Perspektif Marxisme memandang priyayi lebih tepat sebagai kelas sosial daripada varian keagamaan. Proposisi ini menjadi landasan untuk melihat bagaimana pembelahan sosial dapat terjadi di masyarakat Jawa tidak selalu berbasis agama. Cara pandang Marxisme yang menekankan pada masalah ekonomi daripada agama lebih memungkinkan untuk melihat kategori sosial masyarakat Jawa di luar pengaruh keagamaan.
Rex Mortimer dalam “Class, social cleavage and communism” (1969), menggunakan paradigma Marxisme untuk memberikan pandangan baru soal varian priyayi. Ia mengatakan, jika agama kurang memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembelahan kelas sosial di Jawa, seperti tampak dalam kategori abangan dan santri. Justru ekonomilah yang menjadi pertimbangan utama orang Jawa dalam melihat kelas sosial. Pernyataan ini, sekaligus merupakan kritik kepada Geertz yang memandang priyayi sebagai “varian agama” daripada “kelas sosial.”
Dalam bukunya “The Religion of java” (1964) Geertz menyebut tiga domain keagamaan priyayi, yaitu etiket, kesenian, dan mistik. Etiket dikonotasikan pada perilaku keagamaan priyayi yang diterjemahkan dari konsep pengkastaan model Hindu, terkhusus etiket linguistik orang Jawa. Pemikiran ini ditunjukkan melalui pemilahan bahasa yang digunakan wong jowo (orang Jawa) untuk berdialog dengan orang lebih tua atau muda. Pemilahan ini, hampir sama dengan tingkatan kasta dalam tradisi Hindu, yaitu kasta Brahmana (cendekiawan, dan tokoh agama), Ksatria (prajurit dan penguasa), dan Sudra (pekerja kasar).
Selanjutnya, kesenian menjadi domain kedua setelah etiket. Kesenian priyayi ditunjukkan setelah adanya penyelarasan diri terhadap kasta yang dimiliki. Seperti kasta Brahmana dan Ksatria yang memiliki seni istana atau disebut seni alus (halus). Sedangkan kasta Sudra memiliki kesenian kasar, yaitu seni petani dan pekerjaan.
Andrew Beatty dalam “Varieties of Javanese Religion” (1999) menjelaskan adanya perilaku sosial orang Jawa yang dapat berkumpul dalam satu kegiatan bersama, yaitu slametan atau kenduri. Beatty melihat adanya peleburan sifat keagamaan antara abangan dan santri di Blambangan. Secara normatif, abangan dianggap sebagai varian agama yang memiliki ritual utama slametan. Secara faktual, ternyata ritual ini diikuti juga oleh varian agama lain, yaitu santri dan priyayi.
Menurutnya, abangan dan santri bukanlah dikotomi agama yang kontras, melainkan varian agama dengan ritual keagamaan yang sama. Tidak ada tabir pembatas antara mereka untuk mengekspresikan diri dalam satu forum yang sama. Hal ini menunjukkan tidak adanya batasan kaku atau dikotomi antara abangan dengan santri, seperti ditemukan dalam pemikiran Geertz. Perubahan persepsi ini memberikan simbol adanya keselarasan ritual antara abangan dan santri. Dalam pernyataan ini, secara tidak langsung Beatty memunculkan adanya kategori priyayi yang abangan dan priyayi yang santri.
Dengan begitu, priyayi bukanlah varian agama, melainkan kelompok sosialekonomi yang mayoritas beragama Islam. Ini seperti dinyatakan oleh Heather Sutherland bahwa priyayi memang bukan varian agama melainkan kelas sosial dan mayoritas priyayi di Jawa adalah santri. Shuterland menunjukkan pernyataan ini melalui catatan sejarah kerajaan-kerajaan kuno, seperti di Kudus, Tuban, dan Kendal. Pada masanya, priyayi didominasi oleh kaum santri yang menjadi pemimpin kerajaan. Menurutnya, di masa kolonialisme priyayi juga berperan sebagai perantara, karena posisinya sebagai pemimpin mereka mengabdi kepada pemerintahan kolonial Belanda, tetapi juga memerankan kepemimpinan moral kepada masyarakat bawah (pekerja kasar).
Secara tidak langsung, priyayi yang memainkan peran perantara tersebut, menyituasikan dirinya selalu dalam posisi antara, ia membedakan dirinya dengan orang-orang kecil tetapi sekaligus menyerap juga elitisme Eropa. Perilaku ini mengindikasikan bahwa priyayi memang bukan kategori agama. Gambaran yang diberikan Mortimer, Beatty, dan Shuterland tersebut menunjukkan adanya jarak yang sangat tebal antara kategori sosial-ekonomi priyayi dan kategori keagamaan santri dan abangan.
Lebih lanjut, kategori priyayi juga bersifat cair dan tidak pasti. Ditemukannya ritual slametan dan perwujudan perilaku priyayi di dalamnya mengindikasikan ketidakpastian posisi priyayi. Hal demikian membuat pernyataan Geertz semakin melemah. Karena pengkondisikan diri dan andil priyayi dalam ritual masyarakat, menyebabkan perilaku keagamaannya menjadi semakin samar.
Kacamata Marxisme juga secara tidak langsung memberikan penolakan terhadap varian agama yang menjadi dasar pembelahan kelas sosial. Sudut pandang ini lebih menekankan masalah ekonomi sebagai pembelahan sosial daripada agama. Kelas sosial akan lebih tampak seperti pembelahan kelas borjuis (pemiliki modal) dengan kelas proletar (pekerja). Dalam pembelahan ini, basic material (ekonomi) selalu
dikedepankan dalam pandangan masyarakat, tanpa melihat latar belakang agama yang dimilikinya.
Dengan begitu, argumen Geertz tentang tiga domain priyayi tidak lagi bisa dianggap sebagai perilaku keagamaan, melainkan implementasi kecondongan priyayi pada ritual agama tertentu. Meskipun perilaku yang ditunjukkan tidak sama antar-priyayi di berbagai daerah, fenomena priyayi meleburkan diri dalam masyarakat menjadi sebuah gejala sosial tersendiri. Gejala ini akan bersifat dinamis dan akan terus menghasilkan beragam ekspresi sosial keagamaan yang beragam.
Semua paparan ini menegaskan bahwa, penyebutan priyayi sebagai varian agama oleh Geertz, perlu dikoreksi lebih serius dalam kajian antropologi Islam Jawa di masa mendatang. Selain itu, pemilahan dan pemilihan paradigma untuk melihat priyayi ulang posisi sosial priyayi, juga akan memberikan wawasan yang lebih baik.[]