Rasa memiliki peranan yang penting dalam kebudayaan Jawa. Ia sering hadir mewarnai berbagai segmen kehidupan masyarakat Jawa, terutama dalam mistisisme. Paul Stange dalam “The Logic of Rasa In Java” (1984) berpendapat bahwa dalam kultur Kejawen, rasa tidak hanya sebuah istilah yang diterapkan pada pengalaman inderawi yang menggiring pada estetika, tetapi merupakan sebuah organ kognitif yang digunakan secara aktif dalam praktik mistik-spiritual.

Melalui metode etnografisnya, Stange mencoba mengungkap bagaimana subyek Kejawen melakukan penghayatan rasa dengan meditasi. Dalam hal ini ia melakukan penelitiannya pada gerakan-gerakan mistik di Jawa, yang secara umum diberi nama “Kepercayaan” atau “Kebatinan”. Beberapa orang dalam gerakan tersebut, memandang dirinya terutama sebagai perluasan tradisi kebijakan spiritual pribumi daripada sebagai sistem yang diimpor dari luar.

Paul melakukan penelitiannya pada salah satu organisasi bernama Sumarah. Melalui pintu ini, dia ingin membuka perhatian pada ‘peran rasa’ sebagaimana diterapkan dalam praktik meditasi dan interaksi kelompok. Menurutnya, dalam kultur organisasi tersebut rasa diasah melalui praktik meditasi dengan penghayatan yang mendalam.

Ia pun memulai penelitiannya dengan mengamati aktivitas meditasi dalam Sumarah. Ini dilakukan baik secara perorangan dalam pertemuan kelompok dengan diiringi bimbingan seorang Pamong (pembimbing praktik meditasi). Secara perorangan, para anggota biasanya menghabiskan beberapa waktu untuk melakukan sujud khusus, disamping itu mereka juga diharapkan dapat meresapkan kesadaran sujudnya tersebut ke dalam kehidupannya sehari-hari.

Para anggota perkumpulan ini tidak tampak secara sosial. Mereka menjalani kehidupan sosial seperti biasa, tidak mengenakan baju-baju seragam dan tidak memakai simbol-simbol khusus. Para anggotanya tidak terikat oleh peraturanperaturan lahiriah tertentu, tetapi tetap taar pada aturan negara. Partisipasi mereka sebagai penghayat ditentukan hanya oleh tingkat komitmen dan kepasrahan total di dalam kesadaran.

Pertemuan-pertemuan kelompok diadakan secara berkala, biasanya di rumah tokoh yang bertindak sebagai Pamong atau di rumah pimpinan organisasi. Tidak ada tempat khusus yang diasosiasikan dengan praktik semedi, tidak ada gedung-gedung yang diperuntukkan khusus untuk itu. Mereka juga tidak memilih tempat-tempat suci atau keramat. Suasana pertemuan bersifat santai dan tidak formal, termasuk
diskusi yang biasanya panjang lebar mengenai praktik, diselingi dengan meditasi bersama yang dipimpin oleh Pamong.

Para Pamong dituntut mampu membimbing meditasi kelompok dan menjawab pertanyaan perorangan, sekaligus bisa menyelaraskan kondisi psikis batin warga yang dipimpin. Pamong juga sangat menekankan pentingnya subyek tidak menerima segala sesuatu atas dasar percaya saja, tetapi lebih utama membuktikannya dalam diri sendiri, apakah suatu pernyataan atau pandangan itu sudah tepat.

Para Pamong mempunyai gaya dan pendekatan yang berbeda-beda. Meski begitu, prinsip bimbingan Sumarah tetap taat pada asasnya. Fungsi bimbingan hanya bisa dijernihkan oleh keadaan spiritual yang benar.

Meditasi Sumarah dimulai dengan pengenduran ketegangan badan dan keheningan panca indera serta pikiran. Dengan sendirinya ada pergeseran perhatian dari pikiran terhadap dunia luar, kepada pelepasan ketegangan di dalam badan. Dalam istilah Sumarah, hal itu mengandung arti suatu keadaan terbuka penuh kesediaan menerima.

Selanjutnya perhatian tidak dipusatkan pada persepsi inderawi atau pikiran. Lebih dari itu, titik perhatian memasuki rasa secara sederhana bukan meningkatkan kesadaran akan rasa, melainkan lebih tepat disebut kesadaran melalui rasa. Perlunya membuat peralihan dari kesadaran yang berpusat pada pikiran, kepada kesadaran yang berpusat pada rasa. Hal ini berulang kali ditekankan selama proses meditasi.

Rasa sekaligus kunci untuk masuknya individu ke dunia meditasi, dan sarana awal mengadakan kontak. Melalui jalan itu, para Pamong mengantar orang untuk bermeditasi. Dalam bahasa Indonesia, istilah ‘rasa’ mencakup baik dalam arti fisik (indera) maupun emosional (suka-duka). Dalam bahasa Jawa, berarti perasaan intuitif (bisikan kalbu). Rasa itu adalah substansi sekaligus hakikat, dari apa yang diterima atau dipahami dan alat getaran atau bagian tubuh yang menerimanya. Dengan begitu, rasa adalah alat untuk menangkap bisikan kalbu atau intuisi.

Di dalam Sumarah, rasa dipandang sebagai sebuah alat atau unsur psikologi, dalam makna yang sama sebagai alat seperti pikiran (mind). Bisa dikatakan bahwa pikiran adalah sarana yang digunakan untuk menerima dan mengolah informasi yang kita terima melalui panca indera dari alam lahiriah, sedangkan rasa adalah alat yang digunakan untuk menangkap kebenaran-kebenaran alam batiniah (alam yang tidak
dapat dijangkau oleh panca indera).

Meskipun rasa merupakan alat kesadaran yang membawa individu masuk ke dalam kesadaran, ia tetap hanya terlihat sebagai jalan ke arah kesadaran sejati. Setelah subyek mengarahkan perhatiannya melalui rasa, kemudian akan menyadari hambatan-hambatan dan perlawanan yang ada dalam diri, sehingga penghalang-penghalang itu dapat dilewati. Menurut teori Sumarah, dengan disingkirkannya hambatan-hambatan maka terdapat penyerahan diri atau keterbukaan diri yang semakin meningkat.

Terdapat beberapa analogi di dalam Sumarah sebagai perumpamaan bagaimana kemajuan dalam kesadaran meditasi pribadi seseorang berkaitan dengan praktik pembinaan. Arymurthy (Pemimpin Paguyuban Sumarah) menggunakan kiasan ‘pencerminan’. Kesannya seolah-olah di dalam kesadaran normal ‘cermin batin’ kita berkabut (tidak jelas). Bilamana menghadapi cermin jernih kita akan melihat diri
kita lebih jelas, dapat menyadari keterbatasan sehingga kita dapat melepaskannya.

Perumpamaan cermin memperlihatkan kenyataan bahwa sekalipun diberi bimbingan, yang meningkatkan kesadaran ialah apa yang dicari oleh subyk ke meditasi sendiri mengenai dirinya sendiri. Dalam hal ini, Stange berpendapat bahwa Sumarah merupakan contoh kejawen yang mendasar. Dalam Sumarah, fungsi
meditasi terletak pada pemahaman yang eksplisit dan terinci terhadap rasa.

Kesimpulan Stange sangat jelas, bahwa rasa merupakan pola yang mendasari logika berpikir masyarakat Jawa. Hal ini hanya bisa diraih bila rasa itu telah diaktifkan melalui praktik mistik keseharian. []

 

Post Views: 59