Wahyu

Wahyu dalam tradisi Jawa melampaui makna literalnya, menjadi simbol kedalaman spiritual dan kebijaksanaan. Tidak terbatas pada pesan profetik, wahyu adalah petunjuk ilahi yang dapat diraih oleh siapa saja yang menyiapkan diri secara mental dan spiritual, seperti Arjuna dalam lakon Makuțārama.

Orang Jawa punya kemerdekaan untuk memaknai istilah wahyu. Membuatnya tidak lagi setia dengan makna aslinya. Tidak peduli, secara diakronik istilah itu diserap dari Arab sekalipun, saat ia sudah dilafalkan oleh subyek Jawa, maka istilah itu akan diberi muatan makna yang melesat jauh dari aslinya.

Selain subyek Jawa memiliki otonomi mengolah makna dan menyelaraskan dengan situasi mental-intelektualnya, istilah-istilah yang diserap secara bebas dari bahasa apapun, lalu memiliki kemerdekaan maknanya sendiri. Di Jawa, ‘wahyu’ tidak harus ada hubungannya dengan pesan-pesan profetik, dan apalagi hanya secara eksklusif diterima oleh seorang Nabi atau Rasul.

‘Wahyu’ diartikan sebagai petunjuk atau firman Tuhan kepada Nabi dan Rasul, merupakan pembakuan dalam bahasa Indonesia, dengan segenap kedangkalan-pendangkalannya. Bahkan, tradisi Arab pun tidak memaknai istilah tersebut dengan cara sepragmatis itu. Kita semua perlu mencari tahu, bagaimana proses pendangkalan tersebut bisa terjadi dalam bahasa Indonesia.

Beruntung karena penggunaan istilah ‘wahyu’ dalam bahasa Jawa, masih bertahan sebagai kekayaan linguistik, dengan sedikit distorsi akibat pengaruh bahasa Indonesia. Salah satu yang membuatnya masih lestari, karena percakapan harian dan proses pengawetan melalui lakon pewayangan. Ada banyak lakon wayang menggunakan konsep ‘wahyu,’ tetapi salah satu yang paling populer adalah Makuțārama.

Wahyu, Kawruh

Sejauh merujuk lakon-lakon pewayangan, penggunaan istilah wahyu memiliki spektrum makna yang kaya. Dan, makna-makna itu bisa bersifat ambivalen, bahkan saling berlawanan antara satu dan lainnya. Bila menghadirkan Makuțārama saja sebagai contohnya, maka segera kita akan mendapatkan spektrum yang kaya itu, sekaligus ambivalensinya.

Semua pecinta wayang memahami bahwa, Makuțārama merupakan lakon carangan yang hampir semua dalang pernah memainkannya. Dikaitkan dengan ajaran asța-brāta yang wajib dimiliki oleh para raja. Seperti namanya, pada awalnya wahyu ini berwujud ‘mahkota’ yang dikaitkan dengan bhātara Rama. Sebagaimana wangsit yang diterima oleh Doryudhāna, raja Hastina, seorang raja akan menjadi sakti tanpa tandingan, bila memiliki ‘wahyu’ itu.

Sayangnya, Doryudhāna tidak mau memperjuangkannya sendiri. Sebaliknya, ia mengirm Karna untuk menjemput wahyu itu. Pada saat bersamaan ada Arjuna yang telah terlebih dahulu menempa diri, hidup berpantang, untuk menyambut turunnya ‘wahyu’ tersebut. Karna—saudara Pandawa itu, selain salah sangka, mengira bahwa Makuțārama adalah sebuah senjata, ia juga tidak berhak karena kualitas spiritual yang tidak setimpal.

Perjalanan Karna berujung sia-sia. Hanya batu sandungan dan kekalahan yang harus dia hadapi. Sebaliknya, Arjuna yang meng-gembleng dirinya sendiri, telah dalam kondisi mental-spiritual yang siap untuk mendapatkan ‘wahyu’ itu. Ia diwejang langsung oleh Begawan Kesawasidhi. Rupanya, Makuțārama bukanlah mahkota apalagi senjata, tetapi ajaran budi luhur yang menjadikan raja bisa mencapai kemenunggalan dengan abdinya, manunggaling kawula-Gusti.

