Sebagian besar peneliti setuju bahwa mayoritas orang Jawa memeluk Islam. Namun, masih ada perdebatan tentang Islam yang dipeluk di Jawa. Sebagian akademisi percaya bahwa Islam di Jawa sebenarnya adalah Islam yang hanya mengalami adaptasi sesuai dengan tradisi masyarakat Jawa. Di sisi lain, ada juga akademisi yang menyatakan bahwa Islam di Jawa adalah hasil campuran antara Islam dengan unsur-unsur kepercayaan lain seperti animisme, Hindu, dan Buddha.
Hasil campuran ini biasa disebut dengan Istilah ‘sinkretisme’. Istilah ini pertama kali didefinisikan oleh Samuel Hartoorn, seorang misionaris Belanda. Dalam laporannya pada tahun 1860, Hartoorn menggambarkan sinkretisme sebagai “kebingungan ide yang tak terbatas” yang disebabkan oleh kelambanan dan keterbelakangan mental orang Jawa. Sentimen serupa juga ditemukan dalam karya seorang misionaris lain, Carel Poensen, yang mencatat bahwa Agama Jawa merupakan hasil campuran Buddisme, Brahmanisme, Mohammedanisme, dan sebagainya, tanpa diproses menjadi kesatuan yang jelas, melainkan menjadi campuran yang membingungkan.
Pandangan tentang Islam di Jawa mulai berubah sejak pertengahan abad kedua puluh, ketika Edward W. Said telah mendekonstruksi pandangan orientalis dalam karyanya “Orientalisme” (1987). Said mengkritik tajam narasi orientalis yang menafsirkan bangsa Timur dengan serampangan. Meskipun pandangan ini berubah, seperti yang ditampakkan oleh Cliffort Geertz dalam karya The Religion of Java (1960), Said memasukkan Geertz dalam kelompok akademisi pascakolonial karena pandanganya yang lebih humanis.
Argumen bahwa orang Jawa sesungguhnya adalah Muslim dikemukakan oleh seorang orientalis Belanda Cristian Snouck Hurgronje, meski tidak secara khusus bicara soal Jawa dalam penjelasanya tentang Hindia-Belanda. Ia menentang keras anggapan bahwa penduduk Hindia-Belanda hanya beragama Islam secara dangkal.
Horgronje berpendapat bahwa cita-cita kitab suci Al-Quran dan Hadist belum dan tidak dapat dicapai di negara Muslim manapun, dan dengan demikian seseorang tidak dapat dan tidak boleh mengharapkan orang Jawa untuk memenuhi standar yang lebih tinggi. Islam di Indonesia adalah proses Islamisasi yang mirip dengan Mesir dan Saudi, Islam yang telah mengakomodasi agama populer setempat.
Akademisi pascakolonial yang memiliki kesamaan dalam memandang agama Jawa sebagai sebuah hasil dari Islamisasi ialah Marx R. Woodward (1989). Tokoh yang disebut terakhir berpandangan bahwa, Islam Jawa (atau Islam Kejawen) membuktikan cara-cara yang cerdik dan berseni dalam mengislamkan tradisi Hindu dan Budha.
Analisis di atas telah memisahkan dua posisi utama dalam perdebatan tentang sifat atau identitas Islam Jawa: sinkretisme dan Islamisasi. Geerts, Hartoon, poensen pada posisi sinkretik sedangkan Hurgronje dan Woodward pada posisi Islamisasi. Perdebatan yang panjang sejak masa orientalis hingga pascakolonial tersebut, menunjukkan terjadinya kontinuitas dan kesinambungan substansial, juga mengindikasikan adanya sebuah paradigma dalam pandangan Kuhnian.
Khun (1970) menggambarkan sebuah paradigma sebagai kerangka kerja yang terdiri dari asumsi-asumsi tentang fenomena yang diteliti. Sebuah paradigma menentukan pertanyaan, jawaban yang di anggap benar, dan cara untuk mendapatkan jawaban yang sahih. Oleh karena itu, jika dua posisi yang berkaitan dengan Islam Jawa ditempatkan dalam satu paradigma yang sama, maka keduanya merupakan hasil yang berbeda dari gaya berteori yang sama.
Kedua pandangan tentang Islam Jawa menyimpan anomali sendiri-sendiri. Pandangan sinkretisme kesulitan menjelaskan bagaimana orang Jawa bisa menggabungkan kepercayaan yang saling bertentangan. Sementara itu, pandangan Islamisasi juga memiliki masalah, karena menjelaskan bagaimana Islam bisa mengakomodasi praktik-praktik pra-Islam tanpa mengubah hakikatnya.
Hal ini sesungguhnya menunjukan bahwa paradigma yang ada tidak dapat menjelaskan Islam yang ada di Jawa. Terutama karena paradigma yang digunakan selama ini didasarkan pada pemahaman universalitas agama yang berasal dari Barat yang sepenuhnya tidak dapat diterapkan dalam budaya-budaya non-Barat.
Pada masa renaisans, gagasan tentang universalitas agama sesungguhnya sudah mulai dipertanyakan. Laporan-laporan tentang suku-suku di berbagai belahan dunia yang tidak memiliki agama membuat para cendekiawan mempertanyakan kebenaran dari asumsi ini. Bahkan, ada klaim bahwa agama hanyalah produk budaya manusia, bukan sesuatu yang bawaan atau universal bagi seluruh umat manusia.
Ada beberapa konsekuensi dari asumsi universalitas agama. Pertama, para peneliti sering kali terpaksa mengkategorikan fenomena-fenomena tertentu sebagai bagian dari agama, meskipun mungkin ada argumen untuk melihatnya sebagai bagian dari budaya secara lebih luas. Misalnya, jika seorang Muslim Jawa melakukan ritual-ritual tradisional (slametan) yang tampaknya bertentangan dengan ajaran Islam, ini seringkali dianggap sebagai masalah agama, padahal bisa juga dipahami sebagai bagian dari identitas budaya mereka.
Kedua, deskripsi tentang Islam Jawa sering kali dipengaruhi oleh pandangan Barat yang telah terbentuk oleh pemikiran Kristen. Hal ini terutama terlihat dalam cara penelitian awal tentang agama-agama di Jawa dilakukan oleh para misionaris Kristen. Bahkan deskripsi yang lebih modern, seperti yang dilakukan oleh Clifford Geertz, masih terpengaruh oleh pandangan yang sama, meskipun secara tidak langsung.
Dengan demikian Boogert menyarankan bahwa kita perlu fokus pada pengembangan hipotesis atau paradigma baru yang berbeda untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang Islam Jawa. ini akan membantu kita melangkah maju dalam studi tentang budaya Jawa. []