Sloka: Warisan Spiritual dan Hukum Adat Jawa

Pada masa Hindu-Buddha, banyak teks sastra Jawa kuno yang mengisahkan ajaran agama, mitologi, dan sejarah dalam bentuk puisi. Mason C. Hoadley dalam "The Javanese Way of Law: Early Modern Sloka Phenomena" (2019) menyebutadanya sloka modern, di mana tradisi kasusastran dan hukum adat Jawa tetap relevan meskipun Jawa telah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Islam. Istilah "sloka" telah digantikan dengan "saloka" namun fenomena hukum adat sloka masih tetap ada.

Pada masa Hindu-Buddha, banyak teks sastra Jawa kuno yang mengisahkan ajaran agama, mitologi, dan sejarah dalam bentuk puisi. Mason C. Hoadley dalam “The Javanese Way of Law: Early Modern Sloka Phenomena” (2019) menyebutadanya sloka modern, di mana tradisi kasusastran dan hukum adat Jawa tetap relevan meskipun Jawa telah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Islam. Istilah “sloka”
telah digantikan dengan “saloka” namun fenomena hukum adat sloka masih tetap ada.


Sloka, juga dikenal sebagai naskah kasusastran, merupakan teks yang menggabungkan nilai-nilai adiluhung pepakem (hukum adat) dengan ajaran agama Jawa. Dalam karya “The Javanese Way of Law: Early Modern Sloka Phenomena” (2019) oleh Mason C. Hoadley, sloka didefinisikan sebagai manuskrip yang menguraikan prinsip-prinsip hukum Jawa melalui pribahasa dan cerita alegoris. Selain sebagai panduan hukum, sloka juga memiliki nilai sastra dan menjadi pondasi bagi ajaran sastra agama di Jawa kuno (Pigeaud, 1967).

 

Sebagai sistem pepakem dan kasusastran agama, sloka mengandung tiga prinsip dasar hukum adat Jawa: aksara, sinalokan, dan prakara. Aksara atau aksaraji adalah jaran hukum yang menekankan hak, kewajiban, dan pentingnya bukti dalam menyelesaikan konflik. Sinalokan merupakan hukum yang berasal dari sloka, berupa potongan sastra yang digunakan sebagai bukti dalam kasus-kasus. Sedangkan prakara atau perkara, berperan dalam mengumpulkan seluruh pepakem Jawa yang terdapat dalam sloka, termasuk masalah hukum, jenis kasus, perkara, dan gugatan.

Hoadley juga mencatat bahwa ketiga prinsip sloka selalu menyertakan tradisi kasusastran berupa cerita alegoris yang mengilustrasikan sistem pepakem dan spiritualitas masyarakat Jawa. Salah satu contoh adalah kisah aksara sloka Jaya Lengkara, yang mengisahkan tentang tanggung jawab seorang raja untuk terus meningkatkan spiritualitasnya guna mendapatkan wahyu dari Sang Hyang Niti Jagat. Hanya dengan mengikuti jalan tersebut, seorang raja dapat menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Pesan bagi seorang pemimpin untuk selalu mengembangkan kualitas spiritualnya tergambar jelas dalam cerita alegoris sloka Jaya Lengkara.

Dari kisah tersebut, prinsip-prinsip pepakem Jawa terbentuk. Cerita ilustratif dalam sloka Jaya Lengkara menggambarkan sebuah durbar, di mana para raja Jawa berkumpul di bawah pimpinan raja Jaya Lengkara untuk membahas tentang waler (larangan), drigama (ajaran hukum berdasarkan pengalaman spiritual dengan Sang Niti Jagat), dan aksara (ajaran dan prinsip dasar hukum) yang akan menjadi landasan bagi pengadilan (kerta).

