Tradisi rampog macan dijelaskan Robert Wessing dalam artikelnya “A Tiger In The Heart: The Javanese Rampog Macan”. Wessing yakin bahwa ritual ini memiliki akar sejarah yang lebih tua dan tidak hanya terkait dengan tradisi Islam di Jawa. Meskipun tidak ada bukti teks yang secara eksplisit menyatakan bahwa tradisi ini pernah diadakan sebelum Islam datang ke Jawa.
Artikel ini diterbitkan dalam jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Volume 148, Edisi 2 (1992), halaman 287-308, oleh penerbit Brill. Melalui tulisan ini, Wessing memberikan penjelasan detail terkait pelaksanaan upacara tersebut. Setelah itu, menempatkannya dalam konteks makna simbolis harimau dan kerajaan sebagai tempat berlangsungnya ritual.
Tahapan Ritual
Sebelum acara utama rampog macan dimulai, rangkaian prosesi diawali dengan pertarungan antara harimau dan kerbau air di alun-alun. Prosesi ini dipimpin oleh Susuhunan, penguasa Surakarta, yang tiba di pendopo di kaki Sitinggil, tempat ia duduk menghadap alun-alun. Dalam suasana seremonial, Susuhunan menanyakan kondisi rakyat dan hasil panen padi kepada Raden Adipati, menegaskan peran simbolisnya sebagai penjaga kesejahteraan.
Setelah itu, Sang Susuhunan beranjak menuju kandang di tengah alun-alun—sekitar lima puluh kaki dari tempat duduknya—untuk menyaksikan pertarungan yang menjadi inti ritual. Di Kediri, wilayah terakhir yang diketahui menyelenggarakan upacara ini, prosesi memiliki variasi tersendiri, diawali dengan memamerkan hasil pertanian, terutama padi, dan penampilan Reyog, sebelum memasuki tahap pertarungan, namun tetap mempertahankan esensi seremonial yang serupa.
Harimau dan Kerbau yang hendak diadu, sebelumnya berada di kandang yang berbeda. Harimau ditempatkan dalam kandang yang berada di tengah alun-alun, sementara seekor kerbau dengan hiasan bunga di lehernya berada di kandang berbeda. Setelah Susuhunan memberikan tanda, seekor harimau dilepaskan ke dalam kandang kerbau. Kerbau kebanyakan menyerang terlebih dahulu, mencoba mendesak harimau ke dinding kandang. Saat kedua hewan ini tidak mau bertarung, prajurit akan memaksa kedua hewan ini, api akan digunakan kepada harimau dan untuk memaksa kerbau dengan cara mengoleskan cabai. Hasil akhir pertarungan ini, dalam banyak kasus dimenangkan oleh kerbau.
Ritual kemudian dilanjutkan dengan pembunuhan harimau oleh prajurit. Caranya dengan melepaskan hewan buas ini di tengah alun-alun dengan dikelilingi prajurit bersenjata tombak. Prajurit ini membentuk formasi lingkaran, tiga hingga empat baris dengan tombak mengarah ke dalam. Harimau secara alamiah kemudian akan mencari jalan keluar dari kepungan prajurit. Jika harimau melompat ke arah tombak, ia akan tertusuk. Jika ia berhasil melewati barisan tombak, maka harimau bisa dikejar dan dibunuh, atau dalam beberapa kasus, dibiarkan lolos karena dianggap sakral.
Hubungan Manusia dan Harimau
Hubungan antara harimau dan manusia sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa sejak Pleistosen bawah, sisa-sisa manusia dan harimau ditemukan di lokasi yang sama bersamaan dengan sisa-sisa hewan buruan (Bellwood, 1979; Denis, 1964; Cheng, 1982).
Hubungan ini terus berlanjut, seiring dengan perubahan pola hidup manusia. Ketika manusia mulai menetap, mendirikan pemukiman, dan membuka ladang. Harimau menjadi pelindung bagi ladang manusia. Sebab keberadaan ladang ini menarik berbagai hewan berkuku seperti rusa dan babi untuk datang. Hewan-hewan ini juga menarik harimau untuk mendekati lingkungan manusia. Hal ini menciptakan hubungan yang saling menguntungkan di kedua belah pihak.
Namun, hubungan ini sangat rapuh karena dibentuk oleh dinamika lingkungan dan ketersediaan sumber daya (Seidensticker dan Suyono, 1976). Manusia juga memiliki adaptasi yang cepat, terutama dalam hal berburu yang sering kali dilakukan secara berlebihan. praktik ini, di satu sisi, mengurangi jumlah mangsa bagi harimau. Pada titik inilah, antara harimau dan manusia tidak lagi harmonis.
