Membincang tayuban tidak bisa dilepaskan dari citra kontroversial yang menyertainya. Penampilan para taledhek yang dianggap erotis, keberadaan minuman keras sebagai bagian dari suguhan acara, serta biaya mahal yang dibutuhkan untuk menggelar acara ini telah memicu berbagai penentangan dari berbagai kalangan. Di antara para penentang tersebut, kelompok reformis Islam adalah yang paling vokal menyuarakan kritik. Bahkan, mereka tidak segan-segan mendesak penghapusan tarian ini karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama.
Upaya yang dilakukan oleh kaum muslim reformis ini berlangsung seiring dengan melemahnya tradisi lokal akibat arus modernisasi. Akibatnya, eksistensi berbagai tradisi lokal perlahan mulai terkikis. Tayuban pun tidak luput dari dampak tersebut dan turut merasakan kemunduran di tengah perubahan zaman yang melanda.
Potret tayuban berhasil didokumentasikan oleh Robert W. Hefner dalam karyanya “The Politics of Popular Art: Tayuban Dance and Culture Changes in East Java” (1987). Tanpa ragu, Hefner memprediksi bahwa tayuban akan menghadapi kepunahan. Ramalan tersebut muncul berdasarkan pengamatannya terhadap kebijakan politik budaya pada masa Orde Baru, yang cenderung mendiskreditkan dan menyingkirkan tarian bernuansa erotis seperti tayuban dari ruang publik.
Sebagai kepanjangan tangan rezim Orde Baru, Partai Golkar menekankan peran seni tradisional sebagai identitas nasional sekaligus objek pariwisata. Dalam upaya membentuk identitas tersebut, gagasan “tradisi Indonesia modern” dijadikan landasan, yang lebih mengedepankan nilai artistik ketimbang ekspresi erotisme kasar seperti yang melekat pada tayuban (Lysloff, 2001).
Tak ayal, Hefner menegaskan bahwa politik memiliki peran besar dalam menentukan bentuk dan eksistensi tradisi publik. Dalam konteks tayuban, misalnya, tarian ini awalnya diakomodasi oleh Keraton Mataram ke dalam istana sebagai bagian dari budaya kerajaan. Seiring waktu, tayuban kemudian berkembang menjadi hiburan populer yang digemari masyarakat Jawa. Namun, situasi berubah drastis pada masa Orde Baru. Alih-alih dilestarikan, tayuban justru tersisihkan akibat kebijakan politik yang tidak lagi memberikan ruang bagi ekspresi seni semacam itu.
Atas dasar itulah, sang antropolog berupaya menelaah ulang tradisi tayuban dengan menitikberatkan pengamatannya pada dimensi politik. Ia juga secara cermat mengaitkan fenomena ini dengan gejala besar yang melanda Jawa pada abad ke-20 M, yakni munculnya arus Islam reformis dan gelombang modernisasi.
Sorotan Hefner ini membuka cara pandang baru dalam memahami tayuban. Sebelumnya, kajian para peneliti cenderung terbatas pada aspek-aspek intrinsik semata, seperti teknik tarian, komposisi musik, irama, kostum, serta fungsi sosial dan budaya tayuban. Misalnya, tayuban dipahami sebagai hiburan masyarakat pinggiran (Geertz, 1960), ritus kesuburan (Holt, 1967), atau sekadar ekspresi seni erotis khas Jawa (Sutton, 1984). Namun, pendekatan Hefner melampaui batas-batas tersebut dengan menempatkan tayuban dalam konteks dinamika politik, sosial, dan budaya yang lebih luas, sehingga memberikan pemahaman yang lebih mendalam dan kontekstual tentang eksistensi tarian ini.
Bagi Hefner, amatan semacam itu parsial. Besar kemungkinan mereka gagal dalam memotret kompleksitas tradisi tayuban, lantaran minimnya nuansa dinamika sosial yang hadir dalam riset-riset terdahulu. Maka dari itu, sang antropolog mencoba selangkah ke depan, tak hanya mengkaji di wilayah intrinsik melainkan pada aspek ekstrinsiknya pula– politik, ekonomi, agama, sejarah, dan gejala sosial.
