Justus Maria van der Kroef dalam The New Ideology of Indonesia (1954), menganalisis adanya ideologi yang mengakar kuat di Indonesia, yakni komunalisme tradisional, Islam, dan Liberalisme. Mayoritas masyarakat Indonesia memegangnya sebagai pegangan hidup, namun ketiga ideologi ini memiliki kontradiksi dengan ideologi resmi Indonesia, yakni Pancasila. Hal ini secara tidak langsung menghambat proses implementasi ideologi Pancasila.
Di awal tulisannya, Kroef menyoroti ideologi komunalisme tradisional sebagai salah satu faktor penghambat proses implementasi Pancasila. Situasi ini muncul karena mereka lebih memprioritaskan kesejahteraan kelompoknya sendiri di atas segalanya. Terlihat dari bagaimana mereka mengambil keputusan terhadap suatu perkara. Mereka akan tanpa ragu untuk mengambil keputusan yang bermanfaat bagi internal kelompok mereka, meskipun akan memberikan kerugian terhadap kelompok lain.
Hal ini tentu bertentangan dengan Pancasila butir ketiga “persatuan Indonesia”. Dimana nilai-nilai persatuan hanya terimplementasikan dalam suatu kelompok masyarakat saja. Sehingga akan mengakibatkan pertikaian antar kelompok masyarakat karena kesamaan prioritas. Pertikaian ini dapat dinegosiasikan jika Pancasila butir kedua “kemanusiaan” terlaksana dalam masyarakat komunal.
Namun sayangnya butir kedua tersebut dibatasi pelaksanaanya dalam masyarakat komunal. Keadaan ini disebabkan karena masyarakat komunal memiliki hubungan kekeluargaan yang kuat, mereka memandang desa adalah kesatuan keluarga besar yang terikat pada perasaan saling memiliki. Karena itu, mereka akan membantu ketika saudara mereka terkena masalah. Situasi ini adalah akibat dari setiap anggota komunal yang diwajibkan memelihara keharmonisan dan keseimbangan desa.
Kroef memberikan contoh dalam kasus pembunuhan, dimana jika pembunuhan dilakukan oleh masyarakat luar, tindakanya adalah pelanggaran etika, maka pelaku akan diberi hukuman mati. Tetapi jika pelaku adalah anggota masyarakat komunal, maka tidak akan dijatuhi hukuman mati. Karena jika diberi hukuman mati, akan memberikan perpecahan lebih lanjut pada keseimbangan desa.
Dalam keadaan ideologi yang seperti ini, toleransi dan kasih sayang antar masyarakat Indonesia yang beragam hanya akan berada pada tingkat terbatas saja. Situasi Ini terjadi karena kemanusiaan secara universal hanyalah menjadi cita-cita sekunder dari masyarakat komunal.
Pola hubungan lain yang juga disoroti oleh Kroef ialah Ideologi Islam. Dalam perkembanganya di Indonesia ideologi ini terpecah menjadi tiga aliran, yakni Islam nominal, Islam ortodoks, dan kelompok sufisme di Jawa, yang dalam pandangan dan praktiknya ketiga idelogi ini saling bertentangan.
Kroef menuliskan, perbedaan pandangan ini terlihat dari bagaimana Islam ortodoks dan Islam nominal menafsirkan keterkaitan antara sila pertama dengan sila kedua. Masyarakat Islam ortodoks memandang sila pertama dan kedua Pancasila saling berkorelasi dan berkesesuaian dengan ajaran Islam. Hubungan ini menemukan pembenaranya sejauh berkesesuaian dengan ketetapan Allah yang tidak dapat dirubah. Namun dalam pandangan masyarakat Islam nominal, korelasi antara sila pertama dan kedua Pancasila tidak begitu jelas hubungannya.
Keadaan ini dipicu oleh masyarakat Islam nominal yang tidak terlatih untuk mendalami spiritualnya. Mereka hanya menjalani agamanya secara serampangan saja. Kroef menuliskan, bahwa masyarakat ini hanya bersemangat dalam hari-hari besar Islam, seperti dalam perayaan hari raya dan maulid Nabi saja. Sedangkan pengetahuan spiritual mengenai agama mereka minim dan tidak ada usaha untuk mengkaji lebih dalam esensi agama mereka.
Ironisnya selain esensi agama mereka yang minim, jiwa nasionalisme mereka juga rendah. Sebab itu, mereka acapkali apatis terhadap korelasi antara ideologi Pancasila dengan ajaran agama. Mereka tidak akan melakukan protes sejauh ideologi Pancasila berkesesuaian dengan apa yang disampaikan oleh pemuka agama mereka. Karena mereka hanya akan patuh terhadap seseorang yang mereka anggap sebagai pemuka agama atau yang biasa disebut ulama’ saja.
