Sufisme Jawa dalam Serat Centhini

Soebardi dalam “Santri-Religious Elements As Reflected In The Book Of Tjëntini” (1971) mengungkap laku spiritual Syekh Among Raga mencapai tahap manunggal (penyatuan). Untuk mencapai kesempurnaan itu, orang harus memadukan pengetahuan esoteris (widji nugraha) dan pengetahuan eksoteris (wadah sakalir). Menurutnya, wadah sakalir dan widji nugraha harus saling melengkapi. Inilah puncak spiritualitas di Jawa.

Hampir keseluruhan isi Serat Centhini menggambarkan ekspresi mistisisme Jawa. Ekspresinya tersampaikan melalui tokoh imajiner bernama Syekh Among Raga. Ia dilukiskan sebagi perwujudan santri religius yang sedang menjalankan laku spiritual. Soebardi, dalam “Santri-Religious Elements As Reflected In The Book Of Tjëntini” (1971), mengungkap laku spiritual Syekh Among Raga untuk mencapai tahap manunggal (penyatuan).

Tahapan-tahapan itu terdiri dari empat bagian, yaitu: syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Syariat berarti aturan keagamaan yang berdasar pada al-Qur’an dan Hadis. Tarekat berarti jalan (suluk) khusus untuk mendekat diri kepada Tuhan. Hakikat berarti kenyataan yang sesungguhnya, sedangkan makrifat adalah tingkat penyatuan kepada Tuhan yang sepenuhnya (kemanunggalan).

Bagi Syekh Among Raga, prosesi penyatuaan tersebut dimulai dari tahap syariat dengan cara mendalami tiga ilmu utama ajaran Islam. Ajaran itu terdiri dari Fiqih (Hukum Islam), Ushul (Teologi Islam) dan Tasawwuf (Mistisisme). Fiqih berbicara mengenai tata cara dalam menjalankan ajaran Islam, Ushul berbicara tentang konsep ketuhanan, sedangkan Tasawwuf berbicara mengenai pengalaman spiritual manusia dengan Tuhan.

Ketiga ilmu tersebut menjadi dasar untuk menjalankan kewajiban agama sebagaimana diatur oleh hukum Islam. Syekh Among Raga menjalankan hukum Islam, dibuktikan dengan kedisiplinannya dalam salat dan membaca kitab suci. Ia juga gemar melakukan salat sunnah dan berdzikir seperti yang diajarkan oleh Nabi. Menurutnya, ketaatan dalam beribadah dan melakukan sunnah-sunnah Nabi menjadi puncak dari syariat.

Jika telah mencapai puncak syariat dengan sempurna, tahapan selanjutnya yaitu tahapan tarekat. Ini bisa disebut sebagai jalan khusus yang bersifat individual dengan amalan-amalan tertentu. Amalan-amalan tersebut diberikan oleh guru tarekat yang disebut mursyid. Tarekat membutuhkan kedisiplinan batin dan keteguhan iman.

Kedisiplinan dan keteguhan iman dijalani oleh Syekh Among Raga sebagai bentuk dari tahap tarekat. Ia menjalani fase tarekat dengan mengasingkan diri. Ia juga mengunjungi gua-gua yang ada di Jawa Timur dan Pantai Selatan untuk meditasi. Sebagaimana bisa dilihat dari akar sejarahnya, wilayah Pantai Selatan menjadi tempat bertapa bagi begawan-begawan terdahulu. Puncak dari pertapaan sebagai bentuk tarekat adalah keimanan mutlak terhadap Tuhan.

Setelah mencapai kedalaman iman, tingkat selanjutnya merupakan tahapan hakikat, yang bermakna kenyataan. Kenyataan yang dimaksud adalah sampainya seorang salik kepada makrifat Tuhan. Ia menemukan rahasia-rahasia alam semesta, terbukanya hijab-hijab dunia dan menemukan kesejatian (kasunyatan). Hakikat ini sekaligus menjadi tahap makrifat bagi seorang salik dalam laku spiritualnya.

Makrifat digambarkan sebagai menyatunya jiwa dengan Tuhan berdasarkan pengetahuan intuitif. Penyatuan inilah yang disebut Syekh Among Raga sebagai manunggal, yakni semacam pengalaman ekstase religius. Pengalaman tersebut merupakan kesadaran tertinggi manusia dengan perasaan damai dan keterhubungan dengan Tuhan yang mendalam.

Hal ini sejalan dengan Simuh dalam “Sufisme Jawa” (1995) yang penggambaran bahwa puncak mistisisme ditandai oleh Dzat al-Haq dan manunggal dengan-Nya. Orang yang dapat merasakan penyatuan dengan Tuhan, hanyalah salik yang telah melalui semua tahap laku spiritualnya dengan sempurna.

Kesempurnaan spiritual yang disampaikan Syekh Among Raga tersebut, juga ditemukan dalam Primbon Jawa dari abad ke-16 M. Dalam Primbon Jawa diterangkan bahwa untuk mencapai kemanunggalan, dibutuhkan harmonisasi antara pengetahuan ekstoreis (ilmu zahir) dan pengetahuan esoteris (ilmu batin).

Pengetahuan eksoteris merujuk pada pengetahuan umum yang dapat diakses oleh publik.  Syekh Among Raga mendeskripsikan pengetahuan ini sebagai ajaran-ajaran umum dalam ibadah dan muamalah. Ibadah merupakan pengetahuan tentang aturan ritual relasi hamba dengan Tuhan, sedangkan muamalah adalah pengetahuan mengenai hubungan atar manusia.