Setelah pertemuan berakhir, cerita ditutup dengan dialog antara Kerta Bangsa dan Patih Madana Sraya tentang pentingnya adigama (drigama) sebagai kunci kejayaan kerajaan Medang Kamulan. Sebelum perbincangan itu dimulai, Patih Madana Sraya memuji karakter mulia dari para raja Jawa yang tercermin dalam sebuah sloka yang berbunyi slokaning ratu adriyoga bramacara. Kisah ini menggarisbawahi bahwa
tradisi hukum Jawa selalu mengandung ajaran aksara (ajaran agama dan prinsip dasar hukum adat) yang bersumber dari drigama (pengalaman spiritual).

Dalam tradisi kasusatran dan pepakem Jawa, spiritualitas agama memainkan peran penting. Seperti yang dicatat oleh Pigeaud, saat kerajaan Hindu-Buddha masih berkuasa, banyak teks sastra Jawa kuno yang mengisahkan ajaran agama, mitologi, dan sejarah dalam bentuk puisi. Hal yang serupa diamati oleh Hoadley dalam penelitiannya tentang sloka modern, di mana tradisi kasusastran dan hukum adat Jawa tetap relevan meskipun Jawa berada di bawah kekuasaan kesultanan Islam, menunjukkan adanya campuran berbagai ajaran agama dalam tradisi hukum Jawa.

Sebagai bagian dari tradisi sastra agama di Jawa, sebagian besar naskah sloka yang ditemukan hanya berupa potongan-potongan teks. Hal ini karena sloka sebagai bagian dari tradisi pepakem, masih terkait erat dengan kitab sastra Sanskerta. Contohnya adalah fenomena sloka yang seringkali terfragmentasi dalam teks-teks sastra Jawa kuno seperti Mahabarata versi Parwas atau Puranik. Dari ajaran kasusastran Hindu ini, sloka secara tidak langsung mewarisi konsep spiritualitas keagamaan dan etika yang kemudian menjadi dasar pepakem Jawa.

Hoadley mencatat bahwa di Jawa, terdapat tradisi pepakem kuno yang bersumber dari pribahasa Mahapatih Gajah Mada sebagai manifestasi ajaran Hindu. Salah satu contoh adalah sloka wadigun wangkara yang merupakan ajaran hukum yang mengatur peran dan tanggung jawab para menteri, serta menekankan kesetiaan kepada kerajaan Majapahit. Selain itu, sloka wadigun wangkara juga mengaitkan
dengan ajaran Hindu Yuga sebagai landasan pepakem Gajah Mada.

Menurut ajaran Sanskerta Yuga, alam semesta dibagi menjadi empat periode kehidupan: satyayuga, tretayuga, dwaparayuga, dan kaliyuga. Konsep ini menggambarkan siklus kehidupan manusia mulai dari zaman keemasan (satyayuga) hingga zaman kegelapan moral (kaliyuga). Dari konsep Yuga ini, prinsip-prinsip pepakem terbentuk, yang kemudian menyatu dengan konsep kosmologi Jawa. Hoadley juga menekankan bahwa siklus kosmik Hindu Yuga telah menjadi dasar dari pepakem kuno yang mengajarkan nilai-nilai agama dan etika Jawa.

Pepakem dalam tradisi sloka Islam Mataraman tetap mengedepankan nilai-nilai agama para leluhur, seperti yang tercermin dalam teks sastra sloka Jagul Muda. Teks ini mengisahkan berbagai kasus kejahatan seperti pencurian, kekerasan, serangan, dan pelecehan seksual, sambil mengaitkannya dengan kisah alegoris tentang kemorosotan zaman dan moralitas manusia.

Hoadley menjelaskan bahwa prinsip hukum dan kisah ilustratif ini diambil dari kitab Musarar yang ditulis oleh Sunan Ampel. Kitab ini mengisahkan kedatangan seorang ratu adil untuk menyelamatkan manusia dari kemorosotan moral menjelang hari kiamat. Meskipun bersumber dari ajaran Islam, cerita tentang dekadensi moral dan akhir dunia juga memiliki akar dari mitologi Hindu Yuga.

