Ragam Messianisme Di Indonesia

Messianisme di Indonesia mencerminkan keragaman budaya dan sejarah masyarakat yang meliputi keyakinan pada datangnya sosok juru selamat. Tradisi ini muncul sebagai respons terhadap penindasan dan pengaruh asing. Menurut Kroef, gerakan ini bercorak apokaliptik dan kerap dianggap irasional oleh perspektif Barat, meskipun mencerminkan upaya lokal untuk memulihkan kedaulatan dan identitas.

Kepercayaan terhadap kedatangan seorang juru selamat atau Messias di Indonesia sangatlah beragam. Hal ini disebabkan setiap masyarakat di Indonesia memiliki latar belakang sejarah, kepercayaan lokal, dan pengalaman penjajahan yang berbeda-beda. Dari keragaman ini, timbul berbagai penafsiran dan manifestasi gerakan dalam menghadapi penindasan serta upaya untuk membebaskan diri dari pengaruh asing.

Justus Maria Van der Kroef melalui karya berjudul “The Messiah in Indonesia and Melanesia” (1952), menyelami tradisi unik yakni kepercayaan terhadap Messianisme dalam budaya sosial masyarakat di wilayah Asia Tenggara.  Ia mengungkapkan bagaimana keyakinan akan kedatangan Messias atau juru selamat telah menjadi bagian yang melekat dalam kepercayaan masyarakat, terutama di wilayah Indonesia dan Melanesia. Menurutnya, kepercayaan tersebut sering kali muncul sebagai reaksi terhadap penindasan atau tekanan dari bangsa asing di luar kelompoknya.

Di Indonesia, Tradisi Messianis memainkan peranan yang signifikan dalam mengembangkan semangat nasionalisme. Semangat nasionalisme yang dipupuk oleh tradisi tersebut, kemudian diproyeksikan ke dalam perjuangan nyata untuk melawan serta mengusir penjajah Belanda dari tanah Indonesia. Hal serupa terjadi di Melanesia, semangat nasionalisme juga dianggap sebagai manifestasi dari kepercayaan masyarakat terhadap tradisi Messianis.

Kroef mencatat, ada beberapa tradisi Messianis yang berkembang di berbagai pulau di Indonesia. Contohnya, di Kalimantan terdapat Gerakan kepercayaan yang bernama Rijuli. Gerakan ini meyakini bahwa akhir dunia sudah dekat dan setelah itu akan muncul kesepakatan baru. Kesepakatan itu dipercaya sebagai era baru yang membawa kesetaraan dan kemakmuran bagi semua manusia yang masih hidup (Mallinckrodt:1925). Menurutnya harapan dari Gerakan tersebut lebih berkaitan dengan kehancuran total pada alam semesta.

Di Sulawesi, khususnya di wilayah Minahasa, terdapat gerakan kepercayaan yang disebut Mejapi. Menurut Kroef, gerakan Mejapi membawa misi untuk mengusir orang asing dari wilayah mereka. Masyarakatnya meyakini bahwa hal tersebut merupakan bagian dari upaya memurnikan daerah mereka. Selain itu, gerakan Mejapi ini sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Kristen tentang Yesus sebagai Juru Selamat. Unsur agama gerakan ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan Gerakan Rijuli di kalimantan.

Gerakan kepercayaan serupa juga ditemukan Kroef pada masyarakat Batak di Sumatera, yaitu Gerakan Parhu Damdam. Sama halnya dengan mejapi, gerakan ini juga berkaitan dengan mengusir orang asing dari kelompok mereka sebagai persiapan menuju milenium atau era baru. Masyarakatnya meyakini menuju era baru akan ada sosok penyelamat atau pembebas bagi mereka. Figur penyelamat ini oleh masyarakatnya dihubungkan dengan dewa-dewa tradisional.

Sedangkan di Jawa, kepercayaan terhadap Messianis memainkan peran yang signifikan di tengah masyarakat. Kepercayaan ini dikenal dengan sebutan Ratu Adil. Sosok tersebut dipahami oleh masyarakat jawa sebagai penguasa yang baik hati dan adil. Dia diyakini mampu membebaskan Jawa dari penderitaan di bawah kolonialisme.

Menurut Kroef, Kepercayaan masyarakat Jawa akan datangnya Messianis selalu dikaitkan dengan nubuat Raja Jayabaya, penguasa Kerajaan Kediri di Jawa Timur (1130-60 Masehi). Nubuat ini telah menjadi bagian dari budaya dan kepercayaan masyarakat Jawa selama berabad-abad. Dalam nubuatnya, Sang Raja meramalkan bahwa suatu saat akan muncul seorang juru selamat yang akan membebaskan masyarakat Jawa dari penderitaan dan penindasan. Kroef menafsiri Ramalan tersebut berbunyi:

“Java or perhaps all of Indonesia would be free after a period of domination by a yellow race. The length of corn and rice stalks would signify a coming liberation from foreign rule, and Indonesia would reenter the lost Golden Age”

Selain ramalan Raja Jayabaya, menurut Kroef, nubuat Mesianik tampaknya juga berasal dari Pangeran Diponegoro, tokoh pemberontakan Jawa melawan Belanda yang dikenal dengan Perang Jawa. Sang Pangeran percaya perang yang dipimpinnya itu adalah misi membersihkan pulau Jawa dari segala kontaminasi asing. Dalam perang tersebut, ia berupaya mengembalikan kemurnian agama serta moral yang menjadi ciri peradaban Jawa kuno.

