Fluiditas Segregasi Abangan-Putihan

Ulasan ini masih merupakan review atas The Birth of the Abangan (2006) karya M.C. Ricklefs. Pelacakan atas berbagai sumber kesejarahan diawal hingga pertengahan abad ke-19 M menggambarkan betapa cairnya segregasiabanganputihan di Jawa. Sekali lagi, ulasan ini merupakan hasil perkuliahan Peta Kajian Islam Jawa di Prodi Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) yang diampu oleh Akhol Firdaus, Direktur IJIR UIN SATU Tulungagung.

Perbincangan mengenai abangan pada periode 1855-1880an masih merujuk pada makna yang berubah-ubah dan tidak pasti. Menurut M.C. Ricklefs, ini merupakan gejala yang tidak ditangkap oleh peneliti pendahulu, seperti Clifford Gertz dan sesudahnya. Penelitian-penelitian antropologi tidak memberikan perhatian lebih terhadap aspek sejarah dalam melihat struktur dan gejala sosial masyarakat Jawa.

Kembali mengacu “The Birth of the Abangan” (2006), dengan terang diketahui bahwa pada tahun-tahun tersebut, makna serta atribut sosial antara abangan dan putihan masih berubah-ubah. Hal ini dapat dibuktikan dengan laporan-laporan dari beberapa misionaris Kristen yang diacu oleh Ricklefs dalam memotret kondisi masyarakat Jawa. Refrensi paling awal Ricklefs yang memuat informasi tentang abangan adalah, traktat Kristen yang diterjemahkan oleh W. Hoezoo pada tahun 1855 di Semarang.

Di dalam traktat tersebut kelompok abangan digambarkan sebagai orang Jawa muslim yang mengadakan slametan, dengan memuja pada leluhur mereka. Namun Hoezoo menekankan bahwa fenomena seperti itu tidak hanya ditemukan pada orang-orang yang (dianggap) belum beragama (tiang abangan), karena gejala tersebut juga ditemukan pada mereka yang (dianggap) sudah beragama (tiang pujangga).

Referensi berikutnya adalah sebuah laporan yang ditulis Samuel Eliza Harthoorn (1857) dari Majawarna. Di dalamnya terdapat penggambaran kegiatan sekelompok orang Jawa muslim saleh yang disebutnya sebagai bangsa putihan dan yang lainya disebut golongan merah atau bangsa abangan. Pada tahun berikutnya, laporan Ganswijk dari Kediri, menceritakan adanya keluwesan orang-orang Jawa melihat aturan-aturan agama Islam, namun Islam tetap hadir di kehidupan masyarakat Jawa secara signifikan.

Pada laporan tahun 1856, Harthoorn menulis laporan dari Malang. Tidak dibahas mengenai kategorisasi abangan-putihan di dalamnya, namun menggambarkan adanya kebimbangan dalam praktik keagamaan masyarakat Jawa pada saat itu. Mereka yang belajar di sekolah agama, tidak hanya mempelajari sastra Arab dan halhal yang bernuansa Islami, namun mereka juga mempelajari karya-karya sastra asli Jawa serta prinsip-prinsip Budha yang merupakan kepercayaan lama orang Jawa. Kebimbangan antara kepercayaan lama dan baru, menurutnya dapat menjadi akar
dari banyak perselisihan yang terjadi.

Tidak berhenti sampai di situ, pada tahun 1860 Harthoorn menerbitkan sebuah artikel yang secara khusus membahas kondisi Malang. Ia menerangkan bahwa pembedaan abangan-putihan merupakan gejala sosial yang muncul akibat penyebaran sejumlah santri atau siswa-siswa religius yang semakin luas. Para santri ini dikategorikan sebagai ‘kaum kulit putih’ dan orang-orang yang tidak memiliki andil dalam bagian ini disebut sebagai ‘orang-orang merah’. Penggambaran tersebut, memiliki kesamaan dengan laporan misionaris Hoezoo di daerah Semarang. Hal ini menunjukan bahwa pandangan seperti ini merupakan fenomena yang baru pada periode 1850-an dan bukan merupakan gejala yang ditemukan di tempat lain.

Bukti-bukti tersebut menujukan, jika sejumlah refrensi pada awal abad ke-19 M, masih cenderung memaknai istilah abangan-putihan dengan cara yang berubah-ubah. Hal ini juga dikonfirmasi oleh Hoezoo. Saat pergi ke Majawarna pada tahun 1861, ia menyadari bahwa perbedaan pemaknaan terkait istilah abangan-putihan berbeda dengan yang diamatinya di Semarang. Di Majawarna, istilah wong putihan merupakan pengakuan diri orang-orang Jawa Kristen yang menyebut siapa saja di luar Kristen sebagai wong abangan.