Selain perbedaan pandangan itu, Kroef juga menyoroti perbedaan praktik keagamaan kelompok Islam ortodoks dengan kelompok sufisme di Jawa. Persoalan ini dapat dilihat dalam praktik mereka sebagai usaha untuk memahami keyakinannya. Kelompok Islam sufi di Jawa mengkolaborasikan ajaran-ajaran Islam dengan ajaran-ajaran panteistik pribumi.
Praktik dari kolaborasi ini disebut sebagai penyatuan dengan Tuhan “Manunggaling Kawulo Gusti”. Yaitu keadaan dimana seorang hamba melebur dalam Allah dan segala sesuatu diluar Allah akan lenyap. Praktik ini dihadirkan sebagai upaya untuk merespon keadaan ketika kita tidak dapat menggapai Allah dengan akal budi, maka dalam keadaan mistik kita dapat menggapai persatuan dengan Tuhan (Zoetmulder, 1994).
Namun sayangnya praktik mistik ini acapkali mendapatkan penolakan dari kelompok ortodoksi Islam karena mereka sangat menekankan kemurnian dari Al-Qur’an dan hadist serta pelaksanaan agama secara tepat. Mereka melakukannya sebagai upaya untuk mempertahankan tradisi dan norma-norma agama yang sudah ada sejak lama. Jadinya mereka cenderung menolak inovasi karena dianggap tidak sesuai dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an dan sunnah.
Perbedaan pandangan dalam praktik ajaran agama dari kedua kelompok ini terus berkelanjutan hingga menimbulkan konflik internal. Pelaksananya acapkali tidak bisa saling menghargai satu sama lain, mereka merasa menjadi yang paling benar. Itulah sebabnya sila ketiga Pancasila “persatuan” gagal terimplementasikan di dalamnya.
Diantara maraknya konflik ideologi masyarakat komunalisme tradisional dan ideologi Islam yang tidak bersesuaian dengan ideologi Pancasila. Masyarakat Indonesia yang mendapatkan akses mempelajari revolusi Prancis dan liberalisme abad-19, mengupayakan solusi dari krisis yang ada dengan memberantas kesenjangan masyarakat. Upaya ini dilakukan dengan mengadopsi pemikiran liberalisme Barat.
Adopsi pemikiran ini digunakan sebagai alat untuk menggulingkan sistem pemerintahan otoriter. Dimana pemerintah otoritarian membatasi hak masyarakat untuk berekspresi dan menggunakan sumber ekonomi secara keseluruan. Alhasil menyebabkan kesenjangan sosial yang sudah ada sebelumnya semakin diperparah, dan menjadikan masyarakat yang pinggiran semakin terpinggirkan.
Usaha pemberantasan kesenjangan ini pada akhirnya membuahkan keberhasilan. Masyarakat Indonesia akhirnya mulai mendapatkan kesempatan yang sama dalam bekerja dan dapat menggunakan sumber ekonomi secara keseluruan. Namun tidak berlangsung lama, keberhasilan tersebut menimbulkan permasalahn baru yang membingungkan, yaitu kondisi ketika ideologi liberal barat yang diagung-agungkan tidak bisa memberikan gambaran solusi terhadap derasnya arus ideologi yang berkembang di Indonesia. Pada akhirnya ideologi liberalisme ini mengalami kontradiksi dalam penerapannya.
Kontradiksi ini terjadi karena dalam pembentukan ideologinya, kelompok ini terlalu berfokus terhadap ideologi liberalisme Barat yang bertentangan dengan ideologi yang sudah mengakar kuat di Indonesia. Itulah sebabnya mereka mengabaikan keberagaman budaya masa lalu yang sudah ada sebelum kemerdekaan Indonesia. Keberagaman inilah yang akhirnya menjadi sasaran tak terhindarkan dari maraknya kesetaraan, hingga akhirnya keberhasilan liberalisme ini menyebabkan hilangnya peran agama dan budaya dalam mengontrol moral masyarakat.
Masa lalu bangsa yang seharusnya menjadi benteng terkuat untuk melawan nasionalisme radikal ortodoksi Islam, sebaliknya malah menjadi sasaran tak terhindarkan dari kelompok liberalisme. Ini terjadi karena doktrin liberalisme adalah memisahkan bukan menyatukan keragaman. Sehingga situasi anomali yang sudah ada semakin diperparah karena tidak tepatnya ideologi yang digunakan untuk menanggulangi.
Kenyataan bahwa Pancasila sebagai ideologi negara belum menyentuh seluruh kalangan masyarakat Indonesia, menjadikan Pancasila gagal terimplementasikan. Ini terjadi karena ideologi Pancasila tidak menjadi beban kewajiban dan kedisiplinan. Karena itu maraknya kesetaraan yang digaungkan oleh liberalisme menjadikan keberagaman budaya sebagai sasaran tak terhindarkan. Ia juga gagal menjadi landasan yang menginspirasi masyarakat, serta ideologinya tidak dinegosiasikan secara tepat dengan ideologi komunalisme maupun religionisme. Masyarakat cenderung nyaman memegang teguh nilai-nilai terdahulu. Nilai-nilai yang telah membentuk tatanan kehidupan mereka.