Kosmologi Hewan dalam Siklus Hidup Manusia

Dahulu, masyarakat Jawa dan sebagian besar Asia Tenggara menyadari bahwa asal-usul, kelangsungan dan akhir hidup terkaiterat dengan alam. Kesadaran ini tercermin dalam penggunaan simbol-simbol hewan dalam ritual tertentu selama transisi kehidupan. Ini dijelaskan oleh Robert Wessing dalam "Symbolic Animals in the Land between the Waters Markers of Placeand Transition" (2006). Inilah neraca dari kekayaan khazanah simbol-simbol hewan dalam keyakinan dan ritual masyarakat yang memiliki kemiripan di hampir seluruh wilayah Asia Tenggara.

Keberadaan simbol hewan ini juga terkait dengan keyakinan tentang tatanan kosmologis di masyarakat Jawa dan secara luas di Asia Tenggara (Heine Geldern, 1930). Oleh karena itu, setiap perubahan kehidupan selalu melibatkan upacara dan simbol hewan. Manusia seperti hidup dalam dunia
tiga dimensi, peralihan tersebut dapat dijelaskan secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal, dunia terbagi menjadi tiga bagian: bawah, tengah, dan atas.Sedangkan peralihan secara horizontal merupakan tahapan kehidupan manusia di dunia atau masyarakat.

 

Konsep tiga dunia dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam desain arsitektur. Misalnya, saat melihat bentuk atap yang terdiri dari tiga lapis, hal ini bisa diartikan sebagai representasi dari konsep tiga dunia. Sama halnya, bentuk atap masjid UIN Sayyid Ali Rahmatullah (SATU) Tulungagung juga mungkin didasarkan pada konsep tersebut. Konsep ini juga dapat ditemukan dalam seni tradisional, seperti gunungan kayon dalam pertunjukan wayang, serta dalam desain menara kremasi yang ada di Bali.

Dunia bawah, dalam konsep tersebut, dianggap sebagai wilayah air yang diyakini sebagai asal-usul kehidupan dan segala sesuatu. Dunia bawah juga terkait dengan kesuburan dan kesejahteraan. Beberapa hewan yang terkait dengan dunia ini mencakup ikan, ular (naga), kerbau air, kura-kura, dan buaya. Namun ular (naga) menjadi simbol utama di dunia bawah. Karena itu, ada cerita-cerita terkait kerjasama dengan makhluk tersebut untuk mengawali sesuatu daerah (babad), desa bahkan negara. Kerjasama ini tentu saja untuk memastikan kesuburan, kesejahteraan dan kemakmuran di masa depan.

Cerita seperti di Kamboja, seorang pangeran harus menikahi naga perempuan atau Nagini, yang merupakan penguasa perairan, agar dapat menjadi raja. Sama dengan kisah di Jawa, sang Panembahan Senopati juga harus menikahi Nyi Roro Kidul, naga penguasa laut selatan. Di Sumatra, ada cerita bahwa awalnya gunung Marapi dijaga oleh seekor naga, tetapi setelah sekelompok orang dari Mekah berhasil
membunuh makhluk tersebut, pulau tersebut kemudian membesar.

Pendirian negara tidak hanya melibatkan ular (naga), tetapi juga hewan lain yang dianggap memiliki peran penting, seperti kerbau dan sapi. Di Aceh dan Minangkabau, kerbau dihubungkan dengan dunia bawah yang konon muncul ke bumi dari gua (De Josselin De Jong, 1965; Cowan, 1973). Di Aceh khususnya, ada kepercayaan pada sakralitas kerbau putih. Menurut Mansur Amin yang dikutip oleh Wessing, ada cerita bahwa seorang pangeran di Aceh mendirikan kerajaan di tempat seekor kerbau putih berhenti saat ditungganginya. Mitos lain dari Minangkabau menyebutkan bahwa calon penguasa yang muncul dari bawah laut menunggangi sapi putih keperakan (De Josselin De Jong, 1965). Kehadiran penguasa ini membuat padi berubah menjadi emas dan perak.

Pada tataran pembentukan desa juga tidak lepas dari ular (naga). Seorang pendiri juga harus membuat kesepakatan dengan roh alam setempat. Roh tersebut yang kemudian menjadi penjaga (dahyang) desa. Selain itu, keberadaan penjaga sekaligus sebagai perwujudan kesuburan di desa tersebut. Roh penjaga desa ini biasanya berbentuk ular yang tinggal di rumpun pohon dekat sumber air desa (Wessing, 1999b). Hal ini juga terkait pentingnya keberadaan air bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat. Air menjadi awal terwujudnya kehidupan, seperti halnya saat awal pembentukan suatu desa. Karena itu, dahulu di Jawa, sumur menjadi bagian paling awal dibangun sebelum mendirikan rumah.

Selain terkait pendirian desa, hewan-hewan tertentu seperti kerbau dan sapi yang memiliki peran penting dalam pertanian dijadikan gelar bagi para bangsawan. Mereka ini biasanya para penguasa yang terlibat pengembangan pertanian. Di Jawa Barat, Raja Pajajaran pertama disebut ‘Mahisa’ yang artinya kerbau, dan keturunannya juga menggunakan gelar ‘Munding’. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, beberapa bangsawan memiliki sebutan ‘Lembu’ dan ‘Kebo’, sebagai bagian dari nama mereka (Muljana, 2005; Pramudito, 2006).

