Ini merupakan kisah subversivitas seniman Lengger terhadap konvensi artistik Orde Baru. Para senimannya enggan tunduk terhadap norma ketertiban yang ditawarkan oleh rezim. Hal ini terejawantah lewat suguhan erotis penari Lengger yang secara tak langsung menampik standar berkesenian di zamannya.
Suatu zaman tatkala ‘tertib’ dipaksakan sebagai normativitas ideal masyarakat Indonesia. Berkesenian pun demikian, harus tertib selaras dengan gagasan tradisi Indonesia modern ala Orde Baru. Suatu konvensi yang sangat mengedepankan aspek artistik ketimbang estetika dan erotisme. Lantas, kesenian seperti Lengger yang banyak dijumpai di pedesaan, berangsur kehilangan sentuhan estetikanya.
Rene T. A Lysloff dalam ”Rural Javanese Tradition and Erotic Subversion: Female Dance Performance in Banyumas Central Java” (2001-02), mengisahkan secara apik kisah tersebut. Lysloff menuturkan, lahirnya subversivitas Lengger dipicu benturan antara gagasan ‘tradisi Indonesia modern’ dengan ‘tradisi pedesaan’. Lebih jelasnya
benturan tradisi ‘tertib’ dengan ‘huru-hara’. Disinyalir suguhan erotis penari Lengger inilah akar terbentuknya situasi huru-hara. Berkat kepiawaian para senimannya dalam mempertontonkan paras cantik, humor genit, serta gerak pinggulnya, tak ayal, para penonton yang notabenenya lelaki menyambut begitu meriah. Perpanduan erotika penari serta luapan kemeriahan penonton itulah yang membuat pertunjukan Lengger rentan lepas kendali.
Bahkan tak jarang di tengah-tengah kemeriahan pertunjukan, timbul keributan antar-penonton dan berujung perkelahian. Permasalahannya sederhana, penonton saling berebut perhatian penari. Di posisi ini, para seniman Lengger selalu menjadi kambing hitam lantaran suguhan erotika mereka dianggap memicu perkelahian antar-penonton yang mayoritas lelaki.
Sebagian besar masyarakat mencibir keberadaan penari Lengger. Mereka bahkan dilabel sebagai pelacur. Meski tak sedikit pula yang membanggakan keberadaan mereka, baik sebagai pelestari budaya maupun sebagai pelanjut spiritualitas kesenian. Pandangan ini tentunya lahir bukan tanpa sebab, penggambaran Ahmad Tohari mengenai Ronggeng mengemukakan, dahulu para penari perempuan seperti: Ronggeng, Taledhek, Lengger menempati kedudukan sakral dan bergengsi di masyarakat.
Hingga hari ini, sebagian orang tetap memandang tradisi Lengger memuat nilai historisitas dan merupakan bagian dari praktik spiritual yang patut dilestarikan. Memang benar adanya, di masa lalu para penari Lengger dicitrakan demikian. Anderson Sutton pakar etnomusikolog Jawa turut mempertegas, bahwa tradisi penyanyi-penari (Lengger, Tayub, Sindhen) berakar dari legenda Juru I Angin (Sutton, 1984). Sosok yang diyakini masyarakat Jawa sebagai penjelmaan Dewi Kesuburan (Suharto, 1999).
Kemudian Lysloff menuturkan formasi silam dari pertunjukan Lengger yang mulanya melibatkan seorang lelaki berdandan selayaknya penari perempuan, serta diiringi nada angklung sebagai instrumen pelengkapnya. Selain itu, tatkala mereka berkeliling ke desa menjajakan kemahirannya, para badhut turut ambil bagian memeriahkan suasana lewat celetukan humornya. Hal ini, serupa dengan potret pertunjukan Juru I Angin sebagaimana digambarkan Kakawin Nagarakertagama.
