Sepanjang sejarah, perempuan sakti di Jawa sering dinarasikan dengan nada curiga, terutama ketika suaranya dianggap mengusik tatanan mapan. Sebagian dikenang sebagai penguasa yang tak terpisahkan dari kekuasaan raja (Smith & Woodward, 2016), sementara lainnya dicitrakan sebagai ancaman karena kesaktiannya dikaitkan dengan malapetaka. Mereka harus ditundukkan oleh laki-laki yang dianggap lebih bijak dan berhak menjaga keseimbangan dunia. Di belahan dunia lain, ribuan perempuan Eropa dituduh sebagai penyihir, ditangkap, disiksa, dan dihapus dari sejarah atas tuduhan tak berdasar. Dua realitas ini tampak berjauhan, tetapi bertemu dalam satu benang merah: perempuan yang melampaui batas patriarki kerap dimarginalkan dan diabadikan dalam politik ingatan sebagai sosok menyimpang yang harus dikontrol.
Salah satu contoh nyata dari konstruksi ini adalah kisah Calon Arang, tokoh yang terus hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Jawa dan Bali. Kisahnya diperkirakan muncul pada masa pemerintahan Airlangga di Kerajaan Daha, Kediri, Jawa Timur (1006–1042 M) (Harriyadi, 2020). Ia dikenal sebagai Ki Rangda, janda sakti pemuja Hyang Bagawati, Dewi Durga. Keputusannya mengikuti Dewi Durga bukan tanpa alasan—ia berniat membalas kematian suaminya, diduga akibat ilmu hitam. Sejak itu, penduduk desa mulai takut padanya, terlebih karena perangainya kasar. Tak ada laki-laki berani meminang putrinya, membuatnya semakin murka. Ia pun menyebarkan wabah ke seluruh Daha, hingga seorang pendeta sakti, Mpu Baradah, berhasil mengalahkannya.
Mengetahui keinginan Ki Rangda agar putrinya menikah, sang pendeta mengutus muridnya untuk menjalankan misi itu. Ia dibekali pesan untuk menemukan kelemahan Calon Arang, sosok gaib yang menyatu dengan tubuh Ki Rangda. Setelah tugasnya tuntas, Mpu Baradah berhasil mengalahkan Ki Rangda dengan membuatnya ‘bertaubat’ dari ‘ilmu hitam’. Kekalahan ini menandai berakhirnya wabah penyakit di Daha, yang selama ini dikaitkan dengannya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995). Namun, kisahnya tak pernah benar-benar hilang. Ia terus dikenang sebagai perempuan sakti yang menjadi momok bagi tatanan sosial, diwariskan dari generasi ke generasi sebagai sosok terkutuk.
Narasi serupa terjadi tidak hanya di Jawa, tetapi juga di Eropa, tempat ribuan perempuan menjadi korban perburuan penyihir selama berabad-abad. Tokoh laki-laki seperti Heinrich Kramer dan Jacob Sprenger bahkan memperkuat stigma ini melalui penerbitan karyanya berjudul Malleus Maleficarum (1486), panduan utama dalam memburu penyihir. Antara awal abad ke-14 hingga pertengahan abad ke-17, sekitar 200.000 hingga 500.000 orang dieksekusi atas tuduhan sihir (Yehuda, 1980), dengan mayoritas korban adalah perempuan. Mereka sering dicurigai memiliki kekuatan gaib yang mengganggu tatanan sosial, meski sebagian besar hanya menguasai pengobatan tradisional atau praktik keseharian di luar kebiasaan.
Dalam masyarakat yang didominasi oleh otoritas gereja dan patriarki, perempuan dengan pengetahuan semacam itu dipandang berbahaya, terutama jika mereka hidup di luar kendali institusi agama atau menolak tunduk pada norma sosial. Keahlian mereka dalam meramu obat dan memahami alam sering kali diputarbalikkan sebagai bukti keterlibatan dalam praktik ilmu hitam. Dalam banyak kasus, tuduhan penyihir bukan sekadar persoalan religius, melainkan juga strategi pengendalian sosial untuk menyingkirkan perempuan yang mandiri, vokal, atau memiliki pengaruh di komunitasnya (Faradilla, 2023). Dengan demikian, perburuan penyihir menjadi mekanisme efektif untuk mempertahankan dominasi patriarki dan memastikan perempuan tetap berada dalam batas-batas yang ditentukan oleh masyarakat.
