Kaweruh Begja: Kebahagiaan dalam Filsafat Ki Ageng Suryomentaraman

Marcel Bonneff dalam “Ki Ageng Suryomentaraman Javanese Princeand Philosopher” (1993) menghadirkan gagasan filosofis Ki Ageng Suryomentaraman terkait dengan konsep ‘kaweruh begja’. Dalam pandangan orang Jawa sebagaimana diwakili oleh Ki Ageng Suryomentaraman, kebahagiaan bukanlah hasil dari kapuasan atau pemuasan atas keinginan, tetapi kemampuan manusia untuk menerapkan konsep mawas diri.

Gagasan para filosof tak pernah luput dari perbincangan tentang konsepsi kebahagiaan. Socrates filosof terkemuka Yunani menyatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah dalam rangka mencari kebahagiaan sejati. Baginya kebahagiaan sejati hanya bisa direngkuh dengan pengetahuan atas diri dan nilai-nilai moralitas, sehingga manusia dapat memetik kedamaian dan kepuasan yang mendalam (Kees Bertens, 1975).

Pandangan filosofi yang sama juga ditemukan dalam gagasan Ki Ageng Suryomentaraman. Tokoh ini disebut-sebut sebagai filosof pertama di tanah Jawa yang turut menyinggung perihal konsepsi kebahagiaan. Berbeda dengan Socrates, Ki Ageng Suryomentaraman yang mewakili pandangan hidup masyarakat Jawa mengemukakan bahwa kebahagiaan adalah konsep yang abadi (tak kenal permulaan
dan akhir). Bisa dikatakan, kebahagiaan sejati hanya dapat direngkuh melalui proses mawas diri. Ini pandangan khas Jawa.

Marcel Bonneff dalam “Ki Ageng Suryomentaraman Javanese Prince and Philosopher” (1993)  berpandangan, selain terlahir sebagai putra Sultan Hamungkubuwono VII, Suryomentaraman juga menempa diri dan berevolusi sebagai seorang filosof. Gagasan filosofis Ki Ageng Suryomentaraman menurut Bonneff dicirikan dengan pencariannya akan hakikat ‘kebahagiaan’, atau sering disebut sebagai ‘kaweruh begja’.

Menurut Bonneff, pondasi ilmu kebahagiaan (kaweruh begja) sebagaimana ditemukan dalam pikiran Suryomentaraman adalah pengakuan terhadap keberadaan diri manusia. Suryomentaraman memaparkan bahwa dalam diri manusia terdapat suatu pertukaran antara rasa kegembiraan (bungah) dan kesedihan (susah). Pertukaran ini sangat berimplikasi pada perasaan akan kebahagiaan dan tidak bahagia.

Bagi Suryomentaraman, pertukaran rasa inilah yang menjadikan manusia terbedakan dengan hewan. Menurutnya meskipun manusia dan hewan sama-sama tunduk terhadap kebutuhan vital, tetapi manusia dibekali dengan kesadaran. Konsep tentang kesadaran tersebut dinamakan ‘raos gesang’ yakni kesadaran akan kehidupan.

Bila kebutuhan primer manusia sudah terpenuhi, manusia akan memiliki kesadaran serta keinginan untuk memenuhi kebutuhan sekunder. Kebutuhan sekunder lahir karena imajinasi manusia sendiri. Suryomentaraman memberikan contoh, kebutuhan imajinasi manusia sewujud ide yang membujuk manusia untuk lebih memilih diantara teh, kopi, atau bir untuk menjawab dahaganya. Menurutnya,
semua jenis minuman itu hakikatnya adalah air yang dapat memuaskan dahaga. Dengan memilih teh, misalnya, manusia sebenarnya menjadi korban atas keinginan (karep) untuk memenuhi kebutuhan imaginasinya. Akibatnya keinginan atau karep inilah yang mempengaruhi kesadaran manusia atas kebutuhannya, sehingga antara kebutuhan dengan keinginan menjadi campuraduk.

Masih menurut tafsir Bonneff, dalam pandangan Suryomentaraman hakekat keberadaan manusia sesungguhnya sama seperti kenginginan (karep punika tiyang). Menurutnya keinginan ini sudah ada dalam diri manusia bahkan ketika ia masih dalam kandungan ibunya (Nalika wonten wetenganing biyung sampun wonten karep lahir). Tentu sifatnya kekal (karepunika langgeng), karenanya terkadang menghasilkan kebahagiaan dan terkadang pula menghasilkan ketidak bahagiaan. Dengan begitu, manusia sesungguhnya kekal karena keinginannya yang tidak mengenal waktu permulaan dan akhir.

Seperti halnya tali yang terikat, tampaknya keinginan sudah mengikat kuat bahkan mengatur segala aspek kebutuhan manusia. Jika manusia sudah dapat memuaskan satu kebutuhannya, tentu akan muncul kebutuhan baru yang mungkin akan semakin mendesak (mulur). Begitu pula dengan kebutuhan manusia yang tidak terpuaskan, akan tetap selalu ada. Mungkin mewujud dalam kebutuhan yang tidak terlalu penting atau tidak mendesak (mungkur).

Bila dipetakan, konsep keinginan yang mulur dan mungkur tersebut mempengaruhi tiga bidang kehidupan manusia: Keinginan mencari semat (kekayaan, keenakan atau kesenangan); drajat (mencari kemuliaan, kebanggaan atau keutamaan), dan; mencari kramat (kekuasaan, kepercayaan, agar disegani atau dipuja-puji).

