Proses sinkretisme ritual peribadatan Islam di Jawa telah berlangsung sejak lama. Bermula ketika kelompok Muslim datang, orang Jawa tidak semena-mena menerima ajaran Islam, berbagai penyesuaian dilakukan oleh kedua belah pihak. Stephen C. Headley, dalam “Sembah/Salat: The Javanisatiton of Islamic Prayer; The Islamisation of Javanese Prayer” (2000), mengungkap sinkretisasi ritual antara Islam dan Jawa yang terjadi sejak awal kedatangan Islam hingga praktik-praktik ritualnya mengakar dalam kebudayaan Jawa.
Proses sinkretisme tersebut dapat berjalan dengan cair lantaran masyarakat Jawa cenderung mudah beradaptasi dan menggabungkan kepercayaan dengan praktik asing. Tanpa adaptasi yang dilakukan orang Jawa, praktik doa Islam tidak mungkin dapat mengakar dalam kultur mereka. Adaptasi inilah yang menjadikan praktik doa dan ritual Islam melebur dan menyatu dengan tradisi Jawa.
Lebih dari empat abad lamanya, Jawanisme mempengaruhi peribadatan kaum Muslim, begitu pun sebaliknya. Dimulai sejak abad ke 15 M, dimana masyarakat Jawa di sepanjang pesisir Pantai Utara mulai menerima bentuk baru ritual doa. Muslim yang ketat dari Pantai Utara Jawa ini dianjurkan untuk tidak keluar dari daerahnya (di rumah atau di masjid), serta tidak menjalin hubungan dengan saudara Jawanya yang dianggap kafir. Saat itu kuil-kuil dengan patungnya masih dimiliki oleh masyarakat Jawa.
Pada abad ke 16 M, orang Jawa sebagian besar masih memeluk agama lokal yaitu agama Luri atau Jawi dan Siwaisme Jawa atau agama Buda, sedangkan Muslim masih minoritas dan marginal. Agama Luri secara umum terdapat di pedesaan dan Buda di pusat-pusat kota kerajaan. Agama Luri teguh meyakini kepercayaan kosmologinya dan kepercayaan ini terus berkembang setelah ajaran Islam diterima di masyarakat luas.
Islam mengajarkan salat lima waktu disertai dengan hukum agamanya. Andrew Beatty (2000) menerangkan bahwa, Muslim menjalankan salat sebab itu merupakan suatu bentuk tuntutan agama. Mereka tidak tahu banyak tentang penafsiran-penafsiran terhadap bentuk-bentuk ibadah yang telah ditetapkan.
Lain halnya para penganut panteisme Jawa yang meyakini adanya skema-skema yang melekat dalam salat. Searah dengan penjelasan Drewes dalam “An Early Code of Javanese Ethics” (1978) bahwa, postur gerakan salat dikonsepsikan dengan elemen-elemen makrokosmik oleh mistikus Jawa, antara lain: berdiri melambangkan api, rukuk sebagai angin, sujud sebagai air, dan duduk sebagai lambang bumi.
Pengkonsepsian tersebut oleh Andrew Beatty (2000) disebut sebagai laku suci perenungan diri. Sebuah latihan spiritual yang sama sekali berbeda dengan ajaran atau pengajian-pengajian spiritual di masjid.
Laku spiritual Islam tersebut, kemudian direnungkan oleh orang Jawa dan dicari makna-makna baru secara mistik. Bukan perihal ketidakpercayaan pada al-Qur’an atau hukum Islam, akan tetapi mereka berusaha memahaminya dengan cara yang berbeda. Usaha ini mereka lakukan juga sebagai pembelaan diri terhadap tradisi dan budaya mereka sendiri.
