Seperti Niken Salindri, sinden muda, yang kini menjadi idola berkat pesona suaranya yang khas dan tingkah kocaknya. Selain memiliki suara merdu, Niken juga mampu dengan lincah menanggapi lelucon dan rayuan yang sengaja dilemparkan oleh dalang dan para pelawak dalam pertunjukan wayang. Terkadang, ia tak segan melompat-lompat, menyibakkan jarit dan menggoyangkan pinggulnya untuk mengolok mereka. Saat itulah, gelak tawa penonton pecah. Baik kaki-laki maupun perempuan yang memenuhi arena, merasakan sentuhan itu. Suasana kegembiraan terjalin melalui interaksi akrab antara Niken dan para penonton.
Sementara, sinden Tatin yang kerap tampil bersama rombongan wayang almarhum dalang Ki Seno Nugroho, juga piawai menghibur penonton melalui leluconnya. Parikan atau pantun Jawa yang Ia lontarkan selalu berhasil membuat penonton tertawa. Bahkan tak jarang Tatin diundang untuk limbukan, terlibat aktif dalam percakapan konyol dengan dalang dan para pelawak lain. Dengan keceriaan serta suara merdunya, Tatin mampu memikat hati para penikmat seni wayang. Tatin tidak hanya menjadi sinden yang dihormati, tetapi juga menjadi teman akrab bagi semua yang hadir dalam setiap pertunjukan.
Aris Setiawan, Etnomusikolog ISI Surakarta, dalam tulisan berjudul “Fenomena Sinden Jumpalitan,” (2023) menyebut fenomena ini sebagai gejala tidak lazim dalam dunia pesindenan di Jawa saat ini. Mengingat bahwa sinden dalam pertunjukan karawitan seharusnya tidak memiliki kendali penuh terhadap gerakan tubuhnya.
Dalam pertunjukan wayang, umumnya posisi sinden hanya duduk di depan, sejajar dengan alat instrumen lain. Selain itu, Aris mempersoalkan jika saat ini profesi sinden lebih menekankan citra visual dibandingkan dengan kualitas vokal. Dengan kata lain, penampilan mereka menjadi tidak sesuai pakem, bahkan dapat membuat profesi sinden dilabeli negatif.
Di lain sisi, Sutton dalam artikelnya berjudul “Who is the Pesindhen?” (1984) mencatat jika dunia pesinden hari ini tengah dibedakan antara gaya keraton dan ‘rakyat’. Disebut gaya keraton karena penampilan mereka cenderung lebih formal untuk tidak menyebutnya sopan. Meskipun dari pelacakannya menunjukkan bahwa di abad ke-19 M tidak ditemukan sinden yang duduk bernyanyi di antara penabuh gamelan seperti yang diketahui secara umum saat ini. Pada masa itu, pertunjukan gamelan hanya melibatkan penyanyi-penari yang dikenal sebagai taledhek, ronggeng, tandhak, ringgit dan lengger.
Sedangkan pada abad ke-14 M, dalam Negarakertagama dijelaskan tentang Juru i Angin, yaitu penyanyi-penari perempuan. Pertunjukannya terbagi menjadi dua segmen. Pada segmen pertama, penampilannya bersifat lucu dan terkesan ‘erotis’ disertai oleh kehadiran kakek buyut atau abdi punakawan seperti dalam lakon-lakon Jawa. Bagian kedua dimulai saat Juru i Angin memasuki keraton kemudian mendampingi anggota kerajaan minum-minuman beralkohol sambil melantunkan sebuah kidung.
Sebagaimana ditulis oleh Pigeaud, menyebut Canthang Balung sebagai penari berpakaian unik yang menampilkan tariannya di hadapan penguasa Surakarta dan pengikutnya. Mereka berperilaku seperti pelawak yang posisinya berada di antara pemain gamelan. Dengan suara senggak atau vokal pendek, mereka seringkali mengiringi pertunjukan tari bedhaya dan srimpi. Suara tersebut dilepaskan saat para penari sukses menampilkan tarian. Ketika aksi mereka memancing tawa, mereka akan berlagak seolah-olah menerima dendha atau hukuman (Sutton, 1984:122).
Menariknya, sekalipun terdapat stigma ‘perempuan gampangan’ pada sinden karena keberanian mereka menggoda laki-laki secara seksual, sikap itu tampaknya ditoleransi jika mereka terkesan lucu di atas panggung. Banyak pasangan, termasuk para istri, seringkali bersama-sama menonton pertunjukan sinden dagelan tanpa adanya kekhawatiran. Seakan-akan kesan ‘erotis’ yang biasa melekat pada diri pesinden hilang begitu saja. Kesan kelucuan sinden justru menjadi nilai tambah yang membuat mereka tetap diterima di masyarakat.
Dengan demikian, kesan lucu yang diekspresikan seorang sinden sesungguhnya penuh dengan makna. Disatu sisi mereka serius berperan sebagai penyanyi-penari tetapi di sisi yang sama mereka juga berperilaku konyol. Peran seperti dagelan itulah yang membuat mereka setara dengan pelaku seni lainnya, terutama laki-laki. Oleh karena itu, bagi Didik Nini Thowok seorang seniman sejati tentu memerlukan sentuhan humor dalam karyanya, “We need humor, with humor, we are like equals standing before the same God.” (Ross, 2005:223)
Inilah mengapa keberadaan sinden masih diterima oleh masyarakat. Dapat diketahui dalam berbagai hajatan di Jawa, dimana mereka tetap dipercaya untuk memeriahkan acara. Walaupun tidak dapat dipungkiri jika setiap gerak tubuh, gerak pinggul, kerling mata, senyum dan cara duduk sinden masih selalu diawasi dengan ketat sekaligus ditatap penuh nafsu oleh laki-laki. Dan, betapapun konstruksi gender dominan berhasil menentukan bagaimana perempuan dalam profesi ini harus bersikap dan berperilaku, tetapi pada akhirnya dunia pesindenan tetap diminati hingga hari ini.
Sebagaimana pada peringatan 5 tahun berdirinya Majelis Sabilu Taubah yang dipimpin oleh Gus Iqdam, Niken Salindri diundang sebagai tamu istimewa bersama kelompok wayang kulit untuk memeriahkan acara. Niken mengkombinasikan kebaya dengan jilbab untuk menutupi dada serta kondenya agar terlihat lebih sopan. Ia juga tidak melakukan berbagai atraksi berlebih sepanjang acara. Tidak sedikit penonton yang hadir pada malam itu terpukau dengan kehadiran Niken, terutama saat Ia melantunkan lagu “Alamate Anak Sholeh”. []