Hefner memilih menggunakan data sejarah regional dari Blambangan dan Tengger sebagai acuan, karena sumber-sumber tersebut memuat informasi mengenai tradisi pedesaan yang relatif minim diketahui oleh khalayak umum. Berdasarkan data tersebut terungkap bahwa sajian tayuban yang kita kenal saat ini merupakan perkembangan lanjut dari tradisi tarian kuno yang lebih didominasi oleh nuansa mistik. Dalam konteks ini, para sarjana sepakat untuk mengaitkan tayuban dengan ritual kesuburan, sebagaimana dicatat oleh Pigeud (1938), Holt (1967), dan Suharto (1999). Hal ini menunjukkan bahwa akar historis tayuban memiliki dimensi spiritual yang mendalam, sebelum kemudian bertransformasi menjadi bentuk seni pertunjukan yang lebih dikenal dalam masyarakat modern.
Meskipun tidak sepopuler di masa lampau, sisa-sisa nuansa mistik tayuban masih dapat dirasakan dalam ritual ‘bersih desa’. Namun, dewasa ini, prosesi ritual tersebut jarang menyertakan tarian ini sebagai bagian dari upacaranya. Hefner menunjukkan bahwa kondisi ini tidak terlepas dari pengaruh Islam yang diperkenalkan dan disebarluaskan oleh Keraton Mataram. Pengaruh tersebut secara bertahap melemahkan peran sakral tarian tayuban, sehingga fungsinya bergeser dari sarana ritual keagamaan menjadi sekadar hiburan bagi masyarakat.
Hefner menganalisis bahwa kesuksesan Mataram dalam mendiseminasikan pengaruhnya di wilayah Tapal Kuda dapat dipahami sebagai bentuk penaklukan Mataram atas Blambangan dan Tengger. Setelah ditelusuri lebih jauh, kedua wilayah tersebut merupakan pusat populasi pemeluk Hindu yang masih bertahan hingga periode kerajaan Islam. Fakta ini tentu saja dapat ditafsirkan oleh penguasa Mataram sebagai ancaman terhadap dominasi politik dan keagamaan mereka. Dengan demikian, upaya Mataram untuk mengislamkan dan mengintegrasikan wilayah-wilayah tersebut ke dalam kekuasaannya menjadi langkah strategis untuk mengeliminasi potensi resistensi sekaligus memperluas hegemoninya.
Dalam rangka meminimalisir munculnya ancaman, secara berkala pihak Mataram melakukan agresi ke wilayah tersebut. Motif inilah yang melatarbelakangi mereka saling berperang. Jika diruntut, gencatan senjata dimulai sejak periode kekuasaan Sultan Agung (1620-1650), kemudian memanas saat terjadi pemberontakan Surapati (1686-1706), dan rampung dimenangkan Mataram lewat bala bantuan Belanda– Tengger ditaklukan pada 1764 dan Blambangan pada 1767.
Pasca ditaklukannya kedua wilayah tersebut (1767-1772), Belanda dan Mataram mendorong Islamisasi besar-besaran ke daerah Tapal kuda, serta memutus komunikasi Blambangan dengan Bali yang semula memiliki ikatan primordial sesama pemeluk Hindu. Kebijakan tersebut, secara drastis menyusutkan populasi Hindu di daerah tersebut. Hingga ironisnya pada abad 19-20 M, tersisa kelompok petani di dataran tinggi Tengger sebagai satu-satunya populasi Hindu yang masih bertahan di sana.
Selain itu, dalam rangka memulihkan perekonomian pasca peperangan, Belanda menggalakkan migrasi besar-besaran penduduk Jawa Tengah dan Madura ke daerah Tapal kuda. Secara tak langsung, hal ini berkontribusi memundurkan tradisi lokal di daerah itu. Mengingat sebagian besar para imigran berasal dari wilayah yang notabennya pusat perkembangan Islam di Jawa.