Usaha-usaha penyatuan tradisi Islam dan Jawa terus berlanjut. Pada abad ke-17 M, ritual Islam mulai menyentuh ranah asketis sebagaimana digambarkan dalam Kidung Candhini. Usaha asketis itu terlihat dari tokoh Candhini dan Nyi Silabrangta yang bermeditasi di gua gunung tengah hutan, sebagai upaya penyerahan diri kepada Tuhan. Di akhir episode, terdapat adegan pertemuan Candhini dengan santri Muslim dari sebuah komunitas yang memiliki masjid. Headley mengatakan ini tidak mungkin, sebab secara historis sebagian besar desa pegunungan hingga akhir abad ke-20 M belum memiliki masjid. Menurutnya, penyair Islam dalam teks-teksnya (seperti Kidung Candhini) mencerminkan usaha asketis Islam dan Buda. Banyak cerita kemudian muncul tentang wali Muslim yang mengkonversi biksu dan asketis Sang Buddha. Seperti kisah-kisah wali Jawa yang tidak meninggalkan ajaran Kejawen, justru mereka mengintegrasikannya dengan Islam.
Salah satu contoh wali tersebut yaitu Syaikh Siti Jenar. Ia mengundang polemik kala itu, sebab dengan berani mengatakan ‘Aku (ingsun) adalah Realitas Tertinggi (Allah)’. Konsekuensi yang harus ia terima ialah hukuman mati. Kejadian menakjubkan selanjutnya, darahnya mengalir membentuk dzikir keesaan Tuhan, “Laa Ilaha Illaallah”. Walaupun Siti Jenar beragama Islam, ia tetap setia pada konsep-konsep kejawaan dengan menggunakan istilah dalam Islam. Karena itu, Siti Jenar seorang monist, sebagaimana monisme-panteisme Jawa. Ia kerap dicap sebagai bid’ah, akan tetapi kekuatan magis serta aura dalam dirinya menjadikan klaim itu tersangkal.
Selain dalam Serat Siti Jenar, kisah Siti Jenar juga termaktub dalam Suluk Tambanglaras atau dikenal Serat Centhini (1814). Serat tersebut merupakan karya yang lebih besar dari Kidung Candhini, di dalamnya menggambarkan dunia Islam Jawa asli. Serat Centhini juga berbicara pasal penggabungan antara Islam dan Jawanisme.
Selain Serat Centhini, Jawanisasi atas ritual Islam tampak pada Serat Wedhatama. Serat ini ditulis pada abad ke-19 M, menerangkan empat tingkat penyembahan diri yang tersusun secara hierarkis. Empat tingkat penyembahan tersebut yaitu: tubuh, hati, jiwa, dan rasa.
Penyembahan dengan tubuh ialah kebiasaan lima kali (salat), sare’at Islam menuntut keteraturan. Kedua, penyembahan hati jika dipertahankan bisa menjadi jalan asketisme. Ketiga, penyembahan jiwa, makrokosmos (jagad agung) dikuasai mikrokosmos (jagad alit), Tuhan bersemayam di segala ciptaan. Terakhir, penyembahan esensi (rasa), inti dari ciptaan yang hanya dapat dicapai dengan keteguhan batin. Demikian itu adalah bentuk refleksi doa dengan ekspresi Jawa, karena normativitas Islam tidak pernah mengklasifikasi doa semacam ini.
Selain pemaknaan salat, saat ini banyak praktik-praktik ritual sinkretis Islam Jawa yang dapat kita temui, misalnya tahlilan dan slametan. Mulanya, ritual-ritual ini adalah tradisi lokal yang kemudian diIslamisasi. Geertz mengungkapkan tradisi slametan umumnya dilakukan oleh kaum abangan, namun bagi kaum putihan praktik slametan tidak sepenuhnya diterima sejauh unsur syirik dari slametan tidak disingkirkan.
Praktik-praktik ritual Islam telah mengakar di Jawa. Juga sebaliknya, Jawa secara lengkap menyerap Islam. Mereka mengakomodasi dan mengintegrasikan praktik asing tanpa kehilangan identitas mereka sendiri. Meski begitu, Beatty (2000) mengungkapkan bahwa orang Jawa tidak melihat diri mereka sebagai penyelundup ideologi dalam masjid (Islam). Akan tetapi, para mistikus Jawa menjadikan tradisi sufistik dan pemaknaan ritus-ritus Islam sebagai bekal untuk mencapai kemajuan spiritual. []