Jilbab merupakan ekspresi nyata perkembangan agama islam, simbol keselarasan otonomi serta manfaat yang ditawarkan pendidikan modern. Jilbab sebagai ekspresi kesalehan universal menolak narasi Barat sebagai wujud kelangsungan hidup tradisionalis atau reaksi anti modernis. Tulisan dibawah merupakan review dari Javanese Women and the Veil in Post-Soeharto oleh Nancy J. Smith-Hefner yang memotret fenomena berjilbab perempuan muda Jawa kelas menengah pada awal tahun 2000-an.
Pada risetnya di Yogyakarta, Nancy mengungkapkan bahwa akhir tahun 1970-an jumlah mahasiswi berjilbab sekitar 3 persen. Meskipun demikian, di tahun ini sudah terdapat sejumlah kelompok mahasiswa muslim dalam lingkungan perguruan tinggi di perkotaan. Mereka ambisius untuk melancarkan program seruan (dakwah). Pada program dakwahnya, kelompok ini memilih untuk mendeprivatisasi islam supaya dapat menghubungkannya dengan tranformasi sosial dan politik. Pergerakan kelompok mahasiswa muslim semakin diuntungkan dengan peluncuran Undang-Undang pelarangan aktivitas politik eksplisit tahun 1978 di kampus yang hanya menyoroti organisasi politik sekuler saja. Sehingga mereka lebih leluasa melakukan pergerakan.
Bergeser di tahun 1980-an mayoritas perempuan pemakai jilbab berasal dari usia dewasa atas, kelas tradisionalis pedesaan atau pedangang muslim. Sedangkan di kampus, kantor pemerintahan, dan perusahan, lebih umum dijumpai blus lengan pendek dan pakaian gaya Barat. Perkembangan islam pada masa ini masih mendapat hambatan dari kepentingan politik Orde Baru yang menekan segala ekspresi kesalehan islam di depan publik. Juga kuatnya spiritualitas masyarakat Jawa antara tradisi jawa dan islam normatif sehingga masih menyisakan kepercayaan terhadap klenik, mistik dan nilai-nilai Kejawen lainnya.
Penyebaran jilbab mulai pesat di kalangan mahasiswa dan pelajar di kota-kota besar seperti Bandung, Surabaya dan Yogyakarta pada tahun 1990-an. Bersamaan dengan puncaknya kebangkitan islam. Namun, pelarangan penggunaan jilbab masih berlaku di kantor pemerintahan dan sekolah negeri yang berbasis non-agama sampai tahun 1991. Setelah pembatasan penggunaan jilbab dihapus, problem baru yang muncul yaitu paksaan bagi siswi untuk berjilbab sebagai bentuk protes terhadap pemerintah. Paksaan penggunaan jilbab dihapus saat mundurnya presiden Soeharto pada Mei 1998. Dalam tulisan Nancy, terdapat peningkatan mahasiswi berjilbab yaitu mencapai 60 persen di tahun 1999 sampai 2002. Jilbab mulai menyebar luas di kalangan mahasiswi yang memiliki posisi terbaik dari manfaat pendidikan dan ekonomi.
Model Gender dan Kelas di Jawa
Pendidikan tidak memberikan manfaat kepada kehidupan publik dan keluarga perempuan di tahun 1970-an. Generasi ini diteliti oleh Valerie Hull pada risetnya yang berjudul Women in Java’s Rural Middle Class: Progress or Regress? Hull menyatakan bahwa pendidikan justru berdampak pada pola neo-priyayi yang bergerak dalam hal domestikasi perempuan serta membatasi partisipasi publik. Meskipun mereka diberi akses terhadap pendidikan formal dan pekerjaan di luar keluarga, perempuan di kelas menengah yang baru cenderung lebih fokus pada pekerjaan rumah tangga.
Kondisi di atas dilatarbelakangi oleh masih suburnya nilai-nilai aristokrat Jawa. Kaum elit priyayi Jawa membatasi gerak perempuan untuk tetap menjaga status mereka dari hiruk pikuk dunia publik yang dapat merendahkan status keluarga. Terlebih masa kekuasaan rezim Orde Baru yang lebih mendukung kelompok “Javanis” dan sekuler nasionalis dibandingkan islam. Sedangkan islam masih berada di fase awal kebangkitannya.