Seiring berjalannya waktu, para imigran kian memadati daerah Tapal kuda, momentum ini bebarengan dengan meningkatnya pengaruh Islam reformis di sana. Ini nampak tatkala diberlakukannya pembatasan peran perempuan di ruang publik, terutama dalam menari– lantaran normalisasi ‘perempuan baik’ adalah mereka yang tidak menari di muka umum. Alhasil, peran sakral perempuan dalam tarian dikesampingkan dan penari profesional diperkenalkan sebagai penggantinya.
Hefner menjelaskan bahwa penggunaan penari profesional dari luar, yang dikenal sebagai tledhek, memberikan keleluasaan bagi para lelaki untuk menari tanpa harus memikirkan reputasi sosial penari perempuan. Dengan demikian, para lelaki desa dapat terbebas dari batasan moral yang biasanya mengikat mereka ketika menari bersama perempuan setempat. Kehadiran tledhek inilah yang kemudian membuka ruang bagi tayuban untuk berkembang menjadi pertunjukan yang lebih bebas, dengan nuansa erotis yang semakin kental seiring berjalannya waktu.
Di sisi lain, suguhan minuman keras dan biaya akomodasi yang mahal dalam pertunjukan tayuban memicu kritik keras dari kalangan reformis Islam serta pejabat pemerintah. Bahkan, seruan untuk menghapuskan tarian ini kerap terdengar. Meskipun kritik terhadap tayuban telah dimulai sejak masa kolonial abad ke-19, momentum peningkatannya justru terjadi pada awal masa kemerdekaan di abad ke-20, seiring dengan semakin kuatnya arus modernisasi dan upaya penguatan identitas nasional yang cenderung menyingkirkan praktik-praktik tradisional yang dianggap kontroversial.
Dalam kasus Tengger, penentangan terhadap tayuban merupakan gejala baru, mengingat wilayah tersebut berada di pedesaan yang biasanya lebih konservatif dalam mempertahankan tradisi. Hefner berpendapat bahwa awalnya penentangan terhadap tayuban hanya terjadi di perkotaan, karena basis kaum reformis Islam lebih kuat di sana. Hal ini ditandai dengan pengaruh sosial-politik organisasi seperti Muhammadiyah dan Masyumi yang cukup signifikan di wilayah perkotaan.
Muhammadiyah sendiri tercatat telah menentang tayuban sejak periode 1930-an. Namun, setelah beberapa dekade berlalu dan merasa strategi mereka kurang efektif, pada pertengahan 1950-an Muhammadiyah membentuk afiliasi dengan Masyumi. Melalui kerja sama ini, mereka secara sistematis berhasil melarang tayuban di hampir seluruh kota di Jawa Timur, sehingga praktik ini semakin tersisihkan dari ruang publik perkotaan.
Di pedesaan, kisah kesuksesan kaum reformis Islam dalam menentang tayuban tidak berjalan mulus. Hal ini disebabkan oleh pengaruh mereka yang relatif lemah dibandingkan dengan Nahdlatul Ulama (NU). Sikap NU yang cenderung permisif terhadap tradisi lokal, termasuk tayuban, secara tidak langsung membentengi masyarakat desa dari upaya reformis Islam untuk menghapus praktik tersebut.
Fenomena ini sebenarnya tidak mengejutkan, mengingat tayuban telah lama menjadi hiburan populer di kalangan masyarakat pedesaan. Lebih dari sekadar pertunjukan, sebagian masyarakat bahkan meyakini bahwa tarian ini menyimpan kekuatan magis-simpatetis yang mampu mendatangkan kesejahteraan serta meredam malapetaka bagi desa (Surur, 2003). Keyakinan ini semakin memperkuat posisi tayuban sebagai bagian integral dari kehidupan sosial dan spiritual masyarakat desa.
