Integrasi Kurikulum Nasional di Pesantren

Proses Integrasi kurikulum nasional di pesantren Indonesia dan Thailand Selatan mencerminkan dua dinamika sosial-politik yang kontras. Di Indonesia, pesantren diberi kebebasan untuk memilih, sehingga menciptakan sistem pendidikan yang fleksibel dan adaptif. Sebaliknya, pesantren di Thailand Selatan menghadapi tekanan negara yang cenderung koersif, memaksa mereka memilih menjadi sekolah Islam formal atau mempertahankan tradisi salaf di bawah kontrol ketat.

Integrasi kurikulum nasional di pesantren Indonesia dan Thailand Selatan menunjukkan dua realitas yang kontras. Di Indonesia, pesantren mendapat perlakuan istimewa dari negara, sehingga mereka memiliki kebebasan untuk menentukan arah pendidikannya. Pesantren dapat memilih untuk mengadopsi kurikulum nasional sepenuhnya, mengintegrasikannya dengan kurikulum pesantren salaf, atau bahkan menolaknya sama sekali. Sebaliknya, pesantren di Thailand Selatan menghadapi tekanan yang berbeda. Mereka dalam sejarahnya, sering mengalami represi dan koersi dari pemerintah. Pesantren di sana dipaksa untuk tetap mempertahankan status sebagai pesantren salaf tradisional atau bertransformasi menjadi sekolah Islam formal swasta, tanpa ruang untuk fleksibilitas seperti di Indonesia.

Pesantren secara umum dalam Kajian antropologi, dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan penerapan kurikulumnya, yaitu Salaf (tradisional), Khalaf (modern), dan Terpadu/Hybrid. Namun, menurut penelitian Lukens-Bull (2007), muncul model pesantren baru yang disebut sebagai Salafi (Lukens-Bull, 2010). Pesantren Salafi ini berfokus pada pendidikan Islam yang berafiliasi dengan ideologi atau partai politik Islam yang bersifat reformis.

Di Indonesia, keberagaman model pesantren sangat terlihat. Pesantren salaf, seperti Pondok Induk Lirboyo dan Ploso Kediri, masih mempertahankan tradisi keilmuan klasik. Pesantren modern atau khalaf, seperti Gontor, lebih mengakomodasi kurikulum formal dengan pendekatan modern. Selain itu, ada pula pesantren hybrid, seperti Al-Mahrusiyah Lirboyo, yang menggabungkan kurikulum salaf dan modern, serta pesantren salafi yang sering berafiliasi dengan partai politik tertentu.

Sementara itu, di Thailand Selatan, model pesantren hanya terbatas pada pesantren salaf dan modern. Model hybrid, yang berkembang pesat di Indonesia, tidak ditemukan di Thailand Selatan. Perbedaan ini mencerminkan konteks sosial-politik yang sangat berbeda antara kedua negara. Di Indonesia, keberagaman ini muncul karena adanya dukungan negara dan kebebasan dalam memilih arah pendidikan. Sebaliknya, di Thailand Selatan, tekanan politik dan regulasi ketat membatasi pesantren untuk berkembang melampaui model salaf atau modern.

Integrasi kurikulum nasional di pesantren menjadi isu yang kompleks di Thailand Selatan, terutama karena pengaruh konteks sosial-politik yang melingkupinya. Berbeda dengan Indonesia, pesantren di Thailand Selatan secara umum menghadapi perlakuan koersif dari negara melalui kebijakan dan undang-undang yang membatasi otonomi pendidikan mereka. Namun, pada awal tahun 1970-an, terdapat pengecualian di Nakhon Sri Thamarat (NST), Thailand Selatan bagian atas, dengan hadirnya Pondok Ban Tan atau Pondok Dr. Surin. Pesantren ini berhasil mengakomodasi kurikulum nasional sekaligus mempertahankan kurikulum pesantren salaf, serupa dengan model hybrid yang lazim ditemukan di Indonesia.

Meski demikian, pesantren-pesantren lain di Thailand Selatan, khususnya di wilayah Yala, Narathiwat, Songkhla, dan Pattani, tetap menghadapi perlakuan berbeda. Kebijakan negara yang diatur melalui undang-undang tahun 1982 mempertegas batasan terhadap pesantren di wilayah ini, sehingga mereka tidak memiliki kebebasan yang sama seperti Pondok Ban Tan dalam mengembangkan kurikulum yang terintegrasi. Hal ini semakin mempertegas perbedaan signifikan dalam perkembangan pesantren antara Indonesia dan Thailand Selatan.

