Makuțārama

Wahyu Makuțārama merepresentasikan cara pandang orang Jawa terhadap kehidupan yang dinamis, menyatu dalam siklus historis dan kosmis, dengan ajaran hasța-brāta sebagai pedoman moral tertinggi bagi pemimpin dalam mencapai harmoni universal.

Wahyu Makuțārama adalah jendela penting untuk memasuki alam pikiran orang Jawa. Bukan hanya soal bagaimana kekayaan linguistik yang diolah oleh kesadaran kognitif subyek Jawa, tetapi juga terkait hal-ihwal bagaimana ‘wahyu’ dirasionalisasi; diletakan dalam lanskap kesejarahan, termasuk dihubungkan dengan kehendak (the will) subyek, dan terutama; dikaitkan dengan totalitas harmoni sebagai cita-cita tertinggi.

Meski saya sudah menukil secuil potongannya di tulisan terdahulu, mari kita masuk lebih jauh ke dalam Wahyu Makuțārama, sehingga mendapatkan gambaran besar alam pikiran orang Jawa. Konon, lakon ini berasal dari abad ke-19 M. Merupakan carangan yang mencoba melebur-cairkan garis batas dua lakon pakem yang sudah kanonik dalam pewayangan: Ramayana dan Mahabharata.

Dalam bentuk aslinya, Ramayana dan Mahabharata merupakan dua epos yang berbeda secara total. Latar zaman, tokoh-tokoh, dan kisah epiknya, hampir-hampir tidak mungkin diperjumpakan. Tapi hal ini tidak berlaku di Jawa. Lakon carangan tersebut sepenuhnya mewakili kreativitas imajiner orang Jawa dalam melintasi batas waktu, mempertautkan tokoh-tokoh dari zaman yang berbeda-beda, bahkan merangkai kisah-kisah epik dalam suatu kesinambungan.

Makuțārama sesungguhnya berkisah tentang bagaimana norma tertinggi kekuasaan seharusnya diwujudkan, tetapi kreativitas melintasi sekat waktu-ruang, telah menjadikannya sebagai karya yang paling gamblang dalam mewakili gerak dinamis alam pikiran Jawa. Meski baru lahir di abad ke-19 M, bukan berarti kisah tersebut tidak diasupi oleh kearifan masa lalu, terutama sistem pengetahuan orang Jawa yang diawetkan dalam berbagai Kakawin, sastra-pahat, dan kelisanan (orality).

Bila pungkasan Makuțārama adalah ajaran hasța-brāta, sudah pasti dia mewakili suatu ideologi dan episteme kuno yang tidak benar-benar punah, tetapi hanya mengalami keberulangan ‘abadi’. Konsep hasța-brāta, misalnya, sangat bertalian dengan konsep ‘dewaraja’ yang keberadaannya bisa dilacak setua usia kekuasaan di Jawa yang bisa dijangkau oleh sejarah resmi. Maka, apa yang baru dan kuno, menjadi sangat samar, relatif dan tentatif. Di Jawa, tidak ada yang benar-benar kuno, dan terutama tidak pernah ada yang benar-benar baru.

Ajaran Kuno

Sudah pasti Makuțārama adalah ajaran kuno. Dikaitkan dengan kawruh, ilmu makrifat, yang sudah dicecap oleh bhātara Rama dari Ayodhya. Itulah kunci kadigdayaan Rama sehingga mencapai kesempurnaan tertinggi, moksa. Dalam status ini, bhātara Rama mengabadi bersama Wahyu Makuțārama. Karenanya, ilmu kawruh itu bisa menitis, dan bisa dicecap kembali oleh subyek yang memiliki kualitas sepadan, di suatu zaman yang sedang membutuhkannya.  

Maka kisah itupun dimulai. Latarnya adalah situasi sosial-politik di Hastina yang amburadul. Negeri itu sedang gonjang-ganjing akibat kemerosotan moral dan kesentosaan. Rakyatnya menderita, penguasanya jauh dari kehidupan spiritual. Doryudhāna, raja tanpa wahyu itu, terlalu pongah dan tidak mawas diri. Ia bukan hanya tidak memiliki niat baik untuk memperbaiki keadaan, tetapi juga menyangkal kabar tentang bakal turunnya ‘wahyu’ yang bisa mengobati keadaan Hastina.

Kabar itu tidak lepas dari keberadaan Begawan Kesawasidhi. Seorang pandhita tiban yang asal-usulnya sangat dirahasiakan, tetapi segera menjadi terkenal karena dikaitkan dengan Wahyu Makuțārama. Konon, Makuțārama telah ‘menitis’ kepadanya. Di tempat petapaannya, ia membuka diri dan menerima murid dari berbagai latar belakang zaman untuk bisa mencecap nugraha tersebut.