Keseluruhan alur cerita Makuțārama, menjadi jendela penting betapa istilah ‘wahyu’ memiliki makna yang begitu jamak dalam kognisi orang Jawa. Dalam nuansa spiritual, kata tersebut bisa tekonotasi dengan makna tangible, sepeti mahkota (crown), senjata (weapon); tetapi tentu saja jauh lebih dominan makna intangible-nya, seperti senjata gaib (mystical weapon), nugraha (boon); dan kawruh (teaching) (Cohen, 2016).  

Terlepas bahwa pada akhirnya Makuțārama identik ilmu kawruh, yang hanya bisa dicecap oleh pribadi yang menyiapkan diri seperti Arjuna, akan tetapi ini tidak mengubah horizon makna ‘wahyu’ seperti bisa diserap dari kognisi orang Jawa. Selain bercorak tangible-intangble, konsep tersebut juga mengandaikan adanya faktisitas (Geworfenheit), suatu eksistensi subyek yang ‘terlempar ke dunia.’

Laku hidup yang aktif-terarah, menyambut ketakberhinggaan kenyataan. Di Jawa, ‘wahyu’ mengandaikan adanya transendensi, tetapi sekaligus sikap aktif subyek. Wahyu bisa terkonotasi pada kata benda, keadaan, tetapi juga kata kerja. Seluas itu horizon penggunaan istilah tersebut dalam kognisi orang Jawa. Sudah pasti tidak mungkin disimplifikasi begitu saja menjadi kata benda seperti ditemukan dalam bahasa Indonesia.

Luasnya Parole

Kekayaan tersebut masih diperluas lagi oleh penggunaan kerata basa dalam tradisi parole orang Jawa. Kerata basa atau jarwa doshok merupakan akronim yang dikaitkan dengan asal-usul ungkapan atau kata (tembung) yang bersifat acak dan arbitrer, sehingga melahirkan kesan cocokologi. Apapun, ini merupakan aspek yang membuat bahasa Jawa menjadi sangat tak menentu dan selalu bisa diperluas horizon maknanya, pada setiap ungkapan (parole).

Kerata basa digunakan dalam semua konsep. Ada banyak yang sangat populer, sehingga berubah menjadi memiliki makna semiotis yang lazim. Misalnya, pada ungkapan cengkir, sebagai ‘akronim’ dari kencengé pikir; pada ungkapan gedhang, sebagai ‘digeget bar madhang,’ tetapi juga ‘digeget ben padhang.’ Dalam konteks ini, makna ungkapan memang menjadi semakin arbitrer dan tidak menentu. Tetapi justru itulah yang memperkaya bahasa Jawa.

Soal kerata basa wahyu, saya pertama kali mendapatkannya dari seorang sahabat dalang, Ki Jliteng Sukono, yang tidak lain adalah, ‘wohing rahayu.’ Wohing artinya buah atau berbuah, Rahayu berarti keadaan atau situasi mental-intelektual subyek yang bahagia, sempurna, dan dinaungi oleh ketuhanan. Menurut kerata basa tersebut, wahyu tidak lain adalah buah yang diunduh atau dicecap oleh jiwa yang sentosa karena mengenali hakikat dirinya.

Meski beranjak dari keacakan kerata basa, toh maknanya tetap tidak bergeser dari situasi mental-intelektual subyek yang siap mencecap nugraha (boon) dan kawruh (teaching) seperti yang disebut oleh Matthew Isaac Cohen dalam Makutharama: Rama’s Crown and the Grand Offering of the Kings (2016) di atas. Persis di posisi ini, kerata basa tidak bisa direduksi sekadar sebagai cocokologi semata.

Melampaui persoalan bahasa tersebut, sudah sangat meyakinkan bahwa dalam kognisi orang Jawa, konsep ‘wahyu’ memang bersifat Ilahiyah tetapi sekaligus personal; nugraha tetapi sekaligus mengandaikan kesiapan mental-intelektual subyek yang menghendakinya. Suatu spektrum pemahaman bisa jadi tidak bisa lagi diperbandingkan dengan istilah aslinya dalam bahasa Arab. Terutama tidak mungkin diperbandingkan dengan pembakuan makna dalam bahasa Indonesia.

