
Kajian ini agak provokatif. Robbert Wessing dalam ‘Rumours of Sorcery atan Indonesian University’ (1996) menyebut kepercayaan pada santet, terjadi di masyarakat juga di lingkungan Perguruan Tinggi. Universitas tempat para pemikir cerdik cendekia itu, juga mempraktikan santet untuk kepentingan jabatan. Rumornya, santet untuk mencelakakan musuh politik, tapi menurut Wessing, santet justru paling banyak digunakan untuk membentengi diri dan mempertahankan jabatan.
Orang Jawa sudah akrab dengan fenomena santet. Dipercaya pula sebagai kekuatan yang ikut menentukan kehidupan manusia di ruang publik. Tidak terkecuali lingkungan kampus yang notabenenya adalah ekosistem akademik. Fenomena santet yang dipercaya dan berkembang di universitas tersebut secara apik dituliskan oleh Robbert Wessing dalam ‘Rumours of Sorcery at an Indonesian University’ (1996). Ia secara spesifik meyoroti isu beberapa tokoh Universitas yang mendatangi dukun santet untuk mendapatkan kekuasaan serta perlindungan magis.
Universitas, betapapun, merupakan institusi yang menjunjung tinggi rasionalias, ternyata masih mempercayai kekuatan magis. Tidak heran, universitas disorot sebagai tempat yang bukan hanya mengajarkan sains, tetapi juga melestarikan santet. Karena itu, beberapa orang akan mendatangi seorang dukun dengan tujuan tertentu. Rupanya, hal ini tidak terlepas dari pandangan dunia orang Jawa yang meyakini kekuatan metafisis.
Masyarakat Jawa percaya terdapat kekuatan supranatural yang menghubungkan dunia materi dengan spiritual. Wessing menyebutkan kekuatan tersebut dapat dikendalikan atau dimanipulasi oleh seorang praktisi supranatural yang ia sebut sebagai dukun. Kedudukan dukun dianggap sebagai jembatan yang menghubungkan kedua dunia tersebut. Karena itu, Dukun dipandang memiliki peran sentral dalam mendapatkan kemampuan akan akses kekuatan supranatural.
Di Jawa, dukun bisa ditemukan dimana saja, di semua jenis lingkungan. Praktik mereka merupakan pekerjaan sampingan. Meski bukan pekerjaan utama, dalam catatan Wessing, seorang dukun sering didatangi untuk keperluan pribadi atau keluarga kliennya. Kedatangan para klien ini untuk konsultasi tentang berbagai hal yang menimpa seseorang dengan berbagai alasan, misalnya kesehatan, kesejahteraan hingga kekayaan. Dalam hal ini, dukun memiliki peran supranatural yang penting.
Dukun sendiri memiliki berbagai jenis spesialisasi sebagai representasi kekuatan spiritualnya. Beragam spesialisasi tersebut dilihat dari keahlian khusus mereka, misalnya dukun bayi, dukun manten, dukun santet, dukun pijat dan lain sebagainya. Inilah yang menjadikan kekuatan supranatural memiliki dimensi positif maupun negatif jika dilihat dalam fungsi sosialnya. Apapun bentuk spesialisasi dukun, mereka tetap menjadi sosok yang akan dijadikan sumber untuk mendapatkan kekuatan magis.
Status Idaman
Catatan antropologis Robert Wessing menyoroti salah seorang kandidat (pejabat kampus) yang mendatangi dukun untuk mendapatkan jabatan yang menguntungkan. Jabatan ini menurut kliennya dianggap mampu mengantarkan pada akses kekayaan yang mapan. Posisi yang menjadi “lahan basah” untuk diperebutkan. Karena itu, seorang akademisi sengaja berkonsultasi ke dukun santet untuk tujuan tersebut.
Namun, ia menggarisbawahi dukun santet tidak mau disebut sebagai dukun dikarenakan norma sosial yang menjunjung tinggi kerukunan. Hal ini juga tidak terlepas dari norma agama (Islam) yang menganggap praktik tersebut merupakan sesuatu yang menyimpang dari norma ketuhanan. Seorang dukun tidak menginginkan status sipilnya masuk dalam kategori marjinal. Dengan alasan demikian, praktik santet dilakukan secara diam-diam (secret rituals).
Terlepas dari pandangan negatif terhadap praktik ini, terdapat beberapa orang yang menggunakan jasa dukun untuk status yang didambakan. Misalnya, dalam kontestasi pemilihan kepala desa. Inilah yang melatarbelakangi rumor tentang penyakit misterius hingga kematian mendadak yang dialami salah seorang kandidat. Ketegangan yang terjadi tidak terlihat secara kasat mata melainkan terjadi dalam praktik-praktik magis. Hal ini menurut pengguna jasa santet dianggap sebagai jalan alternatif untuk mendapatkan kekuasaan.
Kebutuhan akan dukungan spiritual menjadi motivasi banyak orang mendatangi dukun. Wessing melanjutkan, dukungan ini untuk mendapatkan posisi strategis dan mempertahankannya. Dukungan tersebut dianggap penting bagi mereka untuk dijadikan sebagai senjata tak terlihat sekaligus sebagai sistem pertahanan. Karena itu, setiap event politik selalu dikaitkan dengan fenomena magis. Fenomena ini telah menjadi rumor yang sering dijumpai di kalangan masyarakat Jawa.