Secara singkat, relung ekologis manusia dan harimau saling tumpang tindih, menciptakan hubungan yang bisa saling menguntungkan sekaligus merugikan. Menurut Sperber (1974), ketika hewan berbagi relung dengan manusia, mereka sering dianggap sebagai “tetangga” dan menjadi bagian untuk “elaborasi simbolis” dalam kebudayaan manusia. Sebagai tetangga, manusia mengganggap harimau juga memiliki asal usul sama dengan manusia.
Karena itu, menurut Wessing (1991), dalam beberapa kalangan masyarakat Jawa, harimau sering dipercaya memiliki hubungan dengan leluhur manusia. Hubungan ini menjadi dasar penghormatan bagi harimau. Dalam berbagai tradisi lokal, hewan ini kerap dipanggil dengan sebutan-sebutan seperti mbah (kakek-nenek), datuk (Neill, 1973; Van Balen, 1914), atau guda (berasal dari bahasa Sanskerta gudha, yang berarti “tersembunyi” atau “rahasia”; Anonymous, 1845:142; Mardiwarsito, 1978). Selain sebagai penghormatan, sebutan tersebut diyakini agar tidak menarik perhatian harimau saat berada di hutan.
Harimau Sebagai Simbol Kejahatan
Menurut Nieuwenhuys (1984), tradisi rampog macan berakar pada kepercayaan bahwa membunuh harimau dapat memurnikan kejahatan, menjadikannya simbol elemen destruktif yang harus dihilangkan untuk memulihkan harmoni. Namun, mengapa harimau diasosiasikan dengan kejahatan, seperti halnya kedatangan Belanda? Wessing (1986) menjelaskan makna harimau dalam tradisi Jawa bersifat ambigu, bisa menjadi sekutu yang melindungi maupun ancaman yang mengganggu, tergantung konteks. Pandangan ini, melihat Belanda seperti itu—sebuah kekuatan asing yang melanggar batas alami, mengacaukan tatanan masyarakat Jawa sebagaimana harimau memasuki wilayah manusia.
Konteks memengaruhi persepsi terhadap harimau. Bagi istana, yang terkait erat dengan kekuasaan dan pusat kosmik, harimau melambangkan ancaman terhadap otoritas dan keseimbangan spiritual. Harimau tinggal di hutan, tempat asing dan misterius, kontras dengan wilayah manusia seperti alun-alun kraton yang dianggap pusat peradaban. Sebaliknya, masyarakat desa kerap memandangnya sebagai pelindung ladang. Ekspansi kolonial juga seperti harimau keluar dari hutan, memasuki wilayah yang bukan habitatnya, menguatkan kesan sebagai pengacau harmoni.
Heine Geldern (1942) menyatakan bahwa di Asia Tenggara, negara idealnya mencerminkan keselarasan antara kosmos dan tatanan politik. Kehadiran Belanda, sebagai kekuatan asing, bisa mengancam keselarasan ini. Karena itu, mereka dianggap melanggar fondasi kosmologis masyarakat Jawa. Anderson (1972) menambahkan bahwa kasekten—kekuatan kosmik—juga esensial bagi negara. Penguasa bertugas menarik dan mendistribusikan kekuatan ini untuk memastikan kesuburan tanah, kemakmuran ekonomi, dan ketenangan sosial. Namun, konflik politik dan militer akibat Belanda sering kali menciptakan ketidakseimbangan, mengancam stabilitas hingga berpotensi meruntuhkan sistem secara keseluruhan.
Tanggung jawab memulihkan harmoni ini tentu pada penguasa, yang harus menjaga keseimbangan kosmik dan psikologis masyarakat. Harimau, dalam ambiguitasnya, tidak hanya mewakili ancaman eksternal seperti Belanda, tetapi juga elemen liar dalam diri manusia—ketidakpastian dan potensi kekacauan yang dapat muncul tiba-tiba. Kesadaran akan “jiwa harimau” dalam diri ini menunjukkan bahwa disharmoni bisa berasal dari dalam maupun luar. Ritual rampog macan, yang digelar di alun-alun utara kraton, menjadi upaya simbolis untuk mengatasi ketidakseimbangan tersebut. Sebagai pusat kosmik, tempat ini menandai transisi dan transformasi, di mana harimau—baik sebagai simbol kejahatan maupun kekuatan liar—dieliminasi atau diintegrasikan demi harmoni yang utuh.[]