Nubuat serupa pernah dilontarkan melalui tokoh sederhana bernama Samin, seorang petani yang memiliki rasa kepatuhan penuh pada tatanan kosmis. Catatan Kroef menyebutkan, perubahan kebijakan administrasi paksa yang dilakukan Belanda di desa Samin pada 1920 memicu amarah dan kebencian warga. Hal ini juga memicu Samin untuk berjuang menentang kebijakan tersebut, seraya mengajak semua masyarakat menentangnya. Dalam penentangannya terselip nubuat yang berbunyi:

“Hari perhitungan sudah dekat, di mana kulit putih akan digulingkan dan zaman keemasan yakni situasi kedamaian akan tiba”.

Lebih lanjut, kepercayaan Messianis kian merebak di tengah masyarakat di Indonesia. Menurut Kroef, hal ini beriringan dengan mengemukanya doktrin ajaran Islam yang menonjol di negara tersebut. Salah satu contoh penting ialah peran Kyai Hasan Maulani, seorang tokoh agama yang dibuang Belanda ke pengasingan pada tahun 1842. Pengasingannya dipicu pemberontakan di Jawa Barat akibat nubuat Mesianiknya mengenai bencana alam yang akan terjadi, lalu diikuti pembebasan bagi mereka yang beriman.

Pada abad 20, Mesianisme Islam telah mewujud dalam kelompok-kelompok seperti Hizbul Wathon dan Sabillillah, yakni muslim fanatik yang dipimpin oleh para tokoh masjid, mistikus, atau militan. Mereka bersekutu dengan unit-unit terorganisir seperti TNI dalam melawan Belanda. Gerakan mereka ini dilampiaskan kepada minoritas Eropa dan Tionghoa yang dianggap sasaran tepat perang sabil (perang suci). Dalam sejumlah catatan yang ditemukan Kroef, terutama di Malang, para korban pembantaian Tionghoa dan Eropa disunat sebelum dibunuh.

Setelah mengumpulkan informasi dan data mengenai tradisi Messianik di Indonesia, Kroef, mengatakan bahwa gerakan yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia sangat bersifat Apokaliptik –mengharapkan kehancuran total lalu disusul zaman keemasan. Sifat tersebut menurutnya tercermin dalam kepercayaan dan gerakan-gerakan Messianis yang cenderung radikal, revolusioner, serta menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka. Mereka meyakini bahwa hanya dengan memurnikan masyarakat dari pengaruh asing, maka zaman keemasan atau hari akhir yang dijanjikan akan tiba.

Selain itu, Kroef beranggapan bahwa gerakan Messianis di Indonesia dianggap sangat tidak rasional karena digerakkan oleh sesuatu yang tidak objektif. Menurutnya, gerakan ini lebih didasarkan pada kepercayaan atau keyakinan tertentu yang tidak dapat dijelaskan secara logis dan ilmiah. Ia menilai bahwa gerakan tersebut cenderung mengandalkan aspek spiritual atau mistis yang sulit dibuktikan secara empiris.

Dengan begitu, melalui tulisan Kroef, tampak bahwa sifat apokaliptik dalam kepercayaan dan Gerakan Messianis di Indonesia merupakan anggapan yang sangat bias Barat. Ia menggunakan standar dan sudut pandang Barat dalam menilai fenomena budaya masyarakat di Indonesia. Pandangan ini berpotensi memarjinalkan perjuangan masyarakat pribumi untuk membebaskan diri dari pengaruh asing yang dianggap sebagai ancaman terhadap identitas dan kedaulatan mereka.

Selanjutnya, Pandangan Kroef terhadap Gerakan Messianis di Indonesia yang tidak rasional dan objektif mencerminkan kecenderungannya terhadap paradigma positivistik. Akibatnya, mengabaikan kemungkinan adanya jalur alternatif menuju zaman keemasan yang berakar pada konteks budaya dan sejarah masyarakat lokal itu sendiri. Tanpa disadari, hal tersebut menegaskan superioritas epistemologi Barat dan menafikan cara pandang serta strategi masyarakat pribumi dalam menyikapi keadaan yang dialami.

Terpopuler

Harimau Jawa, Riwayatmu Kini!

Harimau Jawa (Panthera tigris sondaicus) telah lama dinyatakan punah, namun jejaknya tetap hidup...

Penyihir dan Kontrol atas Tubuh Perempuan

Perempuan sakti di beberapa budaya dicitrakan negatif dalam politik ingatan. Mereka digambarkan...

Kemerosotan Tayub

Tayub merupakan tarian Jawa yang kontroversial karena nuansa erotik dan ritual mistisnya. Melalui...

Waranggana

Waranggana merupakan simbol perempuan Jawa yang kuat dan mandiri, berperan penting dalam ekonomi dan...

Desa Proyek Kolonial?

Desa di Jawa yang kita kenal saat ini merupakan hasil proyek kolonial yang melembagakan struktur...

Integrasi Kurikulum Nasional di Pesantren

Proses Integrasi kurikulum nasional di pesantren Indonesia dan Thailand Selatan mencerminkan dua...

Ragam Messianisme Di Indonesia

Messianisme di Indonesia mencerminkan keragaman budaya dan sejarah masyarakat yang meliputi...

Bakung 1967-1968: Potret Kelam Perang Pangan

Bakung 1967-1968 menggambarkan konflik antara Orde Baru (Orba) dan PKI yang menggunakan pangan...

Dukun Manten di Jawa

Dukun pengantin dalam tradisi pernikahan Jawa memainkan peran penting sebagai pembimbing spiritual...