Ilusi Mistis Masyarakat Jawa dalam Konsepsi Keramat

Jean Francois Meuriot dalam "The Mystical Illusion of The Javanese Place: On The Threshold of Socio- cultural Interfaces" (2009) menegaskan bahwa urusan tempat keramat bagi orang Jawa tidak bisa dilihat dari kacamata mistik apalagi geografis, tetapi lebih menggambarkan ruang kognitif kelompok masyarakat dan terutama orang-orang yang mengunjungi tempat tersebut. Penjelasan ilmiah atas fenomena kunjungan ke tempat keramat dihasilkan oleh proses internalisasi berkelanjutan yang didorong oleh situasi krisis, bukan akibat dari partisipasiatau koneksitas dengan hal-hal ghaib.

 Tulisan ini adalah ulasan artikel berjudul “The Mystical Illusion of The Javanese Place: On The Threshold of Socio-Cultural Interfaces” (2009) yang ditulis oleh Jean Francois Meuriot. Artikel tersebut membahas cara masyarakat Jawa memahami konsep keramat dan apa yang terjadi pada orang-orang yang mengunjunginya secara ilmiah.

 Bagi masyarakat Jawa, tempat-tempat keramat memiliki peran penting dalam kehidupan spiritual mereka. Orang Jawa percaya, bahwa di tempat tertentu terdapat energi mistis dari leluhur dan makhluk spiritual lainnya. Kekuatan ini diyakini dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, termasuk dari suatu tempat ke pengunjung tempat tersebut. Karena itu, banyak orang mengunjunginya untuk berdoa, memohon pertolongan, atau untuk tujuan lainnya.

Menurut Meuriot, penjelasan tradisional tentang keramat tidak memuaskan karena tidak dapat diuji validitasnya. Argumentasi itu pada gilirannya menimbulkan berbagai pertanyaan. Apa yang sebenarnya terjadi di keramat? Mengapa terdapat tempat-tempat serupa yang hanya dikunjungi secara berulang-ulang oleh orang-orang tertentu? Serta bagaimana dengan tempat-tempat lainnya dengan ciri-ciri fisik yang hampir sama namun tidak dianggap sebagai keramat?

Oleh karenanya, untuk memahami fenomena keramat dengan lebih baik, kita perlu melepaskan penjelasan yang sudah ada dan mencari pendekatan baru. Penelitian ini terbatas pada daerah Yogyakarta, yang dianggapnya sebagai pusat kebudayaan Jawa. Selain itu, fenomena keramat yang dilihat hanya terfokus pada kunjungan-kunjungan individual.

Orientasi Ruang dan Hubungan antara Pengunjung dengan Keramat

Bagi orang jawa, orientasi ruang merupakan hal yang sangat penting. Itulah yang menentukan keputusan untuk memilih tempat keramat. Terlebih mereka menganggap bahwa setiap tempat keramat menyimpan kekuatan impersonal yang dapat berpindah-pindah, termasuk kepada orang yang berkunjung ke tempat tersebut.

Sebagai antropolog, Meuriot tidak serta menerima anggapan di atas. Ia berpendapat bahwa orientasi ruang fisik tidak memiliki standar uji validitas. Itu tidak memberikan penjelasan yang memadai tentang konsep keramat serta alasan mengunjunginya.

Dalam penelitiannya, Meuriot menyatakan bahwa tempat-tempat keramat sebenarnya merupakan proyeksi representasi simbolik oleh suatu kelompok sosial kepada suatu lokasi, sehingga anggota kelompok tersebut dapat mengasosiasikannya secara berulang. Pandangan ini sebenarnya didasarkan pada konsep ‘intensionalitas’ dalam konsep Edmund Husserl, yang menggambarkan realitas sakral yang awalnya bersifat perspektifal menjadi realitas pikiran manusia.

Inilah yang membuat suatu tempat keramat sering kali diidentifikasi dengan orangorang tertentu. Orang Jawa sering menggambarkannya sebagai sosok penunggu yang dapat muncul sebagai hantu atau sosok sakral, dan dipercayai sebagai penguasa atau penjaga tempat keramat tersebut. Sosok ini bisa berpindah tempat layaknya perpindahan kekuasaan, karena kehendak pribadi atau akibat kekalahan dalam konflik dengan kekuatan lainnya.

Oleh karena itu, kehadiran orang-orang di tempat-tempat keramat seharusnya tidak dianalisis dari perspektif geografis, tetapi dari sudut pandang ruang kognitif kelompok pengunjung tersebut. Dengan demikian, bukanlah asumsi tentang perpindahan kekuatan gaib yang dapat menjelaskan mengapa seseorang mengunjungi suatu tempat keramat, melainkan perbedaan dalam pemetaan mental antara kelompok-kelompok yang membuat suatu tempat diyakini sebagai keramat atau tidak.

