Pembentukan Identitas Perempuan Islam Jawa

Kurniawati Hastuti Dewi dalam Javanese Women and Islam: Identity Formation since the Twentieth Century (2012), menyebut Islam kekuatan transformatif bagi pergeseran identitas perempuan Jawa, terutama terkait dengan pada peran dan statusnya. Identitas Perempuan pada mulanya berbasis budaya, lalu beralih menjadi berbasis religio-kultural. Pergolakan ini berlangsung sejak akhirabad ke-16 M, dan menemukan bentuk konservatifnya hingga abad ke-21 M saat ini.

Islam mengambil peran dalam perubahan identitas perempuan Jawa. Identitas mulanya berbasis budaya, lalu beralih menjadi berbasis religio-kultural. Melalui Javanese Women and Islam: Identity Formation since the Twentieth Century (2012), Kurniawati Hastuti Dewi memecah tahapan pembentukan identitas perempuan Jawa menjadi empat fase dengan menunjukkan peran yang dimainkan Islam.

Islam memberikan kekuatan transformatif bagi pergeseran identitas perempuan Jawa, terutama terkait dengan  peran dan statusnya. Islam disini terbagi atas sifat pemikiran dan praktik kesehariannya. Pada dasarnya sifat pemikiran dan praktik Islam, sebagai kekuatan pembentukan identitas perempuan Jawa, mempengaruhi periode sejarah yang berbeda.

Membangun Identitas sebagai Muslimah Jawa

Islamisasi Jawa membawa dampak signifikan pada kehidupan masyarakat Jawa. Islam masuk dan menyebar di pulau Jawa melibatkan kontestasi sinkretisme antara aristokat Jawa Mataram dengan Islam ortodoks dari penguasa pesisi timur laut (Jay: 1963). Penetrasi Islam ke Jawa membawa konsekuensi pada kehidupan elit kerajaan. Pengadopsian prinsip-prinsip Islam dan budaya Jawa marak terjadi dari gaya busana sampai relasi ideal laki-laki dan perempuan.

Persinggungan awal Islam dengan kehidupan perempuan Jawa dimulai dengan ketegangan. Nyatanya kemunculan Islam bukan kabar baik bagi mereka. Terutama bagi perempuan bangsawan Jawa, yang di peradaban Hindu mendapat status unggulan dan peran yang kuat baik dalam keluarga maupun masyarakat. Perempuan bangsawan Jawa harus menyesuaikan diri dengan norma Islam. Pengadopsian tersebut secara gamblang terlihat pada penggunaan jilbab atau kerudung. Meskipun pengadopsian gaya busana ini belum berkembang luas di Jawa pada abad ke-16 M sampai abad ke-19 M. Khususnya di kalangan perempuan bangsawan Jawa karena masih terlihat menggunakan pakaian tradisional Jawa-kemben.

Kondisi sosial politik di masa tersebut juga tidak mendukung intensitas perempuan Jawa pada adaptasi norma dan prinsip Islam. Salah satunya karena adanya sistem tanam paksa. Di bawah kekuasaan kolonialisme seluruh masyarakat diwajibkan menjadi pekerja paksa untuk melayani kemakmuran ekonomi Kerajaan Belanda. Masa ini membawa masyarakat mengalami kemiskinan parah, kelaparan, penyebaran wabah penyakit, dan sebagainya. Kerasnya kehidupan petani Jawa akibat eksploitasi pemerintah kolonial dan bangsawan Jawa membuat perempuan Jawa alih-alih memperhatikan gaya berbusana, justru memilih untuk memikirkan cara bertahan hidup.

Sedangkan kalangan perempuan bangsawan Jawa lebih memilih mempertahankan eksistensinya di tengah kemrosotan moral para bangsawan Jawa. Setelah berakhirnya kekuasaan laki-laki Jawa Pascaperang Diponegoro pada 1830, elit laki-laki kerajaan menunjukkan suara dominan mereka melalui tulisan sastra. Misalnya, tulisan Piwulang Estri yang memberikan narasi istri ideal bagi perempuan elit Jawa sebagai istri (pendamping) yang baik dan sempurna serta tunduk pada otoritas suara lakilaki termasuk keinginan untuk berpoligami. Tidak hanya itu, perempuan bangsawan Jawa juga bergelut dengan budaya pingitan.

