Inilah potret sejarah agraria Donomulyo sebagai sejarah ketimpangan sosial dalam bentuk relasi kuasa patron-klien. Sebagai salah satu kecamatan di pesisir selatan Malang, tempat ini menjadi saksi bisu bagaimana rezim kolonial membentuk dan mempertahankan disparitas sosial. Sejarah ini bermula ketika dikeluarkannya undang-undang agraria (Agrarische Wet) 1870 yang bersamaan dengannya ekonomi kapitalis diperkenalkan ke pedesaan di Malang Selatan.
Sejarah ketimpangan dipotret oleh Grace Leksana dalam “Ketimpangan dan Kontinuitas Patronase dalam Lintasan Sejarah: Menelusuri Sejarah Perubahan Agraria di Malang Selatan” (2019). Melalui karya ini, ia ingin menceritakan Donomulyo sebagai representasi sejarah agraria desa yang dipenuhi oleh ketegangan sosial-politik dan konflik-konflik besar. Dimana kemelut ini ditandai dengan munculnya para elit desa yang terus bertahan hingga kini sebagai patron lokal karena aliansi mereka dengan negara.
Pada dasarnya, tulisan Grace ini ingin menyangkal konstruksi wacana kolonial tentang desa yang tetap bertahan hingga kini dalam benak masyarakat. Yaitu desa sebagai entitas otonom, solid, tradisional, reservoir tenaga kerja dan pangan. Dimana pengaruh dari narasi tersebut dapat dilihat pada saat krisis moneter tahun 1998. Pada waktu itu banyak anggapan jika desa dengan fleksibilitas kerja penduduknya adalah cadangan pangan dan tenaga kerja (reservoir of labor).
Tapi, pandangan ini patut dicurigai, karena menganggap jika semua orang desa memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendapatan dari sektor agraria. Padahal, apabila ditelisik lebih jauh, desa menyimpan sejarah kelam perihal diferensiasi agraria dengan ketimpangan ekonomi-politiknya yang sudah berlangsung sejak era pra kolonial. Ditambah dengan masuknya industri kolonial ke pedesaan dan diperkenalkannya ekonomi uang tunai, diferensiasi agraria semakin dipertajam saja (White & Husken, 1989).
Atas dasar inilah, sejarah agraria dan desa tidak bisa dipahami semata-mata persoalan perkembangan teknik pertanian, populasi, dan komersialisasi. Tetapi juga harus memperhatikan sejarah ketimpangan–diferensiasi sosial–oleh relasi kuasa patronase, dimana negara turut andil di dalamnya melalui kebijakan agraria. Disini patronase dipahami sebagai kelompok dominan–para elit desa–yang berafiliasi dengan negara untuk melanggengkan kekuasaan dan alat untuk mengeksploitasi sumber daya desa (Hart, 1989).
Lebih jauh lagi, hubungan patron-klien inilah yang menjadi akar dari ketegangan dan konflik dalam perubahan serta diferensiasi agraria. Ernst Utrecht (1972), menegaskan jika relasi tersebut telah menyebabkan perubahan pada struktur kepemilikan tanah yang memperburuk ketidaksetaraan sosial-ekonomi dan memicu ketegangan. Ia juga menjelaskan jika sistem patron-klien sering digunakan untuk mempertahankan status quo kalangan petani miskin, sehingga menciptakan ketergantungan petani kecil.
Grace menyatakan jika relasi patronase memiliki ciri-ciri yang khas, yaitu: pertukaran antara sumber daya dan solidaritas/kesetiaan; tak bersyarat namun berupa kewajiban yang bersifat jangka panjang; solidaritas (bisa jadi kuat, lemah atau ambivalen); informal/ilegal; berbasis sukarela; mencakup individu atau kelompok yang saling terhubung secara vertikal namun tidak terorganisir; adanya ketimpangan sosial dan diferensiasi kekuasaan yang kuat.
Pada masa kolonial, setidaknya ada tiga kelompok elit desa yang membentuk relasi patron-klien sebagai penguasa tanah desa: aparat desa, para haji, dan keluarga perintis desa (Bekker, 1987). Grece mengisahkan, jika kelompok-kelompok ini enggan membagi tanahnya kepada pendatang baru, sehingga mereka terpaksa harus menjadi buruh tani atau petani penggarap. Ini sejalan dengan amatan Klingken (2009), bahwa para elit lokal seringkali membatasi akses distribusi tanah, sumber daya, dan pekerjaan pada para petani kecil dan pendatang baru guna memperkuat posisi mereka.