Pesantren Thailand Selatan

Kebijakan Kementerian Pendidikan Thailand pada tahun 1982 mewajibkan pesantren untuk mendaftarkan diri sebagai lembaga pendidikan resmi. Setelah diakui secara formal, pesantren diharuskan menyesuaikan diri dengan kurikulum nasional. Kebijakan ini memberikan dua opsi bagi pesantren di Thailand Selatan: bertransformasi menjadi sekolah swasta Islam (madrasa) atau tetap menjadi pesantren salaf yang diakui negara. Namun, pilihan untuk tetap menjadi pesantren salaf sering kali diiringi tekanan bahkan paksaan agar beralih status menjadi sekolah swasta Islam (Lukens-Bull, 2010).

Kebijakan ini memicu gelombang penolakan dari pesantren-pesantren di Thailand Selatan. Banyak pihak mencurigai bahwa langkah tersebut merupakan strategi politik pemerintah Thailand untuk membatasi pertumbuhan komunitas Muslim di wilayah tersebut. Penolakan terbesar terjadi di empat provinsi utama Thailand Selatan, yakni Pattani, Songkhla, Narathiwat, dan Yala, di mana pesantren-pesantren memiliki peran penting dalam mempertahankan identitas keagamaan dan budaya lokal masyarakat Muslim.

Kebijakan pendidikan Thailand pada tahun 1982 dan kebijakan wajib belajar 9 tahun yang diterapkan pada tahun 1987 dianggap sebagai upaya hegemoni politik-budaya Bangkok untuk menghapus tradisi Islam-Melayu di Thailand Selatan. Banyak pesantren di wilayah ini mencurigai bahwa kebijakan tersebut bertujuan untuk mengikis identitas Melayu-Muslim, seperti yang telah terjadi pada komunitas Muslim di Nakhon Sri Thamarat (NST). Di NST, generasi terdidik Muslim sudah tidak lagi mampu melafalkan Dialek Melayu Pattani (DMP), karena penggunaan bahasa Thai menggantikan peran bahasa Melayu dalam kehidupan sehari-hari.

Ketakutan tersebut semakin diperkuat dengan kebijakan pendidikan formal yang memberikan ruang lebih besar bagi mata pelajaran terkait bahasa dan budaya Thailand, sementara elemen keislaman dan tradisi Melayu semakin terpinggirkan (Porath, 2018). Meski demikian, koersi, represi, dan diskriminasi yang mewarnai perjalanan pesantren di Thailand Selatan tidak membuat mereka kehilangan identitas. Generasi berpendidikan Muslim di wilayah ini, baik yang dididik di pondok maupun madrasa, tetap mempertahankan identitas Melayu-Muslim yang kuat, meskipun harus beradaptasi dengan konteks budaya-politik nasional Thailand dan dinamika Islam-budaya regional Thailand Selatan.

Namun, persoalan identitas ini tidak merata. Generasi muda lulusan pondok Ban Tan, misalnya, sudah melebur dengan budaya Siam/Thai, hingga sebagian besar tidak lagi menggunakan DMP dalam keseharian mereka. Sebaliknya, lulusan pondok atau madrasa di wilayah seperti Pattani, Songkhla, Narathiwat, dan Yala tetap menjaga identitas sebagai Muslim-Melayu yang berbeda dari identitas Siam. Bahkan, mahasiswa asal Pattani yang menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri di Indonesia sering kali tidak fasih berbahasa Thai. Sebagian dari mereka juga dapat menceritakan pengalaman diskriminasi yang dialami di tanah airnya, yang semakin menegaskan perbedaan identitas antara Muslim Thailand Selatan dan komunitas Siam mayoritas. Identitas Melayu-Muslim tetap kokoh sebagai simbol perlawanan budaya di tengah dominasi politik dan budaya nasional Thailand.

Pesantren di Indonesia

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, fenomena integrasi kurikulum nasional di pesantren Indonesia sangat berbeda dengan yang terjadi di Thailand Selatan. Di Thailand Selatan, pesantren sering mengalami perlakuan tidak setara dengan lembaga pendidikan lain, sementara di Indonesia, pesantren justru mendapatkan perlakuan istimewa dibandingkan lembaga pendidikan milik kelompok agama lainnya.

Hampir semua pesantren di Indonesia mengakomodasi kurikulum nasional, baik dengan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum salaf (hybrid) maupun dengan bertransformasi menjadi pesantren modern. Bahkan, ada pula pesantren salaf yang mendirikan pesantren baru untuk mengakomodasi kurikulum nasional sembari tetap mempertahankan model pendidikan salaf di pondok induknya. Contohnya adalah Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri, Jawa Timur, yang mendirikan Pesantren HM Al-Mahrusiyah (dahulu HM PUTRA/I). Pesantren ini dirancang untuk mengakomodasi kurikulum nasional melalui pendirian sekolah formal, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Dengan model ini, pondok induk Lirboyo yang berbasis salaf tetap dapat beroperasi tanpa gangguan.