Keinginan manusia untuk mencari semat, drajat dan kramat oleh Suryomentaraman dianggap sebagai keinginan yang hanya dibimbing oleh kepentingan diri sendiri. Menurutnya keinginan ini memberikan ruang kebebasan kepada ego manusia, imbasnya manusia akan selalu memuaskan keinginannya secara sewenang-wenang. Hal ini tidak hanya menjadi sumber kegelisahan (sumelang) serta menumbuhkan
rasa penyesalah (getun), tetapi juga menjadi penyebab ketidaksetaraan sosial. Mereka yang tidak memiliki akan merasa iri (meri) kepada mereka yang berada. Mereka yang merasa nyaman dengan kedudukannya (pambegan) akan potensial merendahkan mereka yang kurang beruntung.

Suryomentaraman juga memperkenalkan konsep kramadangsa, yakni diri pribadi manusia yang mendorong untuk selalu mencari kesenangan tanpa mempertimbangkan keberadaan yang lain. (mila kramadangsa punika mesthi pados sakica pribadi lan mboten parduli tangga inggih punika ingkang murugaken sewenang-wenang). Kramadangsa inilah yang mendorong manusia melihat kenyataan di luar dirinya hanya bedasarkan keinginan, serta menutupi pandangan manusia atas realitas yang sesungguhnya.

Kramadangsa bukanlah sesuatu entitas yang berbeda dari diri manusia, melainkan entitas yang berada dalam diri manusia. Inilah daya yang munutupi kesadaran, sehingga manusia tak mampu merengkuh kesadaran akan dirinya yang sejati atau raos aku. Bonneff menyebut kramadangsa sebagai diri-kontingen, yakni diri yang harus diimbangi dengan diri yang esensial (raos aku).

Bagi Suryomentaraman, kramadangsa merupakan rasa yang berasal dari hidup dan ‘catatan’. Sebagai entitas yang bersumber dari hidup, ia mudah dimengerti karena dihasilkan oleh perilaku manusia sehari-hari. Sedangkan yang berasal dari catatancatatan sangat sukar dimengerti, karena rasa tersebut dihasilkan dari gerak hati ataupun melalui gerak ilham.

Agar manusia dapat mempertajam rasanya, sesorang harus belajar dari pengalaman (piageming gesang). Tentu ini memerlukan waktu yang lebih lama. Suryomentaraman menekankan agar manusia ‘mawas diri’ (pewakilan pribadi manusia). Ini merupakan pengetahuan atas diri sendiri. Pendekatan mawas diri
sifatnya sangat individual, tetapi juga mempertimbangkan kehidupan sesamanya. Meski begitu, pengetahuan atas diri sendiri dimaksudkan sebagai pengetahuan atas jiwa. Meskipun jiwa itu tidak dapat ditangkap oleh panca indera, tetapi melaluri rasa orang akan merasakan keberadaanya.

Mawas diri adalah sarana manusia untuk mencapai kebahagiaan sejati. Menurutnya Suryomentaraman, seseorang yang mawas diri dapat memberikan rasa kebahagiaan bagi dirinya. Dengan begitu, bahagia bukan anti-tesis ketidakbahagiaan, melainkan rasa yang dihasilkan dari ketenangan diri (tentrem). Ini juga melahirkan rasa kebebasan dalam diri seseorang.

Mawas diri manusia bisa ditingkatkan hingga dimensi keempat, yakni dimensi kepekaan sosial. Bagi Suryomentaraman, kepekaan sosial dianggap sebagai dimensi manusia yang mampu menekan egonya. Melalui mawas diri, kehidupan sosial manusia dapat saling merasakan serta memberikan cinta-kasih untuk kebahagiaan yang sejati. Sekali lagi, kebahagiaan sejati itu disebut rasa ketenangan diri (tentrem).

Dalam pandangan orang Jawa sebagaimana diwakili oleh Ki Ageng Suryomentaraman, kebahagiaan bukanlah hasil dari kapuasan atau pemuasan atas keinginan. Harus dicatat, keinginan sifatnya selau mungkur dan mulur. Kebahagiaan sejati justru dihasilkan ketika orang mampu menerapkan mawas diri pada dirinya dan sesamanya. Inilah kekuatan yang membawa manusia pada kebahagiaan sejati dan cinta-kasih dalam kehidupan sosial. []

Terpopuler

Rampog Macan dalam Kosmologi Jawa

Tradisi Jawa berupa pembunuhan harimau di area terbuka dikenal sebagai Rampog macan. Awalnya tradisi...

Puasa dalam Mitologi Jawa

Dalam mitologi Jawa, tokoh wayang Werkudoro atau Bima sering dijadikan simbol ketangguhan dan...

Kelamnya Sejarah Agraria Donomulyo

Sejarah agraria Donomulyo, Malang Selatan, sebagai potret ketimpangan sosial akibat relasi...

Menimbang Ulang Dualisme J.H. Boeke

Teori dualisme sosial-ekonomi J.H. Boeke berupaya menjelaskan tantangan pembangunan ekonomi di...

Involusi Pertanian di Jawa

Geertz menggambarkan involusi sebagai proses intensifikasi tenaga kerja tanpa inovasi teknologi atau...

Harimau Jawa, Riwayatmu Kini!

Harimau Jawa (Panthera tigris sondaicus) telah lama dinyatakan punah, namun jejaknya tetap hidup...

Penyihir dan Kontrol atas Tubuh Perempuan

Perempuan sakti di beberapa budaya dicitrakan negatif dalam politik ingatan. Mereka digambarkan...

Kemerosotan Tayub

Tayub merupakan tarian Jawa yang kontroversial karena nuansa erotik dan ritual mistisnya. Melalui...

Waranggana

Waranggana merupakan simbol perempuan Jawa yang kuat dan mandiri, berperan penting dalam ekonomi dan...