Upaya perempuan bangsawan Jawa melawan otoritas adat Jawa tidak terbantu dengan kemunculan Islam. Islam justru menambah tumpukan pekerjaan yang harus diselesaikan. Misalnya, Islam memperkuat relasi ideal laki-laki dan perempuan dimana perempuan tidak memiliki kuasa atas dirinya termasuk ketika mendapat kekerasan dari suaminya. Seperti dalam Serat Murtasiyah, sebuah puisi bergenre santri Islam. Ketimpangan relasi ini diperkuat dengan narasi wanita shaleh (Islam) yang diwajibkan menunjukkan pengabdiannya di rumah dan menjaga kesucian dan martabat mereka. Islam sinkretis pada masa ini rasanya bukan untuk membebaskan perempuan Jawa. Sebab, nampaknya peran Islam lebih pada menghambat daripada membebaskan. Pembentukan identitas pada konteks ini adalah identitas yang “didefinisikan oleh otoritas”. Perempuan bangsawan Jawa menerima nilai, norma, dan narasi ideal Islam karena dipaksa oleh otoritas kuasa pada masa itu.

Kesadaran Pengungkapan Identitas

Setelah melewati fase pembentukan identitas oleh otoritas yang berkuasa, kebangkitan emansipasi perempuan di tanah Jawa mulai muncul ke permukaan yang didahului oleh gerakan untuk mendidik perempuan. Kartini mengantar kesadaran perempuan pada urgensi pendidikan terhadap kemajuan perempuan. Semangatnya mengilhami aktivitas publik perempuan. Dalam asosiasi perempuan, misalnya Putri Mahardika, penerbitan majalah disediakan sebagai ruang aman bagi perempuan dalam menyuarakan pikirannya sebagai warga negara yang sama demi pembangunan bangsa. Terlebih pada saat itu, semangat nasionalisme juga mewarnai gerakan-gerakan nasional.

Meskipun demikian, kemajuan perempuan di Jawa masih dibatasi dengan konsepkonsep diskriminasi baik dari agama maupun adat dan budaya. Upaya perempuan untuk mencapai kemajuan di ruang publik harus sejalan dengan kodrat dan fitrahnya. Konsep kodrat berakar pada konstruksi budaya. Kodrat menunjukkan batas-batas kepantasan perempuan berdasarkan struktur biologisnya semata: hamil, melahirkan, dan menyusui (Nasaruddin Umar: 1999). Sedangkan fitrah lebih mengacu pada norma dan prinsip Islam.

Pada fase ini kebangkitan emansipasi perempuan dan semangat nasionalisme bersamaan dengan aktifnya gerakan reformis Islam. Misalnya, konsep yang diusung Majalah Islam Raja, yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, menampilkan prototipe ‘istri yang Islami’ atau perempuan ideal sebagai ibu dan istri sebaik mungkin. Termasuk mempromosikan pengadopsian pemakaian kerudung sebagai gaya pakaian wanita muslimah, perempuan yang berada di rumah, dan sebagainya.

Faktanya penerimaan pengajaran Islam mulai ditemukan. Dalam lanskap lebih luas, santri di pedesaan dan perkotaan juga terlihat telah menggunakan pakaian yang identik dengan jilbab. Sedangkan beberapa wanita pedesaan melilitkan jilbab di leher mereka dan kelompok santri menggunakan jarit sebagai kain bawah untuk menutupi pinggul dan kaki, dan kebaya sebagai kain atas yang dipadukan dengan kudung, dan kaos kaki untuk menutupi kaki.

Intensitas ajaran dan penafsiran Islam sejak awal abad ke-20 M termasuk masalah jilbab, pendidikan dan poligami, mengarahkan kepada perubahan persepsi tentang status, hak, dan kewajiban identitas Perempuan Islam-Jawa modern. Meskipun diketahui banyak kritik terhadap praktik Islam di fase ini, seperti terhadap hak poligami dan perceraian, persinggungan langsung perempuan jawa dengan Islam rupanya berdampak pada kemunculan identitas baru.