Dari amatan Grece, sejak abad ke-19, sistem kepemilikan tanah di desa terikat pada aturan komunal komunitasnya. Argumentasi bersandar pada penemuan Hiroyoshi Kano (1977), tentang hasil survei kolonial di tahun 1868-69 yang memperlihatkan jika kepemilikan tanah, baik individual dan komunal sangat ditentukan oleh keputusan komunitas desa. Namun semenjak sistem ekonomi kolonial yang bersamaan dengan undang-undang agraria (Agrarische Wet) 1870 kepemilikan tanah pun ikut berganti.
Sebelum kedatangan kolonial, Donomulyo mengenal sistem kepemilikan komunal yang disebut dengan tanah gogol. Melalui sistem ini, tanah milik desa dikelola secara komunal yang bergantian antar penduduk desa dengan bagi hasil tetap. Kendati demikian kuasa kepala desa atas pembagian tanah, justru membuat kepemilikan komunal lebih menyerupai kepemilikan individual. Bahkan tak jarang, dalam pembagian tanah dilakukan sewenang-wenang demi kepentingan pribadi patron desa.
Atas dasar inilah Kano menegaskan, bahwa sistem kepemilikan tanah di desa secara tidak langsung telah menciptakan ketimpangan dan relasi kelas, yang semakin mengukuhkan kesenjangan sosial. Walaupun, dalam sistem tersebut belum mengenal sistem tuan tanah (landlord system), akan tetapi stratifikasi kelas patron-klien telah terbentuk. Dengan kepala desa sebagai patronase lokal, sedangkan masyarakat adalah klien tanpa tanah.
Adapun ketika industri perkebunan kolonial memasuk pedesaan stratifikasi kelas yang sudah ada semakin dipertajam. Sejarah ini bermula dengan dikeluarkannya undang-undang agraria (Agrarische Wet) 1870 yang memberikan izin kepada perusahaan swasta untuk menyewa tanah-tanah kosong di Hindia Belanda. Semenjak saat itu, banyak perusahaan swasta yang berbondong-bondong berinvestasi pada industri kopi dan gula di Malang, kepemilikan tanah pun ikut berganti.
Tidak terkecuali Donomulyo, juga menjadi bagian dari industri ini, seiring dengan berdirinya kebun kopi dan karet N.V Kali telo di sebelah utara kecamatan. Sejak berdiri antara tahun 1881-1884 hingga 1928, perkebunan ini terus melakukan ekspansi lahan hingga luasnya 38861 bau, dengan hasil panen 19696 pikul kopi dan 1725024 (dalam satuan ½ kg) untuk tanaman karet. Di tahun 1929, perkebunan ini justru mengalami defisit akibat dari turunnya harga global kopi dan karet (Verslag Over Het Boekjaar 1931. 1928. Inv. ZK 60163)
Perkebunan N.V Kali Tello menjadi salah satu faktor penting dalam membentuk struktur sosial dan ekonomi masyarakat Donomulyo. Warga desa terlibat dalam berbagai peran di perkebunan, mulai dari buruh hingga mandor rendah. Dengan memanfaatkan sumber kelisanan dari warga setempat, Grece menceritakan bagaimana kolonialisme mengkonstruksi stratifikasi sosial dan relasi patron-klien. Dimana melalui kisah-kisah ini akan memperlihatkan bagaimana perkebunan kolonial membentuk dinamika sosial dan ekonomi di pedesaan.
Kisah ini dimulai dari pertemuan Grace dengan Burmudji, salah warga desa Banyujati, kecamatan Donomulyo. Dalam perbincangan ini, Burmudji menceritakan ayahnya, Darsa yang lahir pada 1917. Ia merupakan seorang tokoh terpelajar pada masanya, dengan latar belakang tamatan pendidikan Ongko Loro dan Ongko Telu–sekolah Belanda untuk pribumi. Karena alasan inilah, Darsa diangkat menjadi seorang guru.