Meski begitu, pengetahuan eksoteris (ibadah dan muamalah) akan sempurna bila dilengkapi dengan pengetahuan esoteris. Pengetahuan esoteris adalah pengetahuan yang tersembunyi atau rahasia. Pengetahuan ini hanya dapat diakses oleh sekelompok kecil orang yang terpilih dan harus melalui perjalanan khusus spiritual. Syekh Among Raga dalam mencari pengetahuan esoteris ini dimulai dari refleksi terhadap keimanan. Refleksi tersebut meniscayakan pengasingan diri dari serba-serbi duniawi.

Pada akhirnya, ia menyebut pengetahuan esoteris sebagai widji nugraha dan pengetahuan eksoteris sebagai wadah sakalir. Wadah sakalir melambangkan pengetahuan yang bersifat jasmaniah, sedangkan widji nugraha melambangkan pengetahuan batiniah. Menurutnya, wadah sakalir dan widji nugraha harus saling melengkapi.

Keduanya, ia ibaratkan seperti isi yang memerlukan wadah. Widji nugraha memerlukan wadah sakalir untuk dapat bereksistensi, sebaliknya, wadah sakalir tanpa widji nugraha hanyalah kekosongan belaka. Keduanya harus memiliki hubungan erat dan harmonis. Ibarat orang melakukan salat tanpa mengerti apa yang ia sembah, maka salatnya akan sia-sia.

Hal ini senada dengan Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din, bahwa ilmu zahir dan ilmu batin tidak boleh bertentangan. Keduanya harus saling menguatkan untuk menuju makrifat Tuhan. Jika keduanya terpisah, maka akan batal langkah spiritualnya.

Untuk menguatkan ilmu zahir (wadah sakalir)dan ilmu batin (widji nugraha), Syekh Among Raga menekankan pentingnya empat tahapan dijalani secara berurutan. Menurutnya, titik sentral pemberangkatan dalam perjalanan spiritual Jawa harus dikokohkan. Tahap pemberangkatan itu merujuk pada ilmu jasmani (syariat). Syariat menunjukan semacam prosedur dasar bagi pemeluk agama. Sufisme Jawa memandang prosedur dasar itu sebagai sumber pemahaman etika, moralitas dan akhlak untuk mencapai makrifat Tuhan.

Prosedur dasar yang diwujudkan dalam wadah sakalir menjadi unsur yang sangat penting untuk didahulukan. Menurut Syekh Among Raga, widji nugraha tidak akan bisa mengisi jika wadah sakalir belum sempurna. Ibarat gelas yang diisi air, jika tidak ada gelasnya maka air tidak bisa dituangkan. Jika sudah ada gelas tapi gelasnya berlubang, maka air tersebut akan bocor.

Perumpamaan itu merupakan simbolisasi tentang bagaimana pentingnya wadah sakalir dipahami secara utuh. Hamzah Fansuri dalam “Sharab al-Asyikin” memberi ilustrasi kelapa untuk memperkuat bahwa syariat (wadah sakalir) menjadi unsur integral dalam mistisisme. Ia mengibaratkan syariat seperti kulit luar kelapa. Seperti halnya kelapa, jika ditanam tanpa kulit luar, maka tidak akan bisa tumbuh dan akan hancur.

Oleh karena itu, sebagaimana alegorisme kelapa, Syekh Among Raga menegaskan bahwa makrifat Tuhan hanya dicapai jika ilmu jasmani (wadah sakalir) dan rohani (widji nugraha) bersifat kompleks. Ia menyebut kompleksitas itu sebagai kesempurnaan hidup (kasidan). Menurutnya, kesempurnaan hidup merupakan kesejatian manusia yang sesungguhnya (penyatuan dengan Tuhan). Seperti dalam cerita Syekh Siti Jenar, mengartikan kesejatian hidup berpusat pada pengakuan identitas manusia dengan Tuhan sebagai Realitas Absolut, tidak ada yang lain kecuali Tuhan.

Dengan demikian, tercapainya penyatuan manusia dengan Tuhan harus melewati empat tahap. Empat tahap itu harus didasari oleh syariat sebagai pijakan awal dalam laku spiritual. Syariat yang sempurna meniscayakan pemahaman ajaran agama yang lengkap dan kuat. Ajaran agama juga harus mengandung unsur batiniah sebagai pemaknaan hakikat spiritual. Kesempurnaan syariat dan keseimbangan pengetahuan eksoteris dan esoteris dapat mengantarkan seorang salik pada tahap manunggaling kawula-Gusti. []

Terpopuler

Dukun Manten di Jawa

Dukun pengantin dalam tradisi pernikahan Jawa memainkan peran penting sebagai pembimbing spiritual...

Makuțārama

Wahyu Makuțārama merepresentasikan cara pandang orang Jawa terhadap kehidupan yang dinamis, menyatu...

Diponegoro dan Identitas Nasionalisme

Pangeran Diponegoro memimpin Perang Jawa (1825–1830) melawan penjajahan Belanda, membangkitkan...

Tantangan Membumikan Pancasila

Pancasila menghadapi tantangan implementasi dari komunalisme, konflik internal dalam Islam, dan...

Wahyu

Wahyu dalam tradisi Jawa melampaui makna literalnya, menjadi simbol kedalaman spiritual dan...

Sufisme Jawa dalam Serat Centhini

Soebardi dalam “Santri-Religious Elements As Reflected In The Book Of Tjëntini” (1971) mengungkap...

Praktik dan Motif Jilbab Pasca Orde Baru

Jilbab dipandang sebagai simbol kesalehan universal yang mencerminkan keterlibatan Islam dalam...

Ular dalam Kosmologi Orang Jawa

Dulu, masyarakat Jawa menganggap ular dari bagian dari kosmik kehidupannya. Seperti lahirnya...

Pesindhen: Nuansa Estetika-Erotik Jawa

Di Jawa tak ada perbedaan antara kenikmatan estetik dan erotik. Hal ini direpresentasikan oleh...