Negara berkembang menghadapi tantangan lebih rumit dibandingkan negara maju sepanjang proses pembangunan ekonomi pasca perang. Lebih dari itu, menerapkan model “proses ekonomi” yang digunakan di negara maju seringkali tidak relevan dengan realitas di negara berkembang. Untuk memahami dan mengatasi kesenjangan ini, beberapa ekonom seperti J.H. Boeke menawarkan teori dualisme sosial-ekonomi sebagai upaya menjelaskan dinamika dan tantangan yang dihadapi.
Namun, teori Boeke tidak luput dari kritik. Akademisi seperti D.H. Burger dan Benjamin Higgins menilai bahwa pendekatan ini mengabaikan konteks pascakolonial, tidak menawarkan solusi konkret, dan terlalu statis ketika memahami dinamika perubahan sosial-ekonomi di kawasan negara berkembang. Mereka menekankan bahwa sepanjang proses bertransisi, negara-negara berkembang menghadapi realitas yang lebih kompleks, sehingga perubahan ekonomi tidak bisa dipandang sebagai dualisme yang kaku.
Yoichi Itagaki membingkai perdebatan tersebut dalam karyanya berjudul “Some Notes on The Controversy Concerning Boeke’s ‘Dualistic Theory’: Implications for The Theory of Economic Development in Underdeveloped Countries” . Karya ini diterbitkan dalam Hitotsubashi Journal of Economics, Vol. 1, No. 1 (October 1960), halaman 13-28 (16 halaman). Diterbitkan oleh Hitotsubashi University, salah satu institusi akademik terkemuka di Jepang yang dikenal karena kontribusinya pada bidang ekonomi dan ilmu sosial.
Struktur Teori Dualisme Boeke
Inti dari teori Boeke adalah gagasannya tentang dualisme sebagai pendekatan khusus untuk memahami karakteristik sosial dan ekonomi di Asia Tenggara. Awalnya, teori dualismenya disebut sebagai Tropisch-Koloniale Staathuishoudkunde (Ekonomi Negara Tropis-Kolonial), kemudian berkembang menjadi Oosterse Economie (Ekonomi Timur). Teori ini bertujuan untuk menjelaskan mengapa ekonomi di kawasan tersebut cenderung mengalami stagnasi, bahkan kemunduran serta mengapa pola pembangunan di negara berkembang tidak dapat disamakan dengan negara maju.
Dalam uraiannya, Boeke melihat bahwa masyarakat di kawasan Asia Tenggara—khususnya Hindia Belanda, yang ia jadikan sampel—memiliki dua sistem berbeda, yakni sistem modern dan tradisional, yang masing-masing terepresentasi oleh kehidupan kota dan desa. Kedua sistem tadi eksis secara bersamaan, membentuk apa yang dikenal sebagai “masyarakat dualistik.” Pada struktur ini, sistem asli masyarakat tetap bertahan di tengah arus perubahan yang dibawa oleh sistem baru. Namun, keduanya berkembang secara terpisah karena tidak ada proses transisi yang jelas dari satu sistem ke sistem lainnya.
Seperti dalam amatannya terhadap desa di Hindia Belanda, desa tidak hanya sekedar tempat tinggal fisik melainkan suatu organisme hidup (living organism). Anggota masyarakat desa umumnya saling terhubung melalui ikatan sosial yang kuat. Aktivitas mereka lebih didorong oleh kepentingan bersama dibandingkan dengan kepentingan pribadi. Selain itu, agama dan spiritualitas memainkan peran sentral dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, masing-masing dapat membentuk identitas dan kesatuan sosial mereka.
Terlebih, desa juga memiliki sistem pertukaran ekonomi mereka sendiri. Tanah, misalnya, merupakan faktor produksi utama ekonomi desa. Akibatnya, apabila terjadi pembagian tanah, lahan pertanian menjadi sangat terbatas. Sedangkan peredaran uang di desa lebih berfungsi sebagai alat pertukaran lokal (money traffic), alih-alih menjadi alat akumulasi modal. Pasar desa pun berfungsi sebagai tempat interaksi sosial daripada lembaga ekonomi. Jika disederhanakan, pola ekonominya cenderung bersifat subsisten, dengan produksi lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar daripada untuk mencari profit seperti pasar global.
