Waranggana bersinar di tengah dominasi laki-laki. Mereka adalah subjek aktif dalam struktur harmoni. Di masa lalu, penari-penyanyi ini dikenal sebagai salah satu representasi dari ideologi gender khas perempuan Jawa. Namun, kepercayaan perempuan memudar sejak peristiwa tragis tahun 1998 yang mengubah persepsi mereka terhadap harmoni yang diidamkan dalam masyarakat Jawa.
Inilah fokus utama Nancy I. Cooper dalam memotret waranggana, seperti yang tertulis dalam penelitiannya berjudul “Singing and Silences: Transformations of Power Through Javanese Seduction Scenarios.”
Tumbuh dari Ideologi Gender Khas Jawa
Menurut catatan Nancy I. Cooper, orang Jawa memang memandang perempuan sebagai sosok yang kuat. Namun, dalam praktiknya, perempuan Jawa menunjukkan kekuatan mereka secara tidak langsung. Dengan kata lain, mereka memiliki cara berbeda untuk mengekspresikan kepentingan pribadi sembari menjaga harmoni dan kerja sama dengan laki-laki.
Perempuan mungkin tidak selalu berada di garis depan dalam pengambilan keputusan formal, tetapi mereka memiliki cara tersendiri untuk memastikan bahwa suara dan kepentingan mereka didengar dan dipertimbangkan. (Titi Surti Nastiti, 2016) Selain itu, perempuan Jawa memiliki peran vital dalam mengelola ekonomi keluarga.
Cooper mengamati bahwa dalam struktur rumah tangga di Jawa, peran istri dan kerabat perempuan sangat dominan. Mereka tidak hanya mengelola rumah tangga tetapi juga bekerja di ladang dan sering kali berkontribusi lebih besar terhadap ekonomi keluarga dibandingkan suami mereka. Selain itu, tidak ada ekspektasi bahwa perempuan harus bersikap ‘halus’ atau ‘bermartabat’ dalam konteks sosial yang setara dengan laki-laki.
Kebebasan sosial ini juga tumbuh dalam konteks dunia waranggana. Banyak diantara mereka yang menjadi kontributor utama ekonomi keluarga. Seperti para orang tua mereka yang umumnya adalah petani. Waranggana sebagai representasi perempuan Jawa diharapkan sangat resilience (adaptif dan gigih), pekerja keras, bertanggung jawab dan tentu juga hemat. Citra inilah yang ditampilkan waranggana baik di panggung, rumah, ladang maupun pasar.
Oleh karena itu, nyanyian dan tarian waranggana dianggap sebagai representasi kepercayaan terhadap kekuatan perempuan yang terwujud dalam sosok “Dewi Sri” (Anik Juwariyah dkk., 2023). Khususnya, hal ini ditujukan bagi para pekerja perempuan yang menjadi pengikut Dewi Sri, sosok dewi yang mengatur makanan pokok masyarakat Jawa. Namun, seiring dengan perubahan sistem agraris dan memudarnya kepercayaan terhadap Dewi Sri, posisi perempuan pun mengalami pergeseran.
“Skenario Rayuan” Waranggana
Di satu sisi, Cooper juga menegaskan bahwa kekhasan gender perempuan di Jawa dan harmoni yang saling melengkapi ini tidak dapat disamakan dengan pandangan ‘kesetaraan’ modern. Secara jujur, Ia menambahkan bahwa masyarakat Jawa tetap memiliki sistem patriarki yang jelas dalam struktur resminya. Dengan demikian, dalam konteks gender di Jawa hari ini, kita masih mengenal waranggana.
Dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno), “Wara” berarti perempuan dan “Anggana” berarti sendiri. Gabungan kedua kata ini mendekati makna “Perempuan yang Mandiri”, “Perempuan yang Tersendiri”, dan “Perempuan yang Istimewa” (Edi Sedyawati, 1995). Namun, tidak seistimewa namanya, perempuan yang menjadi waranggana seringkali dituduh sebagai “Pelacur” karena suara dan tubuhnya memanjakan banyak mata laki-laki.
Sedangkan seorang waranggana hanya bermain peran, yang disebut Cooper sebagai “Skenario Rayuan,” saat menari dan bernyanyi bersama laki-laki. Tujuannya tidak lain untuk menguji laki-laki dan menjaga nilai mereka dalam konstruksi sosial yang harmonis ini (Nancy I. Cooper, 2000). Waranggana secara sadar menempatkan diri mereka untuk ‘dirayu dan merayu’ laki-laki.