Dalam sloka Jagul Muda, kisah tentang kekacauan alam semesta diilustrasikan melalui pertikaian antara Dora dan Sangkara. Konflik dimulai ketika Dora menemukan emas di lahan sewaannya, yang kemudian memicu perselisihan dengan Sangkara sebagai pemilik tanah. Perselisihan ini akhirnya berujung pada kematian, dan pihak kerajaan Medang turun tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan menyita temuan emas Dora.

Kisah terus berlanjut setelah emas disimpan di kerajaan. Pada malam harinya, emas tersebut dicuri oleh sekelompok pencuri yang terdiri dari delapan orang (astha dustha). Mereka berhasil ditangkap oleh sang patih kerajaan, Jagul Muda, dan dibawa ke pengadilan Keraton. Di hadapan raja Mahapanggung, para pencuri diadili dan seharusnya dijatuhi hukuman mati. Namun, atas nasihat Patih Jagul Muda, bahwa seorang raja harus bersikap adil dan bijaksana sesuai dengan tuntunan sloka ratu, raja memutuskan untuk hanya memberikan hukuman uang denda (Raja Dhenda) dan menjadikan mereka budak raja (Ulun). Dari cerita ini, sloka Jagul Muda menegaskan prinsip dasar pepakem seperti prakara, proses peradilan, putusan
hukum yang adil, dan penyelesaian konflik.

Hoadley menjelaskan bahwa cerita alegoris ini tidak hanya mengisahkan tindak kejahatan dan hukumannya, tetapi juga mengilustrasikan kondisi moral yang merosot. Ia menafsirkan bahwa kematian Dora dan Sangkara dalam perseteruan atas emas merupakan gambaran kehidupan pada era Kaliyuga atau zaman dopara/dwapara. Sementara, delapan pencuri melambangkan kemerosotan moral manusia. Emas yang diperebutkan dan menyebabkan kematian mereka dianggap sebagai simbol beban dosa karena keserakahan dan perselisihan.

Dari cerita mitologi dalam sloka, kita dapat memahami kekayaan tradisi kasusastran Jawa. Mulai dari zaman kerajaan Hindu-Buddha hingga masa Kesultanan Islam, sastra telah memengaruhi dinamika keagamaan dan hukum di Jawa. Meskipun saat beralih ke kekuasaan Islam, istilah “sloka” telah digantikan dengan “saloka” namun fenomena hukum adat sloka masih tetap ada. Salah satunya terlihat dalam tradisi
Pepakem Tjirebon (1768) dari Kesultanan Cirebon pada masa kolonial. []

Terpopuler

Dukun Manten di Jawa

Dukun pengantin dalam tradisi pernikahan Jawa memainkan peran penting sebagai pembimbing spiritual...

Makuțārama

Wahyu Makuțārama merepresentasikan cara pandang orang Jawa terhadap kehidupan yang dinamis, menyatu...

Diponegoro dan Identitas Nasionalisme

Pangeran Diponegoro memimpin Perang Jawa (1825–1830) melawan penjajahan Belanda, membangkitkan...

Tantangan Membumikan Pancasila

Pancasila menghadapi tantangan implementasi dari komunalisme, konflik internal dalam Islam, dan...

Wahyu

Wahyu dalam tradisi Jawa melampaui makna literalnya, menjadi simbol kedalaman spiritual dan...

Sufisme Jawa dalam Serat Centhini

Soebardi dalam “Santri-Religious Elements As Reflected In The Book Of Tjëntini” (1971) mengungkap...

Praktik dan Motif Jilbab Pasca Orde Baru

Jilbab dipandang sebagai simbol kesalehan universal yang mencerminkan keterlibatan Islam dalam...

Ular dalam Kosmologi Orang Jawa

Dulu, masyarakat Jawa menganggap ular dari bagian dari kosmik kehidupannya. Seperti lahirnya...

Pesindhen: Nuansa Estetika-Erotik Jawa

Di Jawa tak ada perbedaan antara kenikmatan estetik dan erotik. Hal ini direpresentasikan oleh...