Bahkan selama perjalanan hidupnya ia juga seorang pelopor komunitas Katolik dan pendiri sekolah Katolik di Donomulyo. Lebih lanjut, Burmudji menceritakan, dari status sosial sebagai kalangan terpelajar dan tokoh agama menjadikan ayahnya sebagai seorang mandor rendah di perkebunan N.V Kali Tello. Dari keluarga ini menunjukan jika kehadiran industri perkebunan di Malang Selatan telah membentuk status dan kelas sosial di desa.
Selain keluarga Burmudji, ada juga keluarga Aji Marlan yang ayah mertuanya berhasil meraup kekayaan sewaktu bekerja di perkebunan kolonial serta karena kuatnya status sosialnya sebagai seorang haji. Sebagai seorang tokoh agama ia juga dikenal sebagai pendiri masjid pertama di desanya, sekaligus anggota ansor. Kesuksesan dia dalam dunia bisnis peternakan bermula ketika ia bekerja di perkebunan Belanda.
Dulunya ayah mertuanya Aji Marlan adalah seorang buruh nderes (menyadap) karet di perkebunan Kali Tello. Tentunya upah yang didapatkan sangatlah rendah, namun karena kecerdasannya ia berhasil mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjual jatah makan siangnya kepada baruh lain. Dari penghasilan yang dikumpulkan tersebut, kemudian digunakan sebagai modal bisnis peternakan dan membeli tanah di desa Banyujati. Dari keberhasilan dia sebagai seorang pebisnis dan kedekatannya dengan tokoh-tokoh Islam, bukan suatu hal yang mustahil jika keluarga Aji Marlan masuk kedalam kategori elit desa.
Namun nasib yang kurang beruntung dialami oleh keluarga Marwono. Sebagai seorang yang berkelahiran 1936-1937, masa kecilnya diwarnai dengan kesulitan ekonomi di tengah eksploitasi perkebunan kolonial. Cerita ini menggambarkan masa kecilnya yang sulit di tengah keluarga besar yang bergantung pada upah rendah dari pekerjaan di perkebunan. Meskipun ia dan keluarganya bekerja keras, termasuk menjual kayu bakar dan hasil panen tambahan, penghasilan mereka tetap tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Dari kisah keluarga-keluarga tersebut menunjukkan bagaimana ekonomi kolonial tidak hanya menyediakan lapangan kerja tetapi juga mempertegas perbedaan kelas sosial di pedesaan. Dimana situasi ini mencerminkan ketimpangan sosial yang terjadi di antara para pekerja perkebunan. Bahkan jauh sebelumnya, tepatnya akhir tahun 1800, segregasi sosial akibat dari industri perkebunan kolonial juga pernah terjadi.
Berdasarkan arsip kesejarahan yang disuguhkan Grace, antara tahun 1880-1985 keberadaan perkebunan-perkebunan baru di Malang Selatan meningkat drastis. Diperkirakan pada tahun tersebut, di Sub-Distrik Pagak keberadaan buruh migran meningkat tiga kali lipat yang bersamaan dengannya juga berdiri perkebunan kopi baru di Sengguruh, Turen, dan Gondanglegi, peningkatan ini dipermudah karena dibukanya jalur kereta api Malang-Surabaya (Welvaartcommissie 1907, 5).
Pada catatan kolonial yang lain, memberikan suatu informasi tentang banyaknya orang-orang Madura yang menjadi buruh, selain berasal dari Jawa tengah. Dimana para pendatang ini lebih disukai dan dipercaya daripada pekerja lokal (Welvaartcommissie 1907, 83-4). Namun meningkatnya jumlah pekerja tidak berimbang bertambahnya kesempatan kerja. Sehingga menyebabkan jatuhnya upah buruh dalam rentan waktu 20 tahun, oleh karena itu kesenjangan pun tidak terhindarkan.
Sejarah agraria Donomulyo mengungkap bahwa desa bukanlah entitas yang stabil, dengan ekonomi agraria sebagai satu-satunya penopang. Sebaliknya, desa adalah medan ketegangan sosial dan politik yang telah mewarnai perjalanan sejarah bangsa. Oleh karena itu, Grace menegaskan, studi agraria mikro menjadi sangat penting untuk melihat bagaimana kontinuitas ketimpangan agraria terus berlanjut dari masa kolonial hingga kini.