Jugul Muda merupakan salah satu sloka Islam tertua yang berisi nasihat bagi para raja Jawa dan rakyatnya agar selalu berbuat kebajikan serta meninggalkan segala perbuatan tercela. Dalam karya “The Javanese Way of Law: Early Modern Sloka Phenomena” (2019), Mason C. Hoadley menyebut wejangan dalam sloka tersebut berasal dari warisan ajaran Hindu Yuga tentang konsep kosmologi dan etika. Selain itu, nasihat-nasihat yang terdapat pada sloka Jugul Muda juga berasal dari ajaran sloka klasik yaitu sloka agama dan sloka ratu.
karya sastra tersebut di tulis oleh Kyai Mrata Rajya pada tahun 1742 dengan menggunakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Jika dilihat dari model kepenulisannya dan periodenya, dapat dikatakan bahwa sloka tersebut dicetak pada era kesultanan Mataram Islam 1556-1755.
Sloka karya Kyai Mrata Rajya berisikan kisah mitologis Raja Mahapanggung sebagai penguasa kerajaan Medang Kamulan dan Patih Jugul Muda. Konon, raja tersebut merupakan ketururan lansung Aji Saka, seorang pendekar sakti mandraguna yang membebaskan kerajaan Medang dari cengkraman raksasa jahat Dewa Cengker (Suyono, 2009).
Kisah mitologis Raja Mahapanggung bermula dari konflik Dora dan Sangkara. Pertikaian mereka berdua dimulai ketika Dora yang menemukan emas di lahan sewaannya. Kemudian temuan Dora tersebut diketahui oleh Sangkara si pemilik lahan. Dari peristiwa tersebut perselisihan bermula, mereka saling memperubutkan hak kepemilikan atas emas tersebut. Hingga keduanya adu tanding yang pada akhirnya merenggut nyawa mereka berdua.
Kisah terus berlanjut setelah emas disimpan di kerajaan. Pada malam harinya, emas dicuri oleh gerombolan delapan orang (astha dustha). Mereka berhasil ditangkap oleh sang patih, Jugul Muda, dan dibawa ke pengadilan Keraton. Di hadapan raja Mahapanggung, para pencuri diadili dan seharusnya dijatuhi hukuman mati. Namun, atas nasihat patih Jugul Muda, bahwa seorang raja harus bersikap adil dan bijaksana sesuai dengan tuntunan sloka ratu, raja memutuskan untuk hanya memberikan hukuman uang denda (raja dhenda) dan menjadikan mereka budak raja (ulun).
Kisah Dora-Sangkara dalam sloka Jugul Muda juga berhubungan erat dengan konsep kosmologi Hindu Yuga. Aliran keagamaan tersebut, secara garis besar mengajarkan tentang konsep empat zaman kehidupan. Menurut ajaran Sansekerta Yuga, alam semesta dibagi menjadi empat periode kehidupan: satyayuga, tretayuga, dwaparayuga, dan kaliyuga (Jaques, 2006). Konsep ini menggambarkan siklus kehidupan manusia mulai dari zaman penuh kebajikan (satyayuga) hingga zaman kegelapan moral (kaliyuga). Dari konsep Yuga ini, kemudian menyatu dengan konsep kosmologi Jawa (Van Der Kroef, 1959), sehingga berpengaruh pada membentuk prinsip dasar sloka Jugul Muda.
Sloka Jugul Muda memuat prinsip dasar tentang kewajiban bagi seorang raja Jawa untuk menyelamatkan kerajaan dari kekacauan. Perintah tersebut kemungkinan besar dipengaruhi oleh konsep kosmologi Yuga dan Islam tentang akhir zaman dan kedatangan seorang penyelamat (Christie, 2004). Orang Jawa meyakini, ketika terjadi kondisi huru-hara—rakyat mengalami penderitaan dan terjadi kemrosotan moral, maka akan datang seorang pemimpin yang dikenal dengan istilah Ratu Adil atau Erucakra.
Keyakinan tentang kedatangan erucakra sebagai juru selamat tetap melekat pada hati dan pikiran orang Jawa modern. Ketika terjadinya perang Jawa 1825-1830, pangeran Diponegoro menyatakan dirinya sebagai erucakra yang akan membebaskan Jawa dari cengkraman penjajah belanda. Dalam karyanya serat Dharmasunya, berisi nubuat yang menegaskan dia sebagai Ratu Adil pembebas Jawa. Tulisan Pangeran Diponegoro tersebut, berisi ajakan untuk seluruh rakyat Jawa agar ikut serta bersama dia melawan Belanda (Arps, 2019).