Fenomena serupa juga dapat ditemukan di banyak pondok pesantren salaf besar lainnya di Indonesia. Pola ini mencerminkan fleksibilitas pesantren di Indonesia dalam merespons kebijakan pendidikan nasional, sekaligus mempertahankan tradisi keilmuan Islam yang menjadi identitas pesantren itu sendiri.

Pesantren dalam konteks Indonesia, tidak hanya memiliki fleksibilitas dalam mengatur kurikulum, tetapi juga menikmati berbagai privilese yang diberikan oleh negara. Salah satu bentuk penghormatan terhadap pesantren adalah penetapan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober 2015. Empat tahun kemudian, lahir Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang memperkuat posisi pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis keagamaan. Hal ini disusul dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren, yang memberikan panduan lebih rinci mengenai pengelolaan pesantren.

Selain itu, pada akhir tahun 2024, Kementerian Agama mendirikan Pusat Pembiayaan Pendidikan Agama dan Keagamaan (PUSPENMA) berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 25 Tahun 2024. Lembaga ini bertugas memperkuat pengelolaan pembiayaan pendidikan keagamaan, termasuk mengelola program-program beasiswa seperti Program Santri Berprestasi (PBSB) Degree/non-Degree dan Dana Abadi Pesantren. Langkah ini semakin menegaskan perhatian istimewa yang diberikan kepada pesantren sebagai bagian penting dari sistem pendidikan di Indonesia.

Ketika berbicara tentang relasi pesantren dengan kurikulum nasional, dinamika di Indonesia dan Thailand Selatan menunjukkan kontras yang tajam. Di Indonesia, pesantren memiliki kebebasan untuk mengakomodasi, menolak, atau mengintegrasikan kurikulum nasional dengan kurikulum salaf. Sebaliknya, di Thailand Selatan, pesantren menghadapi tekanan besar dari negara. Mereka dipaksa untuk memilih sepenuhnya mengakomodasi kurikulum nasional atau sama sekali tidak menggunakannya. Hal ini mencerminkan perbedaan besar dalam cara kedua negara memperlakukan pesantren, di mana Indonesia memuliakan pesantren sebagai bagian integral dari identitas nasional, sementara Thailand Selatan justru mengekang perkembangannya.

Daftar Pustaka

Alatas, Farid., Lim, T. Ghee., & Kuroda, Kazuhide. (2003). Asian Interfaith Dialogue : Perspectives on Religion, Education, and Social Cohesion : [proceedings]. Centre for Research on Islamic and Malay Affairs ; World Bank.

Lukens-Bull, R. (2010). MADRASA BY ANY OTHER NAME Pondok, Pesantren, and Islamic Schools in Indonesia and Larger Southeast Asian Region. In Journal of Indonesian Islam.

Porath, N. (2018). Muslim schools (pondok) in the south of Thailand: Balancing piety on a tightrope of national civility, prejudice and violence. South East Asia Research, 22(3), 303–319. https://doi.org/10.5367/sear.2014.0217Robert W. Hefner and Muhammad Qasim Zaman. (2007). Schooling Islam: The Culture and Politics of Modern Muslim Education.

Terpopuler

Harimau Jawa, Riwayatmu Kini!

Harimau Jawa (Panthera tigris sondaicus) telah lama dinyatakan punah, namun jejaknya tetap hidup...

Penyihir dan Kontrol atas Tubuh Perempuan

Perempuan sakti di beberapa budaya dicitrakan negatif dalam politik ingatan. Mereka digambarkan...

Kemerosotan Tayub

Tayub merupakan tarian Jawa yang kontroversial karena nuansa erotik dan ritual mistisnya. Melalui...

Waranggana

Waranggana merupakan simbol perempuan Jawa yang kuat dan mandiri, berperan penting dalam ekonomi dan...

Desa Proyek Kolonial?

Desa di Jawa yang kita kenal saat ini merupakan hasil proyek kolonial yang melembagakan struktur...

Integrasi Kurikulum Nasional di Pesantren

Proses Integrasi kurikulum nasional di pesantren Indonesia dan Thailand Selatan mencerminkan dua...

Ragam Messianisme Di Indonesia

Messianisme di Indonesia mencerminkan keragaman budaya dan sejarah masyarakat yang meliputi...

Bakung 1967-1968: Potret Kelam Perang Pangan

Bakung 1967-1968 menggambarkan konflik antara Orde Baru (Orba) dan PKI yang menggunakan pangan...

Dukun Manten di Jawa

Dukun pengantin dalam tradisi pernikahan Jawa memainkan peran penting sebagai pembimbing spiritual...