Tragedi Paidjo merupakan satu dari enam lagu yang termuat dalam E.P (mini album) Dongeng Indonesia. Lagu ini bersifat historis karena berusaha mengurai kembali peristiwa kelam yang terjadi di masa silam. Peristiwa itu tak lain berkaitan dengan aksi persekusi yang menimpa kalangan abangan. Kengerian aksi persekusi tersebut muncul bak kronik, persis tatkala lirik diartikulasi bersama instrumentasi yang mengiringi.
Inilah yang menjadikan Tragedi Paidjo patut untuk dinikmati tidak hanya sebagai sebuah lagu belaka, melainkan narasi sejarah yang memotret aksi persekusi lintas masa yang menimpa abangan. Lagu yang berdurasi hampir 7 menit ini dikerjakan langsung oleh Akhol Firdaus, seorang pengajar filsafat sekaligus Direktur Institute
for Javanese Islam Research (IJIR). Ia menyempatkan bermusik di sela-sela padatnya kegiatan akademik, mengurai tumpukan gejala lewat muntahan bunyi dan amukan lirik.
Lagu diawali dengan petikan akustik sederhana, kemudian disusul lirik yang merangkainya menjadi sebuah tragedi. “Paidjo dianggap abangan. Di Desa ia dikucilkan. Sampai saat dia berpulang. Pak Modin enggan menyolatkan.” Lewat di bagian awal ini sukses mengeksekusi telinga para pendengar, lalu menyeretnya menuju kenyataan pahit ihwal kelompok abangan.
Lirik menampilkan Paidjo dalam jeratan stigma, dikucilkan di desa, hingga seorang Modin mencampakkan kematiannya. Sebagian dari kita barangkali dibuat mati kutu ketika mendengarkan untuk pertama kalinya, hingga di antara kita mulai menanyakan beberapa hal: Apakah sebegitu mengerikan hal yang menimpa abangan? Siapa Paidjo? Mengapa ia dianggap abangan? Bagaimana dengan Modin yang berat hati menyolati kematiannya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, agaknya perlu untuk menyoroti Akhol sebagai sang pencipta lagu. Sebagai seorang akademisi yang menaruh fokus pada studi Islam Jawa, ia tidak tanggung-tanggung untuk menjadikan catatan sarjana pendahulu sebagai preferensi dalam menyusun sebuah lirik. Kisahnya setali tiga uang dengan lembar penelitian 66 tahun silam oleh Clifford Geertz. Meskipun istilah abangan yang dipelopori oleh Geertz telah menuai kritik berbagai pihak, setidaknya, Antropolog asal Amerika itu melaporkan fenomena yang penting. Fenomena tentang situasi kematian dan prosesi pemakaman dari seorang yang dianggap abangan. Kita dapat membacanya lebih lanjut lewat Ritual and Social Change: A Javanese Example (1957).
Paidjo adalah Paidjan
Geertz (1957) melakukan penelitiannya di Mojokuto pada tahun 1950-an, tepat sebelum pemilu pertama. Tahun 1950-an menjadi periode di mana dinamika politik Indonesia identitas sedang berada pada puncaknya. Ditahun-tahun itu pula, seperti dikisahkan oleh Geertz, ajal tiba-tiba saja menghampiri seorang pemuda asal Mojokuto. Pemuda itu bernama Paidjan. Kematian Paidjan tak seperti biasanya. Seorang Modin hanya diperbolehkan untuk memimpin doa pada kematian seorang muslim, begitulah instruksi dari pihak Kecamatan dan kebanyakan Modin adalah anggota partai Masyumi.
Hingga kematian Paidjan tiba, seorang Modin enggan melangsungkan doa. Paidjan lebih dulu dianggap abangan, lantaran dirinya keponakan dari Karman (salah satu anggota partai Permai). Hingga prosesi pemakaman Paidjan memicu polemik di antara tetangga. Paidjan ditelantarkan sebelum dikebumikan. Padahal Paidjan belum tentu memiliki orientasi keagamaan yang sama dengan pamannya.
Melalui kisah Paidjan inilah, kita dapat menyaksikan bahwa aksi persekusi terhadap abangan tidak lahir di ruang hampa. Aksi persekusi tersebut telah berlangsung puluhan tahun lamanya. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal demikian terjadi, salah satunya adalah bagaimana pergulatan politik nasional mendistraksi dinamika masyarakat yang ada di desa-desa. Terlebih ketika agama dijadikan instrumen. kekuasaan dalam memainkan perannya di arena kepentingan politik elektoral. Paidjan adalah korban pertikaian politik identitas yang berimbas secara serius di desa-desa.