Mengidentifikasi Pengunjung Keramat

Konsepsi keramat seringkali tidak terikat pada sistem keagamaan formal tertentu. Hal ini bisa dilihat dari berbagai tempat keramat yang dikunjungi orang-orang dari berbagai kelompok keagamaan. Bagi Meuriot, hal ini merupakan suatu diskontinuitas penting yang harus diperhatikan untuk memahami perbedaan dalam konteks sosial-budaya dan keagamaan antar-kelompok.

Untuk menganalisis homologi ini, Meuriot menggunakan dua pendekatan, yaitu klasifikasi dan identifikasi. Keduanya digunakan untuk melihat status identitas orang yang mengunjungi tempat keramat. Model klasifikasi mengandaikan hubungan diferensial antara dua hal. Dalam konteks ini dimaksudkan bahwa Keramat, yang biasa diidentikkan dengan kelompok abangan, berbeda dengan masjid, yaitu tempat suci bagi orang Islam. Sedangkan identifikasi justru berfokus pada upaya melihat asosiasi dari abangan dengan keramat dan Islam dengan masjid.

Keduanya dianggap menarik oleh Meuriot karena mampu mempertanyakan identitas sosial yang identik dengan konsep karamat. Temuan penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat banyak orang yang mengunjungi tempat keramat namun tetap memegang status sebagai penganut agama formal tertentu. Ini tentu mengandaikan identitas ganda yang dianut oleh para pengunjung.

Identitas ganda tersebut sebenarnya tidak aneh bagi orang jawa. Agama bagi mereka hanya dianggap sebagai ‘ageman’ atau pakaian. Ia merupakan sarana yang digunakan untuk mencapai suatu kepentingan yang diinginkan. Itulah sebabnya sebuah tempat keramat bisa saja dikunjungi oleh orang dari berbagai kelompok agama.

Liminalitas dan Manipulasi Representasi Kognitif

Para pengunjung tempat keramat, melalui pengandaian adanya jaringan identitas, menciptakan suatu koneksi yang didasarkan pada kesamaan representasi dan pandangan dunia mereka. Dalam konteks ini, terbentuk pola perilaku yang saling terkait di antara mereka. Jaringan identitas ini menjadi semacam kerangka referensi bersama, di mana individu-individu saling berbagi keyakinan, nilai, dan makna terkait dengan kunjungan ke tempat keramat.

Dengan adanya jaringan identitas ini, tercipta suatu komunitas yang saling mendukung dan memperkuat keyakinan masing-masing individu. Representasi simbolis dan pandangan dunia yang serupa menciptakan solidaritas di antara pengunjung, membentuk dasar bagi pola perilaku yang bersifat kolektif. Dengan demikian, kunjungan ke keramat tidak hanya menjadi pengalaman individual, tetapi juga mengakar dalam dinamika sosial yang melibatkan interaksi dan pertukaran dalam jaringan identitas yang terbentuk.

Meuriot mengamati bahwa ritual di tempat-tempat keramat merupakan suatu proses liminal yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup individu. Bagi masyarakat Jawa, kebutuhan hidup tidak hanya terbatas pada aspek materi seperti makanan dan kekayaan, melainkan juga melibatkan pencarian kedamaian batin untuk menghadapi berbagai situasi kehidupan. Dalam konteks sosio-kultural Jawa, terdapat sebuah situasi kritis yang dikenal sebagai disorientasi atau kebingungan. Situasi ini seringkali menjadi poin penting dalam kehidupan mereka.

Keadaan kebingungan yang dimaksud bukanlah sekadar kebingungan harfiah, melainkan sebuah siklus mental yang mencakup seluruh perjalanan hidup orang Jawa. Berbagai tantangan hidup yang dihadapi oleh seseorang kemudian berkumpul  dalam satu situasi, yang menyebabkan individu tersebut merasa bingung dalam menentukan arah perjalanan hidupnya. Dengan demikian, keadaan kebingungan menjadi suatu fase yang penting dalam dinamika mental dan sosial masyarakat Jawa, mencerminkan kompleksitas hubungan antara ritual, kebutuhan hidup, dan konteks sosio-kultural.

Tempat-tempat keramat yang kaya akan ritual, simbol, dan tata letaknya yang tersusun simbolis, berfungsi sebagai representasi konkret dari proses tersebut. Proses internalisasi terhadap elemen-elemen tersebut kemudian merangsang perubahan dalam habitus individu. Akhirnya, kunjungan ke tempat keramat mampu menciptakan pergeseran perspektif bagi para pengunjung, membawa mereka keluar dari kebingungan menuju pengertian yang lebih mendalam tentang kehidupan.

Sekilas proses ini bertolak belakang dengan kepercayaan tradisional masyarakat Jawa. Namun seperti halnya para ilmiwan lain, Meuriot hanya berusaha memberikan penjelasan ilmiah bahwa sebenarnya, mistisisme yang terjadi dalam fenomena kunjungan ke tempat keramat dihasilkan oleh proses internalisasi berkelanjutan yang didorong oleh situasi krisis, bukan akibat dari partisipasi atau koneksitas dengan hal-hal ghaib. []