Hewan lain yang masih terkait dengan kehidupan di desa adalah harimau (macan). Hewan ini dianggap sebagai penjaga karena sering berada di perbatasan antara hutan dan desa. Di habitatnya harimau sering memburu hewan-hewan yang merusak pertanian milik masyarakat. Secara spiritual, harimau juga dipercaya berbagi peran penjaga dengan dahyangan, roh pelindung desa (Wessing, 1986). Keberadaan harimau dianggap penting untuk memastikan bahwa penduduk desa berperilaku baik dan mematuhi perjanjian dengan roh pelindung desa (Winstedt, 1977).

Ritual-Ritual Melibatkan Hewan

Kepercayaan terhadap hewan-hewan yang terkait dengan dunia bawah menjadi bagian penting dalam pertanian. Misalnya, ketika petani memerlukan hujan atau saat curah hujan terlalu berlebihan, mereka mempercayai bahwa menggunakan kerbau sebagai perantara dapat mengendalikan cuaca (Kreemer, 1956). Di masyarakat Melayu, sebelum menanam padi, mereka melakukan ritual mengorbankan dan menguburkan kambing di pusat sawah sebagai simbol kerbau. Selain itu, dalam proses penanaman, mereka menggunakan kuku kambing untuk menyemai benih padi (De Josselin de Jong, 1965; Skeat, 1972). Selama masa penanaman padi, masyarakat Toba mengandalkan kerbau untuk mengusir roh jahat
(Kreemer, 1956). Begitu juga di Aceh, di mana petani membiarkan seekor kerbau berkeliaran di sawah mereka untuk menjamin keberhasilan panen (Buchari, 1980).

Setelah panen, masyarakat masih melaksanakan ritual untuk memastikan kesuburan roh penunggu desa tetap mengalir kembali ke mereka. Di masyarakat Osing, ada sebuah ritual bernama ‘seblang’ di mana para laki-laki desa memerankan diri menjadi kerbau. Di Madura, juga ada ritual adu sapi setelah panen. Beberapa tempat memiliki pola serupa, menggunakan hewan atau manusia yang berperan sebagai hewan untuk ritual tersebut.

Berbagai ritual tersebut, bisa dibilang berada pada tingkat komunitas. Pada tingkat individu ada beberapa ritual penting sebagai bagian dari tatanan kosmos. Hal ini dilakukan untuk mempermudah manusia menghadapi transisi dalam kehidupannya. Misalnya, di Madura, ada tradisi makan-makan (nyebe) pada bulan ketiga kehamilan. Pada saat ini, bayi dalam kandungan, hidup dalam air ketuban sang ibu, seperti halnya air dunia bawah yang menjadi bagian bumi. Ritual ini melibatkan hidangan daging merah, unggas, dan terutama ikan air tawar (Handayani, 1990). Ritual ini dilakukan tentu saja untuk mempersiapkan kehadiran bayi ke dunia manusia. 

Pada usia ketujuh bulan kehamilan, masyarakat Sunda di Jawa Barat mengadakan jamuan makan yang menyuguhkan rujak, telur dan berbagai jenis ikan, dan melarang daging dan unggas (Moestapa, 1946). Di beberapa daerah di Jawa Barat, menyuguhkan tumpeng dengan lauk ikan asin. Terdapat larangan untuk memakan daging ayam, sapi, kerbau. Di Jawa Barat juga ada ritual memandikan ibu hamil, terkait dengan dunia bawah dan menyertakan belut (pengganti ular) agar memudahkan kelahiran sang bayi (Wessing, 1978a).

Pada usia ketujuh bulan kehamilan, masyarakat Sunda di Jawa Barat mengadakan jamuan makan yang menyuguhkan rujak, telur dan berbagai jenis ikan, dan melarang daging dan unggas (Moestapa, 1946). Di beberapa daerah di Jawa Barat, menyuguhkan tumpeng dengan lauk ikan asin. Terdapat larangan untuk memakan daging ayam, sapi, kerbau. Di Jawa Barat juga ada ritual memandikan ibu hamil, terkait dengan dunia bawah dan menyertakan belut (pengganti ular) agar memudahkan kelahiran sang bayi (Wessing, 1978a).

Setelah seorang anak lahir dan mencapai usia empat puluh hari, di saat sang dukun bayi pergi (Wessing, 1978a), sebagai bagian dari ritual kepulangan dukun bayi, disajikan hidangan ikan dan daging (mungkin daging kambing). Ritual ini menjadi simbol untuk tetap terhubung dengan dunia bawah sambil memulai hubungan dengan dunia manusia (Jordaan, 1985). Menurut Wessing berdasarkan catatan Moestapa (1946), bagian penting dari upacara ini adalah ibu bayi juga merawat anak ayam yang disebut hurip (hidup). Kelangsungan hidup sang anak dihubungkan dengan ayam yang dirawat oleh ibu tersebut.