Melalui durasi satu menit di awal, Akhol berhasil mengartikulasi ulang peristiwa yang kelam itu secara utuh. Kendati pada lirik tersebut tokohnya disebut Paidjo, bukan Paidjan, tetapi ia telah menunjukkan sikap atas keberpihakannya dengan menyebut Paidjo sebagai “korban banalitas orang-orang beragama.” Lebih dari itu, baik Paidjo maupun Paidjan, keduanya adalah bukti bagaimana sejarah merekam aksi persekusi yang menjerat kelompok abangan di masa silam.
Abangan Dipinggirkan Secara Sistemik
Sebagai seorang pengajar yang juga aktif dalam mengawal isu kelompok minoritas dan kelompok rentan, Akhol kembali menghela nafas. Ia mengatakan, “hampir seabad kemudian, banalitas terus berulang; Siapa dianggap abangan, jadi sasaran pengkafiran.” Lewat ungkapan inilah Tragedi Paidjo mengantarkan kita untuk kembali menjejaki keterpurukan yang dialami kelompok abangan secara kronik.
Selain itu, pahitnya menerima kenyataan menjadi seorang abangan semakin kental digambarkan oleh Akhol dalam lagu ini. Melalui lirik yang lebih progresif, ia menyatakan bahwa “mereka dipaksa beragama seperti selera Negara.” Amukan lirik ini niscaya membawa kita pada kenyataan bahwa abangan tampak digempur berkali-kali, baik secara kultural maupun struktural.
Dipaksa beragama seperti selera negara adalah bentuk represi sistemik yang nyata terjadi. Terlebih pascagenosida 1965, tatkala rezim Soeharto mengandalkan agama dalam menumpas momok komunisme. Kelompok abangan disebut-sebut turut menjadi korban atas peristiwa itu. Lewat The Memory Landscape of 1965 in Semarang (2017), Eickhoff mengungkapkan jika menjadi abangan saja sudah cukup sebagai alasan untuk dibunuh (2017:539).
Sedang Ricklefs dalam bukunya Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai sekarang (2012), mengemukakan jika sebagian besar kelompok kebatinan turut berafiliasi pada salah satu dari enam agama yang diakui negara. Hal ini tak lain sebagai bentuk strategi untuk menghindarkan diri dari tuduhan “belum beragama” yang diklaim sepadan dengan komunis oleh pemerintahan Orde Baru. Hingga semua warga negara dipaksa untuk berafiliasi dengan salah satu agama yang diakui negara (Picard, 2011).
Inilah Potret Buram
Penggalan lirik tersebutlah yang pada akhirnya kita sepakati. Rezim tiran tak akan mengindahkan masyarakat yang lemah. Layaknya tirani, roda kekuasaan akan diterapkan secara sewenang-wenang. Terlebih ketika nama tuhan hanya sekedar dalih dalam mengoperasikan roda kekuasaan, potret buram akan kembali berulang dan mencatatnya dalam sejarah.
Hingga letupan amarah mewujud dalam lirik terakhir, sekaligus menutup problema yang terjadi. Akhol tidak segan-segan untuk menyerukan bahwa “agama dijadikan, sarana penundukan; hingga semua jadi tumbal, program dan forum kerukunan.” Di titik inilah, Akhol lewat Tragedi Paidjo berusaha mengkritisi total berbagai pihak yang menggunakan Agama sebagai sarana penundukan.
Akhol menyuguhkan kepada kita bagaimana persekusi terhadap abangan tidak hanya lahir dikarenakan perbedaan pada basis orientasi keagamaan saja, melainkan intervensi negara yang melipatgandakan represi dalam wujud kebijakan dan seperangkat institusi. Lewat Tragedi Paidjo, Akhol tampak piawai dalam meracik sebuah lagu. Susunan lirik yang hampir seluruhnya diadaptasi melalui realitas konflik, mampu tampil harmonis bersama sentuhan instrumentasi yang dimainkan.
Bahkan alunan gitar yang dimainkan, beberapa kali melantun penuh tekanan, menjadi pertanda akan situasi yang lebih mencekam. Akhol dengan apik membawa Tragedi Paidjo sebagai lagu yang memuat narasi sejarah, sekaligus sebagai lagu yang menampung aksi persekusi lintas masa yang menimpa abangan. []