Ilmu Rahasia

Menyelami spektrum makna ‘wahyu’ dalam bahasa Jawa, memudahkan bagi kita untuk memahami mengapa konsep tersebut selalu digunakan dalam kaitan total dengan kehendak subyek untuk selaras dengan hukum alam (memayu hayuning bawana). Selain bernuansa spiritual (sufistik), ungkapan ‘wahyu’ juga mengandaikan aspek kesadaran dan ‘kebebasan’ subyek, dan itulah mengapa dalam dirinya sendiri, ia bermakna inklusif.   

Bila dikaitkan dengan makna kawruh, maka siapapun bisa mencecapnya dengan syarat-syarat yang sejalan dengan hukum keselarasan Semesta. Meski tampak normatif, tetapi bagian inilah yang melahirkan semacam garis batas antara tradisi spiritual (mistisisme-sufisme) orang Jawa dengan tradisi agama-agama dunia (world religion) yang juga sama-sama hidup di Jawa.

Niels Mulder (1970) pernah menyatakan garis batas itu dalam hal ihwal ‘wahyu’ atau ilmu kawruh yang dihayati oleh para spiritualis-mistikus-sufis Jawa. Kesadaran kognitif orang Jawa menyatakan bahwa subyek bisa menerima langsung pesan dari Tuhan, tanpa perantara apapun, seperti seorang anak yang mendapat wejangan langsung dari sumber ‘kebenaran’. Tentu saja, faktisitas demikian hanya berlaku bila, subyek mengasah rasa-jiwanya untuk mencecap pengalaman tersebut.

Sebaliknya, dalam tradisi agama-agama dunia atau agama-agama Abrahamik, wahyu dalam pengertian pesan atau kalam, yang rahasia, cepat, langsung, hanya mungkin melalui perantara. Ada banyak konseptualisasi dan penyebutan tentang perantara, akan tetapi prinsipnya tetap sama, wahyu bersifat eksklusif, hanya diterima secara eksklusif oleh manusia terpilih, dan tidak mengandaikan adanya ‘kebebasan’ subyek.

Di Jawa, ‘wahyu’ tidak berjarak dengan hakikat subyek. Ia digambarkan sebagai samudera minangkalbu, yang tidak lain adalah kedalaman cosmic manusia. Siapa menyelaminya—dan itu tidak mudah karena mengandaikan olah rasa sepanjang hayat—bakal mencecapnya. []

Terpopuler

Dukun Manten di Jawa

Dukun pengantin dalam tradisi pernikahan Jawa memainkan peran penting sebagai pembimbing spiritual...

Makuțārama

Wahyu Makuțārama merepresentasikan cara pandang orang Jawa terhadap kehidupan yang dinamis, menyatu...

Diponegoro dan Identitas Nasionalisme

Pangeran Diponegoro memimpin Perang Jawa (1825–1830) melawan penjajahan Belanda, membangkitkan...

Tantangan Membumikan Pancasila

Pancasila menghadapi tantangan implementasi dari komunalisme, konflik internal dalam Islam, dan...

Wahyu

Wahyu dalam tradisi Jawa melampaui makna literalnya, menjadi simbol kedalaman spiritual dan...

Sufisme Jawa dalam Serat Centhini

Soebardi dalam “Santri-Religious Elements As Reflected In The Book Of Tjëntini” (1971) mengungkap...

Praktik dan Motif Jilbab Pasca Orde Baru

Jilbab dipandang sebagai simbol kesalehan universal yang mencerminkan keterlibatan Islam dalam...

Ular dalam Kosmologi Orang Jawa

Dulu, masyarakat Jawa menganggap ular dari bagian dari kosmik kehidupannya. Seperti lahirnya...

Pesindhen: Nuansa Estetika-Erotik Jawa

Di Jawa tak ada perbedaan antara kenikmatan estetik dan erotik. Hal ini direpresentasikan oleh...