Baru pada tahun 1990-an perempuan muda Jawa memperoleh manfaat pendidikan sebaik-baiknya. Partisipasi perempuan dalam pendidikan hampir universal. Persentase yang menyelesaikan pendidikan SMA mencapai 30 persen. Sedangkan baca tulis sudah menyentuh 90 persen. Pada tahun 1990 kesenjangan perempuan dan laki-laki dalam dunia pendidikan menyusut menjadi 29 persen yang sebelumnya adalah 48 persen. Selain itu, generasi ini juga mendapat pendidikan agama wajib di sekolah selama dua hingga tiga jam setiap minggu.
Perempuan muda Jawa kelas menengah mulai bergeser ke model neo-priyayi dan modernisasi. Fenomena berjilbab adalah indikasi dari perubahan ini. Jilbab adalah simbol keterlibatan islam dalam dunia modern. Sama pentingnya, pola mobilitas muslim ini juga menjadi perbandingan dengan nilai-nilai priyayi tradisional yang feodal dan membatasi. Perempuan mulai bergerak menuju nilai yang lebih memiliki akses pada aktualisasi diri karena meningkatkan peluang atas ketersediaan pekerjaan dan kesempatan yang tidak dimiliki perempuan di generasi sebelumnya.
Motif dan Praktik Jilbab
Motif penggunaan jilbab lebih pribadi dan piestik daripada sosial dan politik. Oleh karena itu, menurut Nancy praktik berjilbab adalah kompleks, beragam dan ambigu. Berjilbab dipandang sebagai fenomena positif dan tidak berdampak negatif terhadap persahabatan, kesempatan kerja, atau masa depan pernikahan anak perempuan. Serta memberikan rasa tenang dan percaya diri untuk aktivitas perempuan di depan publik. Namun, di waktu yang bersamaan penggunaan jilbab juga penuh pertimbangan dan menimbulkan kecemasan. Karena jilbab disematkan bersama etika dan batasan yang diajarkan agama.
Kompleksitas makna jilbab ditemukan dari latarbelakang pemakainya. Bagi perempuan muda sekuler, jilbab mulai diyakini sebagai persyaratan yang harus dipenuhi atas nama ketakwaan. Jilbab juga ditawarkan sebagai solusi apabila perempuan mendapat ancaman dari lawan jenis dan lingkungan di sekitarnya. Sedangkan di sisi lain, mahasiswi dari lingkungan pesantren dan keluarga religius lebih santai dalam memaknai jilbab. Sebab, pengenalan jilbab telah diberikan sejak kanak-kanak. Jilbab adalah simbol kenyamanan dan identitas mereka sebagai bagian dari anggota komunitas muslim tradisionalis yang taat. Sehingga arti penting ideologi jilbab tidak terlalu menonjol di kelompok perempuan muda tersebut. Dengan demikian, meski tampak seragam, jilbab tetap ragam dalam hal politik dan makna seksualnya.
Jilbab, kerudung atau cadar mewakili visi islam, konstruksi masyarakat serta cara menghadapai pluralisme modern. Jilbab adalah simbol kewanitaan muslim modern yang diungkapkan dalam berbagai lingkungan modern. Kebangkitan islam dalam nyawa pendidikan baik agama dan formal mengantar perempuan kelas menengah Jawa pada ciri-ciri pembangunan gaya Barat serta kesadaran untuk menolak kebiasaan seksual dan sosial yang tersemat pada budaya elit priyayi Jawa yang merugikan perempuan.
Hal ini membuktikan bahwa penggunaan jilbab bukan sebagai wujud immobilitas, tradisionalis dan anti modernis. Karena selain jilbab, perkembangan tersebut juga berimplikasi pada perluasan pendidikan, perpindahan perempuan pada pekerjaan publik, peningkatan mobilitas sosial, perubahan pola keluarga serta perubahan struktur kelas dan ekonomi masyarakat. Fenomena di atas oleh Nancy disebut sebagai wujud perkembangan ekonomi dan modernitas budaya yang berpadu dengan pengaruh kebangkitan islam.