Mengungkap Politik Identitas

Setelah fase sebelumnya bersamaan dengan ide Islam reformis, pada masa ini pergerakan Islam lebih progresif dan konservatif. Melalui fakta sejarah dan sosiologis Jawa (kesehatan, ekonomi dan pendidikan) memungkinkan perempuan Jawa memiliki kesempatan lebih baik untuk bersinggungan dengan ide-ide Islam progresif dan konservatif melalui pendidikan tinggi. Hal ini terbukti dari adanya fenomena adopsi jilbab. Manifestasi dari gerakan relogio-kultural tersebut terlihat pada gerakan pemakaian jilbab oleh kalangan pelajar SMA dan mahasiswa di perguruan tinggi di Jawa sebagai ekspresi politik identitas.

Menurut Kurniawati Hastuti Dewi, fenomena ini adalah konsekuensi dari kuatnya kontrol Soeharto terhadap perempuan Indonesia. Memasuki pertengahan abad ke20 M posisi perempuan sangat dipengaruhi oleh kuasa politik di zaman itu. Pemerintahan Orde Baru meluncurkan berbagai kebijakan guna mengkonsolidasi kekuasaan. Sampai akhirnya tahun 1973 muncul kebijakan peleburan partai politik
yang berdampak pada marginalisasi partai politik Islam. Partai politik Islam dibedakan dengan Partai Demokrasi Indonesia (Partai Nasionalis, Protestan dan Katolik). Sayangnya skenario tersebut justru membangkitkan Islam pro-demokrasi.

Soeharto, yang menyebut dirinya sebagai Bapak Pembangunan, melahirkan sebuah ideologi gender “ibuisme negara”. Ideologi dengan narasi yang mengharapkan pengabdian penuh dari semua perempuan Indonesia sebagai istri dan ibu dalam membangun bangsa. Dengan latar belakang Jawa patriarkisnya, Soeharto menunjukkan relasi suami sebagai yang aktif secara politik dan istri yang setia mendampingi. Narasi-narasi itulah yang membangkitkan perempuan muslim Jawa muda untuk mengadopsi jilbab secara kolektif sebagai perlawanan kebijakan keras Orde Baru.

Meskipun ditemukan konfrontasi-konfrontasi pemakaian jibab seperti adanya Surat Keputusan (SK) No. 052/C/ Kep/ D.82, yang mengatur tentang wajib seragam nasional bagi semua siswa sekolah. Kebangkitan Islam mengantarkan semangat perempuan muslim Jawa untuk mampu mengekspresikan identitas mereka sekaligus mengkonstruksi imajinasi menjadi perempuan Islam Jawa yang ideal.

Penggunaan jilbab pasca Orde Baru memiliki konteks yang berbeda dari masa sebelumnya. Seperti konteks pemakaian jilbab pada calon pemimpin perempuan. Beragam alasan bagi para calon pemimpin lokal dalam menggunakan jilbab. Misalnya untuk menarik massa atau sebagainya. Namun, yang perlu digarisbawahi, identitas jilbab dalam politik lokal menjadi sangat penting.

Islam mendukung adanya pemimpin dari kelompok perempuan. Kondisi ini mulai diperhatikan setelah Megawati Soekarnoputri mengumumkan pencalonan diri sebagai presiden Indonesia. Meskipun kondisi ini memicu banyak perdebatan dan narasi yang menyatakan tidak diperbolehkan presiden perempuan. Namun, dengan serangkaian forum diskusi dan musyawarah, kelompok Islam progresif akhirnya mendukung adanya pemimpin perempuan. Kebangkitan kepemimpinan perempuan dalam politik lokal tentu didukung oleh legitimasi Islam yang kuat.

Terlepas dari konteks penggunaan jilbab, pada fase ini juga terlihat adanya peningkatan aktivis dan intelektualitas perempuan. Isu-isu feminisme, perempuan, dan kesetaran gender dalam Islam menjadi perhatian. Kritik dan sanggahan terhadap peraturan yang timpang juga gencar dilakukan. Misalnya dalam UU Perkawinan 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Oleh karena itu, pada fase ini Islam telah memberikan landasan yang kuat bagi perempuan untuk turut menjawab tantangan zaman. Sifat pemikiran dan praktik Islam yang berbeda mempengaruhi periode sejarah berbeda adalah kekuatan pembentuk identitas perempuan Islam Jawa pada awal abad ke-20 M hingga ke-21 M. []