentang asal-usul harimau serta bagaimana tindakan manusia dapat mempengaruhi sifat dan perilaku hewan tersebut.

Inilah alasan mengapa saat masuk hutan seseorang dilarang menyebut harimau secara langsung dengan sebutan “macan,” istilah untuk harimau dalam bahasa Jawa. Menyebut nama tersebut dipercaya dapat memanggil kehadiran harimau, sehingga dianggap berbahaya. Penyebutan langung semacam itu bisa juga dianggap tidak sopan terhadap leluhur. Sebagai gantinya, mereka menggunakan panggilan yang lebih sopan dan penuh hormat, seperti “Mbah” atau “Kiai.”

Kata “Mbah” biasanya digunakan untuk merujuk kepada leluhur dalam budaya Jawa, sementara “Kiai” adalah gelar untuk seseorang yang dihormati karena keistimewaan spiritual atau pengetahuan keagamaannya. Panggilan ini menunjukan bentuk penghormatan manusia pada hewan ini. Selain itu hewan tersebut dianggap memiliki hubungan dengan hutan, tempat yang dianggap sakral.

Karenanya, sekali lagi untuk memastikan keselamatan saat masuk hutan, orang Jawa terbiasa meminta izin. Biasanya mereka akan mengucapkan, “Embah, janganlah menyakitiku. Aku adalah keturunan Adam – tolong berdiri di samping dan jangan menggangguku,” yang kemudian diikuti doa dan membaca sholawat. Hal ini dilakukan karena berkeyakinan akan memperoleh perlindungan dari harimau karena berasal dari leluhur yang sama.

Perlindungan semacam ini tidak hanya kepada manusia, tapi juga dalam skala desa dan bahwa perlindungan terhadap institusi keagamaan. Sebab keberadaannya sering dikaitkan dengan dhanyang, atau roh penunggu hutan, yang biasanya bergabung dengan roh leluhur desa, orang yang pertama kali membuka wilayah untuk pemukiman manusia. Roh ini dipercaya memiliki kekuatan luar biasa dan mampu berinteraksi dengan harimau, yang dianggap sebagai manifestasi nyata dari kekuatan alam. Dalam banyak kepercayaan, dhanyang dari leluhur pendiri desa diyakini menjaga desa dalam wujud harimau.

Secara fisik, keberadaan harimau memberikan perlindungan bagi ladang masyarakat desa dari serangan hewan berkuku. Hewan-hewan tersebut biasanya berburu di area pinggir hutan yang berbatasan langsung dengan ladang desa, sehingga sering kali merusak tanaman dan mengancam hasil panen. Harimau, yang juga sering berburu di wilayah tersebut, dianggap melindungi ladang desa dengan mengendalikan populasi hewan-hewan yang menjadi hama.

Selain desa, harimau juga dipercaya melindungi institusi keagamaan, seperti pesantren. Di Asem Bagus, seekor macan tutul belang diyakini melindungi pesantren milik almarhum Kiai As’ad. Ketika pesantren tersebut didirikan, daerah itu masih banyak dihuni harimau, namun mereka secara sukarela pindah untuk memberi ruang bagi pembangunan pesantren. Meski demikian, salah satu dari mereka tetap tinggal untuk menjaga tempat tersebut. Serupa dengan itu, di Tanjung Keraksaan, pondok pesantren di tempat itu dijaga oleh harimau reinkarnasi sang pendiri pesantren.

Selain dipercaya reinkarnasi tokoh tertentu atau berasal dari kekuatan seorang dukun. Perwujudan hewan ini dipercaya sebagai manifestasi penebusan dosa. Menurut cerita rakyat dari Bondowoso, ada seorang perempuan yang meninggal dan kemudian bangkit kembali dalam wujud harimau. Perempuan tersebut diketahui memiliki kekayaan yang berasal dari uang haram. Keberadaannya dalam wujud harimau dianggap sebagai bentuk penjelmaan untuk menebus kesalahannya saat masih hidup.

Reinkarnasi seperti ini dikenal dengan sebutan macan onjangan (harimau yang bisa dipanggil) dan hanya dapat terlihat oleh mereka yang memiliki niat jahat atau melanggar aturan desa. Dalam beberapa kasus, masyarakat memanfaatkan keberadaan harimau gaib ini untuk menjaga tanaman dan rumah. Pencuri yang mencoba melawan penjaga ini akan menghadapi pertarungan sepanjang malam dan tidak dapat melarikan diri tanpa izin pemilik rumah.

Kini, kita beralih pada cerita yang menghubungkan harimau dan manusia dalam konteks kerajaan. Kisah semacam ini sangat jarang ditemukan. Dalam konteks kerajaan, wilayah kekuasaan yang luas seringkali membutuhkan legitimasi spiritual melalui hubungan erat dengan makhluk gaib atau dhanyangan yang dianggap kuat. Salah satu contohnya adalah Panembahan Senopati (1575–1601) dari Mataram, yang menikahi Nyai Roro Kidul sebagai bentuk perjanjian spiritual. Melalui pernikahan ini, ia mendapatkan perlindungan gaib bagi kerajaannya.