Sementara, wajah modernitas kota sebatas sebagai pusat kekuasaan pemerintahan dan konsumsi. Selain berfungsi sebagai pemungut pajak, kota tidak memiliki interaksi ekonomi yang saling menguntungkan dengan desa-desa. Kota lebih banyak mengeksploitasi desa sebagai sumber pendapatan, tanpa memberikan manfaat yang setara bagi perkembangan ekonomi pedesaan. Akibatnya, desa tetap terisolasi dalam sistem ekonomi tradisional, dengan akses terbatas terhadap teknologi, infrastruktur, dan berbagai barang industri yang dapat meningkatkan produktivitas. Kota yang seharusnya berperan sebagai pusat distribusi dan inovasi justru memperkuat kesenjangan dengan desa.
Dengan kata lain, kedatangan sistem kapitalisme Barat atau sosial impor (Imported Social System) telah menindas sistem Sosial Asli (Indigenous Social System) yang bersifat agraris dengan struktur ekonomi pra-kapitalistik untuk memenuhi keuntungan produksi pasar global. Perbedaan mendasar ini menciptakan ketegangan antara nilai-nilai tradisional dan modern yang sulit untuk disatukan dalam satu sistem ekonomi yang harmonis. Berbeda dengan masyarakat homogen yang mengalami perubahan sosial secara bertahap, masyarakat yang mengalami dualisme ini terjebak dalam ketidakseimbangan antara dua sistem yang saling bertentangan, tanpa ada integrasi yang jelas di antara keduanya.
Kritik Para Ahli
Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, teori Boeke tidak luput dari kritik sejumlah ahli. Salah satu kritik datang dari Burger, yang menilai bahwa Boeke keliru dalam menafsirkan konsep pra-kapitalisme milik Sombart. Menurut Burger, Sombart tidak memandang pra-kapitalisme sebagai sebuah sistem yang tetap, melainkan sebagai suatu periode dalam perkembangan ekonomi. Di sisi lain, Higgins menolak klaim Boeke yang menyatakan bahwa dualisme merupakan fenomena khas Timur. Menurutnya, dualisme juga dapat ditemukan di Barat. Ia berargumen bahwa dualisme seharusnya dipahami sebagai suatu spektrum kontinu, bukan pemisahan yang kaku antara sistem tradisional dan modern.
Sebenarnya, masih banyak kritik yang dilontarkan oleh kedua ahli tersebut, namun yang paling mendasar adalah kritik mereka terhadap Boeke yang tidak tepat melihat masyarakat dualistiknya dalam konteks kolonialisme. Meskipun teorinya Tropisch-Koloniale Staathuishoudkunde (Ekonomi Politik Kolonial Tropis) menggunakan istilah “kolonial” (koloniale), istilah ini tidak menunjukkan bahwa ia secara eksplisit memperhitungkan kolonialisme sebagai faktor utama yang membentuk dualisme dalam analisisnya. Ia lebih fokus pada deskripsi dualisme antara sistem pra-kapitalistik dan kapitalistik tanpa mendalami dampak struktural dari kolonialisme.
Sebagaimana dikemukakan Higgins, Boeke tampak lebih menekankan pada deskripsi dualisme sebagai fenomena internal dan karakteristiknya muncul secara alami dalam struktur sosial-ekonomi masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada perbedaan antara sistem tradisional dan modern dalam masyarakat tanpa cukup memperhitungkan pengaruh eksternal, seperti kolonialisme, yang berperan penting menciptakan dan memperdalam dualisme ini. Dengan pandangannya, Boeke cenderung melihat dualisme sebagai sesuatu yang melekat pada dinamika sosial, padahal banyak aspek sosial-ekonomi yang sebenarnya dipengaruhi oleh struktur kolonial yang mengatur hubungan antara desa dan kota, serta antara tradisi dan modernitas.
Pandangan yang kurang mempertimbangkan faktor eksternal ini masih menyisakan pertanyaan tentang pendekatan yang tepat dalam memahami dan mengatasi tantangan pembangunan ekonomi di negara berkembang. Selain menguatkan kritik terhadap Boeke yang mengabaikan konteks kolonial, ada persoalan mendasar yang perlu dikaji lebih lanjut: bagaimana merumuskan strategi pembangunan bagi negara berkembang yang tidak hanya menghadapi tantangan ekonomi, tetapi juga persoalan sosial yang kompleks? Lebih jauh, bagaimana negara dapat berperan sebagai motor penggerak pembangunan tanpa terjebak dalam dominasi struktural yang justru memperkuat ketimpangan?
Berdasarkan konteks ini, meskipun penelitian dan pengamatan lapangan Boeke di Hindia Belanda tergolong lama, yakni berlangsung antara 1910-an hingga 1930-an, mengkritisi teori-teori pembangunan yang ada tetap relevan. Selain itu, diperlukan upaya untuk mencari pendekatan yang lebih inklusif dan berkeadilan, sehingga pembangunan ekonomi tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga membawa perubahan nyata bagi masyarakat luas.