Isu tentang santet (sorcery) yang beredar turut mewarnai jalannya proses politik sekaligus menandakan sistem kepercayaan Jawa masih eksis. Dukun yang merepresentasikan kepercayaan tersebut dipahami sebagai pihak luar yang tidak terlibat secara langsung, melainkan sebagai faktor pendukung kliennya. Meskipun berperan di balik layar, peran dukun dalam upaya mendapatkan jabatan yang strategis sangat penting bagi sang klien. Hal ini tidak mungkin dipraktikkan tanpa sarana-sarana material.
Dalam prosesnya, seorang dukun santet menggunakan sarana material untuk menjalankan praktinya. Catatan Wessing mengkategorikan dalam tiga hal: Pertama, menggunakan telur untuk membuat perut korban membengkak dengan memasukkan benda-benda seperti paku, kaca dan sejenisnya. Kedua, media rambut atau foto calon korbannya yang membuat seseorang menjadi gila. Ketiga, boneka yang ditutupi kain putih kemudian ditusuk dengan jarum hingga membuat korbannya kesakitan sampai kematian. Semua formula secara teknis seperti terbang terbawa angin menuju korban yang dituju.
Praktik ini menjamin kliennya untuk mendapatkan jabatan instan dengan menyerang lawannya melalui cara yang kurang sehat. Tentu fenomena di atas sangat berbahaya bagi pihak yang menjadi korbannya. Penyakit yang dialami sang korban bukanlah penyakit medis, melainkan metafisis. Sedangkan, kekuatan magis hanya akan dapat diatasi dengan kekuatan magis pula. Maka, untuk menangkal santet atau sihir diperlukan semacam kekebalan supranatural.
Fenomena santet yang terjadi di universitas tidak berbeda dengan gejala umum yang berkembang di masyarakat. Tujuannya adalah posisi strategis, baik dalam domain ekonomi maupun sosial. Seorang dukun berperan penting untuk tujuan yang instan dengan menyerang lawan politiknya melalui kekuatan supranatural. Ini menandakan terdapat pihak yang sebelumnya sengaja mendatangi dukun untuk maksud tersebut.
Meski begitu, Wessing menuliskan fenomena tersebut hanyalah rumor belaka. Sebaliknya, sebagian besar yang mengunjungi dukun bukan untuk menyingkirkan atau mencelakakan rivalnya, melainkan untuk mendapatkan pengasihan atau pagar yang berguna bagi sang klien (self defence). Wessing menggarisbawahi seseorang yang berkecimpung dalam dunia politik cenderung defensif. Mereka takut akan ada orang lain yang menyerang dirinya maupun keluarganya.
Oleh sebab itu, berbagai bentuk yang memungkinkan rasa aman akan ia jalani untuk melindungi diri dan keluarga. Pada titik ini, seorang dukun memiliki kemampuan ganda, yakni menyerang di satu sisi dan membuat benteng pertahanan di sisi lainnya.
Kemampuan ini juga berkaitan dengan stigma masyarakat terhadap dukun. Seorang dukun secara umum dikonotasikan secara negatif karena menggunakan kekuatannya untuk mencelakakan orang lain. Padahal jika dilihat dari mayoritas pemakai jasa ini tidak menampakkan hal demikian. Sebaliknya, dengan pengasihan dan pagar justru dukun menyediakan layanan yang tidak tercela secara moral. Dalam hal ini, kedudukan dukun menjadi sarana keharmonisan sosial yang menjaga relasi masyarakat tetap kondusif.
Terdapat berbagai entitas eksternal yang memungkinkan seseorang terhindar dari ancaman kekuatan jahat. Antara lain yaitu pohon pepaya, tebu ireng, serai dan batu akik. Wessing menambahkan, seseorang menggunakan pusaka berupa keris dan rajah selain untuk menambah kekebalan juga sebagai simbol kewibawaan. Meskipun tidak ada hubungan langsung, orang Jawa meyakini entitas ini memiliki kekuatan
magis yang sangat berfungsi bagi dirinya.
Setali tiga uang dengan hal ini, ilmu kanuragan juga menjadi sarana untuk mendapatkan kekebalan, kekuatan, kesejahteraan dan perbaikan spiritual. De Grave mencatat bahwa kanuragan menjadi semacam entitas internal untuk mendapatkan kekebalan magis. Disebut entitas internal sebab kekuatan muncul dari dalam diri yang melibatkan konsep ’sadulur papat kalimo pancer’ melalui proses ritual yang panjang (de Grave, 2014).
Seorang kandidat dapat menghindari ancaman santet dengan berkonsultasi dengan dukun yang memahami cara kerja dunia supranatural. Sebab, seorang dukun memiliki pengetahuan dan kemampuan supranatural dalam level yang mumpuni untuk membentengi seseorang dari kekuatan jahat. Selain itu, sang kandidat dapat menggunakan elemen-elemen yang diyakini memiliki kekuatan magis di dalamnya.
Hal ini penting untuk meminimalisir potensi konflik sekaligus menjaga relasi sosial yang stabil. []