Namun, justru pengidentifikasian tayuban sebagai praktik yang sarat dengan nuansa magis inilah yang memperkuat penentangan kaum reformis Islam. Mereka menganggap elemen-elemen tersebut bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan yang mereka perjuangkan, sehingga tayuban semakin menjadi sasaran kritik dan upaya pelarangan.
Barulah setelah meletusnya peristiwa berdarah tahun 1965, sikap NU mengalami perubahan signifikan. Para petinggi NU di tingkat kota dan kabupaten di Jawa Timur mulai secara aktif menentang keberadaan tayuban. Upaya mereka cukup berhasil, meskipun pagelaran tayuban masih bertahan di beberapa pelosok desa yang terpencil. Namun, pada titik inilah tradisi ini memasuki fase kemunduran yang cukup signifikan.
Kondisi ini semakin diperparah oleh sikap politisi Partai Golkar yang cenderung labil dalam menyikapi tayuban. Awalnya, mereka mendukung tarian ini sebagai simbol identitas lokal yang penting. Namun, di sisi lain, mereka juga secara tegas mengkritik suasana panggung tayuban yang sering kali diwarnai huru-hara, termasuk konsumsi minuman keras dan nuansa erotis yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai modernisasi. Menjelang tahun 1980-an, sikap Golkar semakin condong untuk menyesuaikan diri dengan suara mayoritas yang bersikeras menentang keberadaan tarian tersebut. Dengan demikian, tekanan dari berbagai pihak—baik dari kalangan reformis Islam maupun kebijakan politik Orde Baru—membuat eksistensi tayuban semakin terpinggirkan.
Perubahan sikap Golkar ini didorong oleh pengaruh Islam reformis yang semakin kuat, bahkan pengaruhnya menjalar hingga pedesaan. Ini dapat dilihat dari munculnya skeptisitas pemuda desa terhadap tradisi lokal. Idealnya mereka berperan sebagai pewaris tradisi, justru ikut berkontribusi mempercepat kemunduran tradisi yang sudah ada sejak lama itu. Pandangan mereka terhadap tayuban kurang lebih sama, tak mengherankan bila sekarang tarian ini tengah kehilangan pamornya sebagai hiburan masyarakat Jawa.
Selain itu, kemunduran tayuban juga dipengaruhi oleh pergeseran pola politik-ekonomi di pedesaan, yang secara bertahap memudarkan daya tarik tarian ini. Peristiwa peralihan kekuasaan politik pada tahun 1965, yang kemudian disusul dengan kebijakan Revolusi Hijau pada awal 1970-an, secara drastis mengubah struktur perekonomian desa. Implikasinya, masyarakat desa mengalami transisi estetis. Jika sebelumnya hasil panen mereka dialokasikan untuk menggelar pagelaran tayuban sebagai bentuk hiburan kolektif, kini pola konsumsi bergeser ke arah yang lebih terprivatisasi. Mereka mulai membeli barang-barang mewah seperti televisi, radio, dan kendaraan pribadi, yang dianggap lebih modern dan sesuai dengan gaya hidup baru.
Melalui artikel ini, Hefner memberikan sinyal kuat kepada khalayak bahwa politik, agama, dan ekonomi memiliki peran besar dalam memberikan daya tarik sekaligus menyusutkan eksistensi tayuban. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, orientasi politik budaya Orde Baru justru berdampak negatif terhadap kelangsungan tarian ini. Situasi ini diperparah oleh gelombang Islam reformis yang semakin masif serta arus modernisasi yang melanda masyarakat Jawa.
Pendek kata, dinamika tersebut segera mengantarkan tayuban pada kepunahan. Betapapun acapkali terdengar selentingan romantisasi tarian ini di masa lalu serta wacana revitalisasi untuk menghidupkan gemerlap panggungnya, tak menutupi fakta kemunduran tayuban. Demikian kenyataannya, selangkah menuju punah.