Dampak ketakutan ini tidak berhenti di masa lalu. Politik ingatan terus beroperasi, memilah apa yang dikenang dan apa yang disisihkan (Kurniawan, 2019). Otoritas—baik negara, institusi agama, maupun kaum intelektual dalam historiografi—menentukan narasi sejarah sesuai kepentingan dominan. Dalam kasus perempuan yang distigma sebagai penyihir, ingatan kolektif tidak mewarisi peran mereka sebagai tabib atau penjaga pengetahuan tradisional, melainkan mencitrakan mereka sebagai ancaman bagi patriarki dan institusi agama. Akibatnya, kekerasan yang mereka alami tersingkir dari kesadaran sejarah, menciptakan amnesia sosial dan membuat masyarakat gagal mengenali pola ketidakadilan serupa hingga kini (Candraningrum, 2013)
Seperti dalam budaya populer hari ini, di mana sosok penyihir lebih sering digambarkan sebagai perempuan tua yang menakutkan dan penuh dendam, alih-alih sebagai korban dari mekanisme pengendalian sosial yang menyingkirkan mereka. Sementara beberapa produksi seni seperti drama, film, atau pertunjukan teater, Calon Arang masih sering ditampilkan sebagai sosok antagonis. Dengan demikian, dalam banyak kasus, sejarah tidak hanya menyingkirkan perempuan-perempuan ini dari narasi resmi, tetapi juga memastikan bahwa ketakutan terhadap mereka tetap hidup dalam imajinasi kolektif. Dengan cara ini, politik ingatan tidak hanya berfungsi untuk mengontrol masa lalu, tetapi juga untuk membentuk cara berpikir masyarakat tentang perempuan yang melampaui batas-batas yang telah ditetapkan.
Dari sini, mengapa kita perlu menilik kesamaan antara kisah Calon Arang dan perburuan penyihir di Eropa? Meski berbeda secara geografis dan kultural, keduanya menunjukkan pola serupa dalam mengontrol perempuan yang melampaui norma sosial atau kekuasaan. Dengan membandingkannya, kita dapat memahami bagaimana sejarah dan politik ingatan membentuk persepsi tentang perempuan yang dianggap berbahaya atau mengancam. Politik ingatan di sini tidak sekadar melanggengkan narasi dominan, tetapi juga memperkuat stereotip terhadap perempuan di luar batas harapan masyarakat.
Selain itu, kita tidak bisa menyangkal bahwa tubuh perempuan sering menjadi lokasi historis berbagai praktik diskriminasi, baik sosial, budaya, maupun politik. Sejak masa lampau, tubuh perempuan telah menjadi medan pertarungan ideologis, tempat norma dan nilai patriarki diterapkan untuk mengontrol, menundukkan, dan membatasi kebebasan serta hak-hak mereka. Dari penyiksaan perempuan tertuduh penyihir hingga pembatasan hak dalam kehidupan sosial, tubuh mereka kerap diperlakukan sebagai objek sesuai kehendak sistem yang berkuasa. Dengan demikian, tubuh perempuan bukan sekadar simbol penindasan, tetapi juga ruang tempat struktur kekuasaan berakar dan dipertahankan melalui berbagai bentuk kekerasan serta ketidaksetaraan (Jurnal Perempuan, 2013).
Sebagai penutup, kisah Calon Arang dan perburuan penyihir di Eropa memperlihatkan bagaimana kekuasaan dan politik ingatan terus bekerja untuk mendominasi serta mengontrol tubuh perempuan. Perempuan yang melampaui batas sosial kerap distigma sebagai ancaman, dikutuk dalam narasi sejarah, dan diwariskan sebagai momok dalam ingatan kolektif. Menggali kisah-kisah ini bukan sekadar upaya memahami sejarah penindasan, tetapi juga langkah untuk membongkar konstruksi yang telah menormalisasi ketidakadilan. Dengan menelusuri bagaimana perempuan-perempuan ini dicitrakan dan dikendalikan, kita dapat melihat bagaimana warisan pengendalian atas tubuh dan suara perempuan masih berlanjut hingga hari ini. Oleh karena itu, merebut kembali ingatan sejarah menjadi bagian dari perjuangan lebih luas untuk menantang struktur patriarki, membongkar distorsi narasi dominan, serta membuka ruang bagi keadilan dan kebebasan perempuan yang telah lama dipinggirkan.