Segeralah, kabar turunnya wahyu itu berubah menyerupai sayembara. Orang-orang dari zaman Ayodhya hingga zaman Hastina berebut peluang untuk bisa berguru kepada Kesawasidhi. Hanoman, wanara abdi Rama itu, hadir di gelanggang sebagai murid Kesawasidhi. Selain menggambarkan gentingnya urusan mengawal Makuțārama, kehadirannya juga dipicu oleh niat Wibisana dan Umbakarna yang menjadikan momen tersebut sebagai sarana mencapai moksa.

Wibisana, penasehat Rama itu, gagal moksa karena darmanya. Begitu juga dengan Raksasa Umbakarna. Untuk mencapai jalan kesempurnaan, keduanya harus menjalani karmanya, melebur-hanguskan hal-ihwal duniawi, dengan cara diserap oleh orang-orang terpilih dari zaman yang sedang bergerak. Wibisana dikalahkan dan diserap oleh Arjuna, sementara Umbakarna diserap dan disucikan oleh Werkudara. Secara zahir mereka berperang, secara spiritual mereka saling berasimilasi.

Tetap saja, konflik yang sebenarnya adalah pertarungan antara Karna, utusan Kurawa, dengan Arjuna yang mewakili Pandhawa. Inilah latar Mahabharata yang tak bisa ditangguhkan. Keduanya berjuang hidup-mati untuk mendapatkan Wahyu Makuțārama. Karna sebenarnya telah sampai lebih dahulu di Petapaan Kesawasidhi. Meski begitu, Hanoman menghambatnya. Mereka bertarung, sehingga Karna kehilangan pusakanya, wijayandanu.

Sementara Arjuna yang datang kemudian, diuji langsung oleh Begawan Kesawasidhi sendiri. Ia dihadiahi pusaka wijayandanu milik Karna. Arjuna berteguh hati, dan menolaknya. Karena bukan itu tujuan laku hidupnya. Dan di momen inilah, justru ia mendapat wejangan langsung dari sang Pandhita. Pembabaran berlangsung, Wahyu Makuțārama sesungguhnya adalah ajaran suci hasța-brāta yang harus dikuasainya untuk menciptakan kesentosaan tertinggi. Itulah wahyu untuk para raja yang berkehendak untuk mencapai kesempurnaan, memayu hayuning bawana.

Hasța-brāta adalah kehendak yang bulat untuk mampu menyerap dan mengejawantahkan sifat-sifat kedewataan. Seorang harus mampu menyerap dan menjelmakan sifat bhatara Wisnu (bantala), membagi kasih dan kehidupan; menjelmakan sifat bhatara Bayu (maruta), berada di mana-mana tanpa pandang bulu; menjelmakan sifat bhatara Baruna (samodra), yang berpengetahuan luas sehingga menampung semuanya; menjelmakan sifat bhatara Ratih (candra), sehingga menjadi pepadang di saat kegelapan melanda.

Seorang raja terutama harus mampu menyerap dan menjelmakan sifat bhatara Surya, yang menyinari semua; menjelmakan sifat bhatara Indra (akasa), yang menaungi tanpa pilih kasih; menjelmakan sifat bhatara Ismaya (kartika), sehingga menjadi pegangan dan petunjuk di saat banyak orang kehilangan arah. Meski begitu, seorang raja juga harus menjelmakan sifat bhatara Brahma (dahana), tegas-berwibawa sehingga menciptakan kesentosaan dan keadilan.

Setelah pembabaran selesai, tersingkaplah rahasia bahwa Begawan Kesawasidhi sejatinya adalah Kresna yang sedang menyamar. Seperti halnya Rama, Kresna sesungguhnya adalah perwujudan Wisnu. Dan karena itu, hidupnya bisa menjadi sarana bagi misi kadewataan. 

Asimilasi-Historis

Kisah di atas boleh disebut fiktif, boleh pula ditetapkan sebagai mitos. Tapi jangan pernah salah, itulah alam pikiran orang Jawa. Di semua lapisannya, kisah itu mewakili pandangan hidup dan kesadaran subyek Jawa, terutama terkait dengan bagaimana hukum kehidupan di insyafi, lalu dijadikan sebagai pijakan etika tertinggi dalam memposisikan diri, menjadi bagian dinamis dari cara kerja hukum tersebut.

Maka tidak perlu terkejut, sebagian subyek Jawa memang mempercayai bahwa kisah Makuțārama itu bersifat historis, benar-benar terjadi di masa lalu, dari suatu episode sejarah yang tidak penting kapannya. Lebih dari itu, kisah tersebut juga bersifat historis karena dipahami sebagai hukum kehidupan dengan siklus keberulangannya. Dengan begitu, turunnya Wahyu Makuțārama bukan hanya bersifat historis karena terjadi di masa lalu, tetapi juga historis karena pasti akan berulang di masa depan.

