Debat Metode dalam Kajian Islam Jawa

Paul Stange dalam Javanism as text or praxis (1990) mengotopsi secara menyeluruh hasil penelitian Mark R. Woodward di Yogyakarta, yang kemudian dibukukan menjadi “Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta” (1989). Karya ini dianggap lemah dalam etnografi, juga tidak terlalu peduli pada sumber-sumber primer. Ulasan ini merupakan hasil perkuliahan Peta Kajian Islam Jawa di Prodi Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) yang diampu oleh Akhol Firdaus, Direktur IJIR UIN SATU Tulungagung.

Tulisan ini membahas kritik Paul Stange terhadap karya primer Mark R. Woodward, “Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta” (1989). Karya tersebut dianggap sangat bergantung pada sumber-sumber sekunder serta tidak ketat dalam etnografi. Islam in Java juga dianggap sangat dominan menggunakan sudut pandang Keraton. Woodward dianggap membatasi sumber-sumber penelitiannya sebatas pada teks-teks resmi yang tersedia di Istana. Sudah begitu, antropolog ini juga hanya memilih naskah-naskah yang menurutnya masuk dalam kriterianya untuk menentukan sifat Islam Jawa.

Studi Woodward pada awalnya menggunakan pendekatan sejarah dan budaya India dalam melihat praktik-praktik Kejawaan. Dalam usahanya melihat bukti pada acara perayaan kelahiran Nabi Muhammad (Maulid Nabi), Ia tampaknya gagal dalam membaca gejala antropologi untuk disesuaikan dengan pendekatan yang sudah ia disiapkan. Pada akhirnya pendekatan penelitiannya pun berubah dari pendekatan sejarah dan budaya, berpaling pada pendekatan normativitas Islam.

Hal tersebut bukanlah salah satu faktor utama yang membuatnya mengubah sumber-sumber yang sudah disiapkan. Woodward juga terpengaruh oleh informannya, seorang anggota terkemuka dari organisasi Islam terbesar, Muhammadiyah. Narasumber yang sangat dipercaya oleh Woodward inilah yang mengatakan bahwa, ritual di Keraton yang sangat kental dengan Kejawaan, bukan merupakan suatu praktik yang menyimpang dari Islam.

Paul Stange menyoroti bahwa keputusan Woodward untuk mengubah arah penelitiannya secara drastis berdasarkan kegagalan awal dalam menemukan bukti yang sesuai dengan asumsinya, dianggap sebagai keputusan yang terlalu dini. Ini menunjukan kurangnya kesabaran dalam penelitian dan tidaksetiaan terhadap metodologi yang dicanangkan sejak awal. Selain itu, Stange juga merasa khawatir bahwa pengaruh informan yang sangat menonjol dapat mengarah pada bias dalam penelitian Woodward.

Sudah pasti, Stange menilai adanya kecerobohan yang dilakukan Woodward (1989) dalam kajian antropoliginya. Salah satunya saat dia mencoba menghadirkan model trikotomi Geertzian seperti dimuat dalam “The Religion of Java” (1960), dengantanpa memperhatikan adanya transformasi akibat jarak waktu perkembangan Islam Jawa sejak model trikotomi pertama kali muncul, hingga periode Woodward melakukan riset. Secara faktual, dari periode ke periode, praktik Islam Jawa sebagaimana direpresentasikan oleh kalangan abangan, santri, priyayi, juga
mengalami perubahan yang dinamis.

Kurangnya amatan terhadap proses transformasi sosial menunjukkan bahwa karya Woodward berpotensi didominasi oleh pandangan umum (common sense). Stange menambahkan bahwa banyak penstudi yang membaca karya Geertz secara artifisial, tanpa memperhatikan konteks lokal yang spesifik. Hal sama berlaku pada karya Islam in Java, dan hal ini sekaligus menunjukkan betapa Woodward kurang mendalami kompleksitas keagamaan di Jawa.

Hal lain yang menjadi sorotan Stange adalah saat Woodward mengusung konsepkonsep penguasa (sultan), guru Islam (kyai), dan mistikus, tanpa membedakan posisi dan strata sosial mereka. Hal ini sekaligus menunjukkan kurangnya penekanan pada keragaman budaya dalam deskripsi tentang keagamaan di Jawa. Stange misalnya menyoroti bab kedua buku Islam in Java, dan menganggap karya tersebut sangat lemah dalam etnografi. Paparan yang dihasilkan dari data etnografi.

Sumbangan Woodward mengenai penafsiran atas mitos menurut Stange cukup penting untuk penelitian-penelitian antropologi sesudahnya, akan tetapi justru karena itu kekhawatiran Stange justru mendapat pembenarannya, karena penjelasan tentang mitos dalam karya tersebut sama sekali tidak menyentuh teks-teks primer maupun data-data etnografi. Meskipun begitu, Woodward mengklaim telah melakukan keduanya.

Menurut Stange, Islam in Java dipenuhi dengan sumber sekunder. Hal tersebut merupakan uatu kekurangan yang dapat membatasi kedalaman analisis. Hanya “Babat Tanah Jawi” karya Santoso (1970) dan “The Royal Palace of Yogyakarta: Its Architecture and Its Meaning” karya Brongtodiningrat (1975) yang dapat dikategorikan mendekati teks primer. Dengan keterbatasan sumber primer, risiko terjadinya penafsiran yang kurang akurat atau sempit terhadap materi yang dikaji menjadi sangat terbuka.

Pada bab tiga Woodward terlalu mengadopsi kerangka pemikiran Barat untuk memahami budaya Jawa dan Islam Jawa. Bagi Stange, hal ini dapat mengakibatkan penyederhanaan yang tidak tepat terhadap kompleksitas budaya tersebut. Pendekatan Woodward dalam menolak klaim-klaim ortodoksi dalam Islam terlalu meremehkan nilai-nilai tradisional yang telah diterima dalam masyarakat Muslim di Jawa. Dalam pandangan bahwa elemen-elemen Hindu dari Islam Jawa harus ditafsirkan sesuai prinsip-prinsip dalam Quran, Woodward mungkin mengabaikan keunikan dan kompleksitas dari Islam Jawa itu sendiri. Menurut Stange ini bisa menyiratkan bahwa pendekatan Woodward tersebut kurang memperhatikan konteks lokal dan warisan budaya yang kuat dalam tradisi Islam Jawa.

Selanjutnya, pada bab ketujuh Islam in Java yang membahas berbagai sumber yang membicarakan konsep karma. Konsep ini dihubungankan dengan konsep reinkarnasi, dan Woodward menegaskan bahwa, konsep reinkarnasi tersebut tidak ditemukan dalam mistisisme Jawa. Di bagian ini, Stange mengatakan bahwa Woodward tidak membandingkan argumen-argumen yang menyokong bahwa konsep mistik reinkarnasi itu nyata adanya dalam mistisisme Jawa.

Stange yakin bahwa Woodward mungkin hanya sedikit berbicara kepada para informan mistikus. Begitu pula, peneliti ini juga dianggap tidak mendekati sumber-sumber teks dengan seksama. Atau, kemungkinan terburuknya adalah, Woodward memang benar-benar tidak mengerti konsep reinkarnasi. Stange pada akhir kesimpulannya memberikan saran tentang bagaimana penelitian di Jawa harus dilakukan. Studi ini memerlukan berbagai disiplin ilmu, seperti filologi, antropologi, dan sejarah. Pemahaman yang mendalam terhadap teks-teks dan studi etnografi dapat memberikan perbedaan dalam penerapan penelitian. []