Namun, semenjak abad ke-20 M, iringan angklung pada pertunjukan ini mulai tergantikan dengan perangkat gamelan kecil, ringgeng dan mondreng. Selain itu, keberadaan penari lelaki juga tak lagi mewarnai pertunjukan Lengger. Pada dekade 1970-80an, pertunjukan Lengger memasuki puncak popularitasnya. Hal ini lantaran kelugasan para penarinya dalam menciptakan suasana erotis, seperti magnet yang menyedot luapan penonton di setiap pementasannya. Kisah kesuksesan tersebut tak bertahan lama. Lengger dikerdilkan sebagai kesenian kasar dan primitif. Kasar karena tarian erotis penarinya dianggap semata-mata disajikan untuk memancing syahwat. Dipandang primitif karena bersebrangan dengan gagasan tradisi Indonesia modern – menengok tradisi tersebut
mengidealisasi gaya aristokrat keraton (bedhaya) sebagai citra feminitas perempuan yang santun nan halus (Hughes-Freeland, 2015). Sebaliknya, stigmatisasi Lengger kian mengental, para penarinya dicap banal dan kasar. Itulah mengapa label amoral melekat pada dirinya.
Perlu diketengahkan, tuduhan amoral tersebut dipahami bukan dalam tataran ‘moral’ melainkan diukur dari rezim ‘ketertiban’. Secara faktual, memang ada penari Lengger melakukan praktik promiskuitas, akan tetapi, di Jawa, dalam periode yang sangat Panjang, bukan praktik prostitusi itu sendiri yang dilarang, tetapi huru-hara
dan ketidaktertiban yang mewarnai praktik itulah yang dipersoalkan. Seperti halnya, ketika penari Lengger melakukan perjanjian secara terang-terangan di atas panggung, mereka akan dipandang rendah sebagai pelacur, liar, dan di luar kendali (Hughes-Freeland, 1993).
Kiranya, pandangan masyarakat ini selaras dengan selera ketertiban Orde Baru. Dalam konteks kesenian, Orde Baru melalui para pejabat daerah, tak segan-segan melakukan kontrol ketat kepada seniman. Mereka diwajibkan memiliki kartu izin pentas yang didapatkan setelah mengikuti kelas Pancasila. Selain itu, seniman yang kedapatan berperilaku menyimpang atau terlibat politik, akan sulit mendapat izin bahkan akan dilarang melakukan pentas.
Demikian pula seniman Lengger. Mereka tak luput dari intaian Orde Baru. Pertunjukannya yang acapkali menimbulkan kegaduhan berusaha dijinakkan. Ekspresi para senimannya diselaraskan dengan gagasan tradisi Indonesia modern yang tertib. Warisan silam tradisi Lengger yang tak selaras dirombak bentuknya, bahkan bila perlu dihilangkan, terutama nuansa erotika para penarinya.
Alhasil, secara perlahan unsur lokalitas kesenian Lengger kian memudar. Cita-rasa lokalitasnya yang terejawantah lewat gelagat erotika penari serta luapan kemeriahan penonton makin jarang dijumpai. Padahal, itulah cita-rasa yang menggambarkan kemeriahan desa dalam menghayati keindahan. Kemeriahan itu terjadi ketika aspekaspek estetika berbalut erotika, seperti yang pernah disinggung S. O. Robson bahwa, “di Jawa, tak ada perbedaan antara kenikmatan estetis dan erotis” (Robson, 1979).
Dalam kasus Lengger, erotiska adalah bagian tak mungkin dipisahkan dengan keberadaanya. Tatkala Orde Baru berupaya menghilangkan sisa-sisa erotiska pada pertunjukannya, hal ini sama saja memusnahkan eksistensi kesenian tersebut.
Inilah manifestasi strategi budaya Orde Baru. Para seniman dipaksa tunduk pada konvensi artistik yang dikontrol secara massif hingga pelosok desa. Para seniman yang berseberangan dengan konvensi tersebut, akan mengalami peminggiran. Saat para seniman tunduk, maka Lengger akan kehilangan makna dan sentuhan estetis dan erotikanya. Faktanya, Lengger tetap melawan. Dan karena itulah kesenian ini selalu dicitrakan bersifat primitif. Orde Baru, kata Lysloff, menganalogkan Lengger sebagai “teater erotis fantasi kelelakian.” []