Pendek kata, wahyu selalu dalam lanskap kesejarahan manusia. Ada masanya menguap, ada siklusnya menitis. Menguap sekalipun, wahyu tidak akan kemana-mana kecuali tetap berada dalam cosmic kehidupan manusia. Pandangan demikian ini tidak bisa dilepaskan dari dua poros keimanan orang Jawa atas kehidupan. Pertama, kehidupan diimani sebagai kenyataan yang berputar, bahkan berulang, karena memang tidak ada apapun yang statis.

Alam pikiran Jawa mengimani bahwa hidup bersifat anyakra manggilingan, berubah, berputar, dalam suatu siklus keabadian. Prinsip ini juga berlaku bagi poros kedua, yakni keyakinan orang Jawa atas datangnya masa gelap dalam siklus tersebut. Disebut zaman Kaliyuga untuk menggambarkan kemerosotan moral-intelektual manusia, yang diikuti dengan kemerosotan semua sendi kehidupan.

Dalam pandangan hidup orang Jawa, krisis bersifat total, salah satunya karena manusia tidak lagi terhubung. Tidak menghayati keterhubungannya dengan berbagai kekuatan yang melingkupinya. Manusia menyangkal kewajiban asalinya, bersikap aktif dalam hukum memayu hayuning bawana. Menyangkal darmanya untuk menjadi bagian dari kesentosaan universal. Bagi orang Jawa, ini adalah titik moral terendah, karena itu disebut sebagai zaman gelap.

Kaliyuga bisa berbungkus zahir apa saja. Mulai dari peperangan, krisis ekonomi dan kelaparan, eksploitasi dan penindasan. Apapun itu, semua dianggap berpangkal pada cara hidup yang mengabaikan keterhubungan dan kewajiban asali manusia. Dalam siklus seperti ini, kegelapan digambarkan sebagai hidup yang telah kehilangan ‘pancaran sinar’ wahyu. Siklus ini harus tetap dilalui, dan menariknya, alam pikiran Jawa mendedahkan, orang tidak boleh kehilangan harapan.

Itulah iman, gerak dinamis pikiran Jawa, yang mendasari lahirnya pandangan tentang keberadaan Ratu Adil (the Just King). Suatu konsep yang sangat absurd karena memang dibuat demikian. Ratu Adil bisa jadi bukan kehadiran tokoh, tetapi keadaan, yang memberi syarat hilangnya (tambar) masa Kaliyuga.  Meski begitu, pikiran Jawa juga tidak menyangkal kehadiran tokoh-tokoh yang bisa mempercepat pulihnya keadaan. Prinsip dasarnya, orang Jawa tidak menunggu, tapi menyiapkan keadaan.  

Persis di posisi inilah, turunnya Wahyu Makuțārama mendapat pengertian yang memadai. Ia menggambarkan keadaan, tetapi sekaligus gerak dinamis subyek. Saat zaman Kaliyuga datang, pikiran Jawa menyalakan harapan akan kembalinya moral tertinggi, yaitu kewajiban asali manusia dalam mewujudkan kesentosaan universal. Wahyu, dengan begitu, selalu berada dalam lanskap sejarah, tetapi juga teguh dalam cosmic manusia.

Itulah alasan mengapa alegorisme ini benar, “di Jawa, wahyu bisa bergelantungan di angkasa.” Menunggu diunduh oleh subyek-subyek yang menyiapkan dirinya. Ajaran kuno apapun, akan selalu mendapatkan siklusnya untuk mengada kembali. Mendapatkan penyegaran sekadarnya di zaman yang berbeda. Hanya bila, ada subyek yang menempa diri sehingga layak mencecapnya. []

bersambung

Terpopuler

Harimau Jawa, Riwayatmu Kini!

Harimau Jawa (Panthera tigris sondaicus) telah lama dinyatakan punah, namun jejaknya tetap hidup...

Penyihir dan Kontrol atas Tubuh Perempuan

Perempuan sakti di beberapa budaya dicitrakan negatif dalam politik ingatan. Mereka digambarkan...

Kemerosotan Tayub

Tayub merupakan tarian Jawa yang kontroversial karena nuansa erotik dan ritual mistisnya. Melalui...

Waranggana

Waranggana merupakan simbol perempuan Jawa yang kuat dan mandiri, berperan penting dalam ekonomi dan...

Desa Proyek Kolonial?

Desa di Jawa yang kita kenal saat ini merupakan hasil proyek kolonial yang melembagakan struktur...

Integrasi Kurikulum Nasional di Pesantren

Proses Integrasi kurikulum nasional di pesantren Indonesia dan Thailand Selatan mencerminkan dua...

Ragam Messianisme Di Indonesia

Messianisme di Indonesia mencerminkan keragaman budaya dan sejarah masyarakat yang meliputi...

Bakung 1967-1968: Potret Kelam Perang Pangan

Bakung 1967-1968 menggambarkan konflik antara Orde Baru (Orba) dan PKI yang menggunakan pangan...

Dukun Manten di Jawa

Dukun pengantin dalam tradisi pernikahan Jawa memainkan peran penting sebagai pembimbing spiritual...