Setelah melewati masa itu, anak diharapkan tumbuh menjadi dewasa. Dalam kehidupannya, masyarakat menandai kedewasaan seseorang melalui dua peristiwa penting, sunat dan pernikahan. Saat upacara sunat, orang Sunda meletakkan sesaji kepada roh pelindung desa, berupa daging mentah di empat sudut halaman rumah (Prawirasuganda, 1964). Sebelum operasi, kepala ayam hitam juga dikuburkan untuk menghindari pengaruh jahat (Moestapa, 1946). Ayam hidup diberikan kepada juru sunat, sementara di sisi lain, ayam hitam atau kambing juga disembelih, yang biasa disebut bela (Rikin, 1973). Bela merupakan pengganti persembahan bagi anak laki-laki yang sedang mengalami transisi, sehingga hanya mengalami kematian simbolis karena sunat (Appel, 2001). Hal ini serupa dengan saat seseorang sakit parah, di mana dilakukan bela berupa penyembelihan seekor kambing, sapi, atau kerbau.

Untuk sepenuhnya dianggap dewasa, seseorang harus menikah. Pada momen ini, sekali lagi hewan memainkan peran simbolis. Wessing menurut Rikin (1973) mengamati ritual pernikahan dan sunat memiliki banyak kesamaan. Pada ritual ini ada beberapa barang yang harus diberikan oleh pengantin pria, berupa daging kerbau (Bratawidjaja, 1990). Tapi di sisi lain Appel (2001) juga mencatatat bahwa pengantin pria harus memberikan dua ekor ikan. Usai pernikahan, di Sunda ada ritual menarik ayam yang sudah dimasak (bakakak) oleh pasangan pengantin. Pengantin yang berhasil mendapatkan daging yang lebih besar dianggap membawa keberuntungan bagi keluarga.

Sampailah kita pada tahap akhir siklus kehidupan manusia yaitu kematian. Pada siklus ini, simbol hewan yang mengiringi kematian adalah kerbau. Kerbau dianggap etara atau sebagai pengganti manusia. Seperti masyarakat Flores yang percaya bahwa ada kaitan roh manusia dengan kerbau di dunia atas (Kreemer, 1956; Forth, 1998; De Josselin De Jong, 1965). Begitu juga di Sulawesi, para leluhur memiliki kerbau spiritual yang menjadi pelindung kerbau di bumi. Di Jawa Barat, orang meninggal benar-benar dikatakan meninggal setelah diadakan ritual menyembelih kerbau (Moestapa, 1946). 

Di Jawa sendiri sebutan untuk batu nisan adalah maesan. Istilah tersebut identik dengan bahasa Jawa halus untuk menyebut kerbau (maesa). Seperti halnya di Bali, orang terhormat ketika mati dikremasi dalam peti yang berbentuk kerbau. Di beberapa masyarakat, seperti Toraja dan Besemah, Sumatera Selatan, yakin bahwa kerbau menjadi penuntun roh orang mati menuju akhirat (Kreemer, 1956;Tichelman, 1942; Schefold, 1990). Dikenal juga dalam Islam, hewan kurban diyakini akan menjadi penolong atau ‘tunggangan roh’ bagi manusia di akhirat.

Berbagai hewan yang mengiringi kehidupan manusia, sesungguhnya menunjukan ketergantungan manusia dengan alam. Berbagai ketergantungan tersebut terwujud pada hewan-hewan sebagai sarana ritual. Alam memang dilihat sebagai bagian tidak terpisahkan dalam setiap fase kehidupan manusia. Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya menjaga alam dan menjaga keseimbangan ekosistem menjadi penting bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. []

Terpopuler

Harimau Jawa, Riwayatmu Kini!

Harimau Jawa (Panthera tigris sondaicus) telah lama dinyatakan punah, namun jejaknya tetap hidup...

Penyihir dan Kontrol atas Tubuh Perempuan

Perempuan sakti di beberapa budaya dicitrakan negatif dalam politik ingatan. Mereka digambarkan...

Kemerosotan Tayub

Tayub merupakan tarian Jawa yang kontroversial karena nuansa erotik dan ritual mistisnya. Melalui...

Waranggana

Waranggana merupakan simbol perempuan Jawa yang kuat dan mandiri, berperan penting dalam ekonomi dan...

Desa Proyek Kolonial?

Desa di Jawa yang kita kenal saat ini merupakan hasil proyek kolonial yang melembagakan struktur...

Integrasi Kurikulum Nasional di Pesantren

Proses Integrasi kurikulum nasional di pesantren Indonesia dan Thailand Selatan mencerminkan dua...

Ragam Messianisme Di Indonesia

Messianisme di Indonesia mencerminkan keragaman budaya dan sejarah masyarakat yang meliputi...

Bakung 1967-1968: Potret Kelam Perang Pangan

Bakung 1967-1968 menggambarkan konflik antara Orde Baru (Orba) dan PKI yang menggunakan pangan...

Dukun Manten di Jawa

Dukun pengantin dalam tradisi pernikahan Jawa memainkan peran penting sebagai pembimbing spiritual...