Laki-laki yang diuji oleh seorang waranggana adalah mereka yang bersedia menari, berbincang, beserta pasangan mereka sendiri. Melalui interaksi ini, waranggana tidak hanya menghibur tetapi juga memperlihatkan keterampilan bersosial yang rumit dengan kemampuan untuk mempengaruhi dinamika sosial. Mereka memastikan keseimbangan sosial, nilai-nilai tradisional tetap hidup dan dihormati.
Secara tidak langsung, seorang waranggana juga menjadi simbol kekuatan dan kecerdasan perempuan dalam struktur patriarki. Meskipun berinteraksi dengan laki-laki dalam batasan yang ditetapkan oleh masyarakat, mereka tetap memiliki kekuasaan dan pengaruh yang signifikan. Selain itu, peran mereka dalam “Skenario Rayuan” menunjukkan bahwa harmoni sosial tidak hanya bergantung pada kepatuhan terhadap norma-norma, tetapi juga pada kemampuan untuk bernegosiasi dan memanipulasi peran yang diberikan kepada mereka.
Dalam setiap tarian dan nyanyiannya, waranggana mengajarkan bahwa kekuatan perempuan dapat ditemukan dalam ketahanan dan adaptasi, serta dalam kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dengan cara yang halus dan cerdas. Dengan demikian, waranggana menjadi lebih dari sekadar penghibur; mereka adalah penjaga harmoni, agen perubahan, dan simbol kekuatan perempuan dalam masyarakat Jawa yang terus berkembang.
Harmoni yang Memudar
Harmoni yang dijaga oleh waranggana, terutama dalam hubungan tanpa konflik antara perempuan dan laki-laki di Jawa, bahkan menjadi cita-cita yang diidamkan di seluruh negeri. Namun, citra harmoni yang kokoh ini terguncang hingga ke akarnya ketika sekelompok laki-laki melakukan kekerasan seksual terhadap setidaknya 50 perempuan dan anak perempuan di jalanan. Tragedi memilukan ini terjadi selama kerusuhan Mei tahun 1998.
Beberapa perempuan diseret dari rumah mereka dalam puncak amukan kerusuhan, penjarahan dan pembakaran yang akhirnya merenggut 1.200 nyawa. Amukan ini menghancurkan ribuan rumah dan bangunan lainnya, mempercepat jatuhnya mantan Presiden Soeharto dan pemerintahannya yang represif selama tiga dekade (Nancy I. Cooper, 2000).
Beberapa orang yang menyaksikan kekerasan seksual itu melaporkan bahwa ketika beberapa penonton laki-laki bersorak, yang lain mengambil foto (seolah-olah untuk meneror dan mengintimidasi korban sehingga mereka tidak berani bersuara di kemudian hari). Ada yang memaksa pekerja rumah tangga laki-laki untuk melakukan kekerasan seksual terhadap majikan mereka (perempuan atau anak perempuan) dengan benda-benda, sementara anggota keluarga dipaksa menyaksikan adegan mengerikan itu.
Dari semua kekejaman kerusuhan, banyak perempuan dari kelompok minoritas yang mendapatkan kekerasan seksual secara massal. Sejak saat itu, kepercayaan terhadap harmoni mulai memudar karena kekejaman terhadap perempuan dibiarkan merajalela. Pada akhirnya, perempuan menjadi kelompok yang paling traumatis dan terdampak jika peristiwa serupa terulang kembali.
Sebagai antitesis dari konsep rukun, peristiwa-peristiwa tragis dalam sejarah Indonesia menjadi pengingat bagi masyarakat, khususnya di Jawa, akan pentingnya ideologi budaya yang menekankan keharmonisan. Namun, secara ironis, meskipun nilai-nilai kedamaian dijunjung tinggi, perempuan tetap rentan menjadi korban kekerasan.
Oleh karena itu, setiap perempuan perlu menemukan kekuatannya agar representasinya dalam sosok waranggana yang kuat tidak hanya terdengar sebagai nyanyian sunyi belaka. Sekaligus ini adalah panggilan untuk memperkuat perlindungan terhadap perempuan dan membangun masyarakat yang lebih adil dan berempati terhadap setiap orang.
“Out of all wars, which are all started by men, none of them have made life better for mankind. Therefore, women, as the source of love in human society, must take the strength that determines life as their own.” – Nyai Ontosoroh