Bersumber dari kosmologi Yuga dan Islam, slokal Jugul Muda memiliki pengaruh yang signifikan dalam konsep etika Jawa. Terkait dengan kewajiban seorang raja dan rakyatnya untuk menjaga harmoni alam semesta. Dalam kosmologi dan etika Jawa dikenal dengan istilah tata temtrem (ketenangan dan keteraturan dalam harmoni), merupakan suatu tanggung jawab bagi orang Jawa agar mampu menciptakan suatu kondisi yang harmonis. Seperti halnya perang Jawa yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro dan rakyatnya yang bertujuan untuk menyelamatkan dan menciptakan kedamaian di Jawa. Masyarakat Jawa meyakini, bahwa kewajiban tersebut merupakan perintah dari leluhur dan tidak boleh dilanggar (Van Der Kroef, 1959).
Dalam pandangan Hoadley, konsep ajaran leluhur, Hindu Yuga dan Islam diungkapkan dalam bentuk peribahasa. Ia juga mengatakan bahwa Kyai Mrata Rajya mengutip adagium tersebut dari sloka agama dan sloka ratu yang menggambarkan kondisi zaman kaliyuga. Secara garis besar, kedua sloka tersebut
berisi tentang tuntunan bagi seorang raja Jawa dan rakyatnya agar selalu bersikap adil, bijak, dan tidak melanggar pepakem (hukum adat). Sehingga kerajaan dapat terhindar dari bencana zaman kaliyuga dan menciptakan era satyayuga yang penuh kebahagiaan.
Sloka agama dan sloka ratu memiliki suatu perbedaan yang mendasar, yaitu dalam pengunaan bahasa untuk mengungkapkan sebuah adagium. Menurut Hoadley, sloka agama cenderung menggunakan bahasa yang kasar dan menghina untuk menyebut tindak kejahatan seseorang. Biasanya pelaku kejahatan akan diolok-olok dan diserupakan dengan binatang. Sementara sloka ratu diungkapkan dengan gaya bahasa yang lebih halus, serta memiliki fungsi untuk menasehati seorang raja. Sebagai nasihat untuk para bangsawan, biasanya adagium dalam sloka ini memerintahkan seorang raja agar memiliki sifat sesuai dengan unsur-unsur alam.
loka ratu, secara umum memuat nasihat dari Patih Jugul Muda agar seorang raja selalu berhati-hati dan adil saat mengambil suatu keputusan. Dengan sebuah adagium yang berbunyi ‘adriyoga karahita prasama asura widagya, anuma bramacari’ yang memiliki arti seorang raja harus memiliki sifat baik kepada para pelayannya, peduli pada kerajaanya, besar kecil di anggap sama, pemberani, kokoh tidak dapat dipermalukan, murah hati dan tidak pelit, tidak melakukan kejahatan, tampan, gagah, dan jauh dari nafsu jahat. Maksud dari adagium Patih Jugul Muda adalah agar seorang raja harus memperlakukan wong larang (orang bersalah) dengan hati-hati dan senantiasa mengampuni mereka, supaya terhindar dari kemarahan sang dewa.
Sloka ratu juga memberikan suatu gambaran tentang karakter yang harus di miliki oleh seorang raja Jawa. Ciri-ciri penguasa ideal diungkapkan dalam sebauh adagium yang berbunyi ‘Giri suci jaladri pawaka surya sasangka anila tanu.’ Dalam interpretasi Hoadley, seorang penguasa harus memiliki sifat teguh dan adil seperti seperti gunung (giri suci), peduli dan pengampun seperti laut (jaladri), menghukum seperti api (pawaka), mencerahkan seperti surya (surya), sabar seperti bulan (sesangka), mampu menyelesaikan setiap tugas dengan baik seperti angin (anila), serta tegas dan tidak berubah sikap seperti tinta (tanu).
Hoadley juga memberikan contoh sloka agama dengan mengutip ucapan dari Demang Lembu Jawa, ‘Sardu pejah dugayem prabu ak dati sadula macan ky, macan iku rahino wengi ingalas wenang sawenang pinatenan karana durjana.’ Adagium tersebut memiliki arti seekor harimau mati karena kejahatanya akibat perbuatan baik raja, setiap harimau siang atau malam di hutan atau kota dapat dihukum mati karena kejahatanya. Maksud dari peribahasa tersebut adalah suatu wejangan agar rakyat tidak berbuat kejahatan, baik di hutan, kota, siang atau malam, jika melanggar akan mendapatkan hukuman yang berat dari sang raja.
Sloka Jugul Muda telah memberikan suatu gambaran tentang ajaran luhur Jawa. Wejangan-wejangan yang terdapat dalam sloka tersebut, mengajarkan kepada manusia agar selalu berbuat kebajikan semasa hidupnya. Karena hanya dengan laku itulah manusia akan terselamatkan dari kesengsaraan hidup di dunia dan murka dari Sang Hyang Niti Jagat. Dapat dikatakan bahwa sloka Jugul Muda mencerminkan wordview (pandangan dunia) dan kewajiban orang Jawa dalam menjaga harmoni alam semesta. []