Film-film mitologi Jawa seperti Nyi Roro Kidul dan Nyi Blorong telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perfilman nasional. Meski begitu, Robert Wessing dalam karyanya “Dislodged Tales: Javanese Goddessesand Spirits on the Silver Screen” (2007), menyebut film-film tersebut mengusung distorsi tersendiri.
Mereka tidak hanya menyajikan mitologi, tetapi juga mencerabut cerita-cerita tersebut dari akar kelokalannya. Dalam persaingan antar-mitos, pertanyaannya menjadi, bagaimana film-film ini berhasil memandu dan menawarkan interpretasi baru dalam konteks yang lebih luas?
Seperti dinyatakan oleh Fisher (1987: xi) dan Niles (1999: 3, 8) manusia adalah makhluk pencerita atau homo narans. Melalui keberadaan cerita inilah suatu kelompok terbentuk. Begitu juga sebaliknya, suatu cerita hadir karena interaksi antar anggota kelompok tersebut. Meskipun setiap orang bisa bercerita, tentu cerita siapa yang dominan juga ditentukan status sosial di suatu kelompok.
Ketika cerita tentang Nyi Roro Kidul atau Nyi Blorong diangkat ke layar kaca, penting untuk diingat bahwa posisi pencerita telah diambil alih oleh penulis cerita film. Hal ini berdampak pada cara cerita tersebut disusun dan dinarasikan, karena penulis memiliki peran sentral dalam membentuk narasi.
Perlu kita ketahui bahwa, adaptasi cerita mitologi ke dalam bentuk film tidak hanya melibatkan penyajian visual, tetapi juga melibatkan pengambilan keputusan dalam merangkai kembali cerita untuk menyesuaikan dengan medium layar kaca dan untuk menjawab tuntutan atau harapan penonton.
Selain itu, cerita ini juga harus berhadapan dengan cerita sejenis dari daerah lain. Terkadang, cerita-cerita ini dihubungkan dengan variabel lain, meskipun sebenarnya tidak memiliki keterkaitan yang kuat. Ini dapat mempengaruhi struktur cerita tentang tokoh mitologi Jawa tersebut dan membawanya ke dalam konteks yang lebih luas.
Nyi Roro Kidul dan Nyi Blorong
Nyi Roro Kidul merupakan sosok yang dikenal luas di kalangan masyarakat Jawa sebelum popularitasnya meningkat melalui media film atau layar kaca. Meskipun keberadaannya diyakini oleh banyak orang di Jawa, cerita terperinci tentangnya tidak banyak diketahui, terutama karena kurangnya literatur yang menjelaskan secara gamblang tentang tokoh ini.
Seiring berkembangnya media, terutama film, kepopuleran Nyi Roro Kidul semakin meningkat. Salah satu contohnya adalah film yang mengangkat kisah Nyi Roro Kidul bersama anaknya, Nyi Blorong. Film-film ini berhasil membuat tokoh tersebut semakin dikenal dan populer di kalangan masyarakat Jawa.
Cerita Nyi Roro Kidul sesungguhnya memiliki akar dari dua tradisi yang berbeda, yaitu tradisi istana dan tradisi masyarakat pesisir selatan. Versi istana, Nyi Roro Kidul terkait dengan keberadaannya dalam lingkup penguasaan. Dalam tradisi ini, Nyi Roro Kidul dipandang sebagai roh pelindung yang bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat Jawa, terutama karena hubungannya dengan para penguasa.
Di sisi lain, versi masyarakat pesisir selatan menggambarkan Nyi Roro Kidul sebagai penguasa laut selatan. Dalam tradisi ini, keberadaannya memiliki dampak langsung pada kehidupan para nelayan yang bergantung padanya. Nyi Roro Kidul dianggap sebagai penguasa laut yang mengendalikan kekayaan laut dan juga sebagai penegak tata tertib yang memberikan hukuman atas perilaku yang tidak sesuai. Bagi para nelayan, hasil tangkapan ikan mereka diyakini tergantung pada kebaikan hati Nyi Roro Kidul, dan dalam beberapa kisah, ia bahkan dikabarkan menuntut persembahan berupa nyawa manusia sebagai imbalan atas bantuan atau kebaikannya.