Menariknya, Nyai Roro Kidul sering dikaitkan dengan simbol harimau. Ada kepercayaan bahwa ia dapat menjelma dalam wujud harimau putih atau mengirimkan harimau loreng untuk menjalankan perintahnya (Ayiek Syarifuddin, 1991b, 29; Semar Suwito, 1992, 42). Sedangkan reinkarnasi seorang raja menjadi harimau hanya bisa ditemukan di Jawa Barat, yakni kisah Prabu Siliwangi (Wessing, 1993).

Cerita lain terkait harimau yang menunjukan lokasi bagi pembentukan ibu kota baru suatu kerajaan. Salah satu cerita lain yang melibatkan harimau berasal dari legenda Raja Tawang Alun, yang hidup sekitar abad ke-17. Setelah menjalani tapa di hutan, ia mendapatkan petunjuk dari seekor macan putih yang menuntunnya ke lokasi untuk mendirikan ibu kota baru bagi kerajaannya (Sri Adi Oetomo, tanpa tahun). Konon, keturunan Raja Tawang Alun yang masih ada hingga saat ini dipercaya tetap dilindungi oleh macan tersebut.

Selain itu, menurut Fury Afrianto (1989, 15), kuil Candi Lor dari dinasti Sanjaya kuno di Jawa Timur dipercayai dijaga oleh dhanyang yang menjelma sebagai harimau putih. Legenda serupa juga ditemukan di Puger, di pesisir selatan, di mana seekor harimau putih kerap muncul di makam seorang pahlawan atau pangeran bernama Sutaji. Di Nganjuk, beberapa harimau putih dikisahkan menjadi penjaga makam Dewi Ragil Kuning, seorang putri dari Kediri (Ayiek Syarifuddin, 1991a).

Kisah-kisah tentang harimau di Jawa tidak hanya melulu berisi kisah harmoni, tetapi juga konflik. Salah satu adalah ritual Rampok Macan, sebuah upacara yang melibatkan pembunuhan harimau sebagai bentuk pembersihan kerajaan dari gangguan. Ritual ini biasanya dilaksanakan oleh istana-istana di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam konteks ini, pembunuhan harimau bertujuan memulihkan keteraturan dalam tatanan kerajaan.

Ada juga cerita harimau dalam Reog Ponorogo. Pertunjukan ini menggambarkan konflik antara kekuasaan istana dan kekuatan alam, yang direpresentasikan oleh Singabarong, roh harimau pelindung hutan. Dalam narasi tersebut, meskipun Singabarong berhasil dikalahkan oleh kekuasaan raja, ia tidak sepenuhnya dihilangkan. Sebaliknya, ia tetap tinggal untuk melayani raja, melambangkan aspek liar dan kekuatan alam yang tidak bisa dihapuskan, tetapi justru dijinakkan dan dimanfaatkan demi kepentingan kerajaan.

Seiring berjalannya waktu, baik harimau maupun manusia terus mengalami proses adaptasi. Namun, cara kedua makhluk ini beradaptasi sangatlah berbeda. Harimau beradaptasi secara biologis yang lambat dan terbatas. Sementara itu, manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk beradaptasi secara simbolis dan budaya, menciptakan teknologi, sistem sosial, serta pengetahuan yang memungkinkan mereka mendominasi lingkungan. Ironisnya, adaptasi inilah yang pada akhirnya menyudutkan dan bahkan menghilangkan harimau di alam liar. Predator perkasa yang dulunya menguasai rantai makanan kini sudah hilang dan hanya bertahan sebagai simbol dan cerita dalam kebudayaan manusia.[]

Terpopuler

Rampog Macan dalam Kosmologi Jawa

Tradisi Jawa berupa pembunuhan harimau di area terbuka dikenal sebagai Rampog macan. Awalnya tradisi...

Puasa dalam Mitologi Jawa

Dalam mitologi Jawa, tokoh wayang Werkudoro atau Bima sering dijadikan simbol ketangguhan dan...

Kelamnya Sejarah Agraria Donomulyo

Sejarah agraria Donomulyo, Malang Selatan, sebagai potret ketimpangan sosial akibat relasi...

Menimbang Ulang Dualisme J.H. Boeke

Teori dualisme sosial-ekonomi J.H. Boeke berupaya menjelaskan tantangan pembangunan ekonomi di...

Involusi Pertanian di Jawa

Geertz menggambarkan involusi sebagai proses intensifikasi tenaga kerja tanpa inovasi teknologi atau...

Harimau Jawa, Riwayatmu Kini!

Harimau Jawa (Panthera tigris sondaicus) telah lama dinyatakan punah, namun jejaknya tetap hidup...

Penyihir dan Kontrol atas Tubuh Perempuan

Perempuan sakti di beberapa budaya dicitrakan negatif dalam politik ingatan. Mereka digambarkan...

Kemerosotan Tayub

Tayub merupakan tarian Jawa yang kontroversial karena nuansa erotik dan ritual mistisnya. Melalui...

Waranggana

Waranggana merupakan simbol perempuan Jawa yang kuat dan mandiri, berperan penting dalam ekonomi dan...