Ketidakpastian pemaknaan istilah abangan-putihan ini juga dapat dilihat pada laporan tahun 1867 dalam koran Jurumartani. Laporan tersebut menunjukan suatu keadaan yang unik, di mana seorang abangan yang merupakan anak dari Kiyai dan juga menantu dari seorang Kiyai. Fenomena tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan besar tentang realitas sosial yang terjadi. Bagaimana seseorang yang berasal dari keluarga saleh dan menantu seorang Kiyai bisa menjadi wong abangan. Inilah gejala yang kemudian disebut oleh Ricklefs sebagai fluiditas sosial, yang bermakna bagaimana seorang putihan dapat menjadi seorang abangan dengan begitu mudah, begitupun sebaliknya.

Ada juga periode kekosongan perbincangan tentang isu abangan dalam rentang pertengahan abad ke-19 M. Kekosongan ini dilihat oleh Ricklefs dalam dokumen lain pada tahun 1850an sampai 1870an. Hal ini terlihat pada salah satu karya yang cukup terkenal, ditulis oleh Bupati Kudus bernama Condranegara V, sebagai catatan perjalanan keliling Jawa, mulai dari Batavia hingga Jawa Timur pada periode 1836-1885. Dalam karya tersebut, digambarkan bahwa masyarakat pulau Jawa terdiri dari banyak kelompok dan kelas, namun laporan tersebut tidak memberikan sedikit pun informasi mengenai keberadaan abangan diantara masyarakat.

Menurut Ricklefs ada dua kemungkinan yang menyebabkan kekosongan tersebut. Pertama, pembedaan abangan-putihan masih berkembang dan merupakan fenomena sosial yang dianggap penting di beberapa daerah saja, dan tidak mencakup seluruh wilayah Jawa. Kedua, pembagian masyarakat Jawa menjadi abangan dan putihan belum menjadi cara yang umum untuk menggambarkan masyarakat pada masa itu.

Perbincangan tentang abangan-putihan mencapai titik puncak di periode tahun 1880an. Pada periode ini, pembedaan abangan-putihan semakin kentara. Ini disebabkan oleh gejolak hebat, di mana gerakan reformasi dan kebangkiatan Islam semakin kuat. Kemudian terjadi penolakan diantara masyarakat Jawa yang tidak siap menerima kehadiran mereka. Kelompok yang menolak gerakan reformasi inilah, yang kemudian disebut sebagai kaum abangan.

Dalam laporan Carel Poensen pada tahun 1880an yang merupakan pengamatan langsung dari Kediri, melaporkan mengenai perbedaan abangan dengan putihan. Ia menggabarkan masyarakat Jawa terbagi menjadi dua kategori, yaitu kaum putihan dan abangan. Kaum putihan merupakan mereka yang menerima Islam, ‘orang-orang saleh’ atau dalam bahasa Poensen disebut kaum mohammedan, dan hanya sebagaian kecil dari penduduk Jawab bisa dikategori demikian. Sedangkan, kaum abangan merujuk pada mereka yang tidak mempraktikan ortodokasi ‘Islam’ dalam kehidupan sehari-hari, dan merupakan kelompok mayoritas masyarakat.

Menurut Ricklefs, ini merupakan kondisi masyarakat yang tengah mengalami perpecahan. Perpecahan masyarakat Jawa menjadi kategori abangan dan putihan semakin kuat, karena pembedaan tersebut mulai masuk ke dalam dunia pendidikan.

Maka dapat disimpulkan, bahwa perbincangan mengenai pembedaan abangan-putihan sejak periode awal hingga pertengahan abad ke-19 M, diwarnai dengan pemaknaan-pemaknaan yang tidak tentu. Sampai mencapai puncaknya pada periode 1880an, sehingga segregasiabangan dan putihan makin mengeras. []

Terpopuler

Harimau Jawa, Riwayatmu Kini!

Harimau Jawa (Panthera tigris sondaicus) telah lama dinyatakan punah, namun jejaknya tetap hidup...

Penyihir dan Kontrol atas Tubuh Perempuan

Perempuan sakti di beberapa budaya dicitrakan negatif dalam politik ingatan. Mereka digambarkan...

Kemerosotan Tayub

Tayub merupakan tarian Jawa yang kontroversial karena nuansa erotik dan ritual mistisnya. Melalui...

Waranggana

Waranggana merupakan simbol perempuan Jawa yang kuat dan mandiri, berperan penting dalam ekonomi dan...

Desa Proyek Kolonial?

Desa di Jawa yang kita kenal saat ini merupakan hasil proyek kolonial yang melembagakan struktur...

Integrasi Kurikulum Nasional di Pesantren

Proses Integrasi kurikulum nasional di pesantren Indonesia dan Thailand Selatan mencerminkan dua...

Ragam Messianisme Di Indonesia

Messianisme di Indonesia mencerminkan keragaman budaya dan sejarah masyarakat yang meliputi...

Bakung 1967-1968: Potret Kelam Perang Pangan

Bakung 1967-1968 menggambarkan konflik antara Orde Baru (Orba) dan PKI yang menggunakan pangan...

Dukun Manten di Jawa

Dukun pengantin dalam tradisi pernikahan Jawa memainkan peran penting sebagai pembimbing spiritual...