Sedangkan bila kita membincang Nyi Blorong. Tokoh ini lebih dikenal sebagai dewi kekayaan. Ratu ular ini sering dihubungkan dengan tempat-tempat seperti rawa atau air tenang, dan ada pula yang berpendapat, seperti yang disebutkan oleh Meijboom-Italiaander (1924:235), bahwa Nyi Blorong tinggal di istana di Samudera Hindia. Menariknya, meskipun dalam film Nyi Blorong digambarkan sebagai putri
Nyi Roro Kidul, namun dalam mitologi yang lebih kuno, keberadaannya diyakini lebih tua daripada Nyi Roro Kidul (Schlehe, 1998:143).
Dalam perkembangan terkini, tokoh Nyi Blorong dikaitkan dengan sosok bernama Badarawuhi, yang merupakan penguasa gaib dalam film Kuliah Kuliah Nyata (KKN) Desa Penari. Hal ini menunjukkan bagaimana tokoh mitologis dapat mengalami variasi interpretasi dan pengembangan dalam berbagai karya seni dan media, memberikan nuansa yang berbeda sesuai dengan zaman dan konteks cerita yang berkembang.
Selanjutnya, perlu diperhatikan bagaimana tokoh-tokoh ini dipresentasikan di layar kaca dan peran serta keberadaannya dalam cerita. Terdapat variasi dalam penampilan mereka dalam versi televisi, termasuk penampilan dengan busana khas istana Jawa dan busana sehari-hari seperti masyarakat umum. Di sisi lain, dalam versi layar lebar, kecenderungan utamanya adalah menggambarkan tokoh-tokoh ini sebagai bagian dari istana.
Dalam film Petualangan Cinta Nyi Blorong, ada adegan menarik di mana mereka menggunakan ide memasang benda tajam ke kepala Nyi Blorong agar dia tidak bisa kembali menjadi ular. Konsep ini mungkin terinspirasi dari cara menghadapi makhluk mistis seperti sundel bolong atau kuntilanak. Selain itu, terdapat juga ide tentang keistimewaan vulva perempuan, yang mungkin mengambil inspirasi dari kisah Ken Dedes. Dalam kisah tersebut, vulva Ken Dedes diyakini bersinar dan menjadi simbol kekuasaan.
Tak terkecuali dalam film-film yang mengangkat kisah Nyi Roro Kidul atau Nyi Blorong, kita sering menemui tokoh pemuka agama, polisi, dan pelawak sebagai elemen pelengkap. Sejatinya, keberadaan mereka tidak dapat ditemukan dalam mitologi aslinya. Kehadiran mereka memiliki tujuan tersendiri, yaitu menyampaikan pesan kepada para penonton. Contohnya, Bokir dan Dorman hadir sebagai representasi penonton biasa yang menyaksikan peristiwa hingga akhir film.
Dengan demikian, film-film yang mengangkat tokoh mitologi Jawa seperti Nyi Roro Kidul dan Nyi Blorong pada dasarnya mencabut dan mencerabut mitologi tersebut dari wilayah lokalnya. Karya-karya ini memberikan tantangan bagi eksistensi mitos, baik dalam bersaing dengan narasi kebenaran dari daerah lain maupun dalam menghadapi berbagai interpretasi dan variasi cerita.
Selain itu, ketika cerita-cerita mitologi diangkat ke dalam bentuk film, peran pencerita berpindah dari tradisi lisan masyarakat ke tangan penulis skenario, yang memiliki peran sentral dalam membentuk narasi. Narasi tersebut kemudian akan berkontestasi di ranah yang lebih luas, dan pada akhirnya, memberikan pengaruh kembali kepada kesadaran masyarakat. []