Pesindhen adalah sebutan bagi pelanggam gendhing Jawa. Nama yang selalu tersohor. Punya masa lalu panjang dalam sejarah estetika di Jawa. Namun, kini selalu hanya identik dengan nuansa erotika (Cooper, 2000).
Banyak yang menduga erotika pesindhen merupakan hasil implantasi tradisi Barat. Berbanding sebalik dengan anggapan tersebut, Anderson Sutton dalam “Who is Pesindhen? Notes on the female singing tradition in Java,” (1984), mengungkap bahwa tidak tepat mengaitkan citra erotika pesindhen dengan pengaruh Barat.
Tradisi seni erotica di Jawa, menurut Sutton, sudah eksis sejak masa lampau. Hal ini salah satunya ditemukan dalam sosok pesindhen. Dikuatkan pula dalam berbagai karya klasik para pujangga dan legenda masyarakat Jawa. Sutton mencatat, di Jawa seniman yang menyerupai sindhen telah eksis berabad-abad lalu, meskipun dengan format berbeda. Investigasinya menunjukkan, pada episode lampau tidak ditemui formasi penyanyi. tunggal yang tampil berbarengan dengan para penabuh gamelan seperti lazim saat ini. Akan tetapi, pada periode tersebut dapat dijumpai senandung gamelan diiringi nyanyian solo dari penari perempuan yang dikenal sebagai taledhek atau penyanyi-penari.
Melalui pelacakannya, Sutton berhasil mengungkap akar keberadaan sindhen yang bermula dari tradisi penyanyi-penari. Secara jelas tradisi ini termuat dalam Kakawin Nagarakṛtagama dengan digambarkan penampilan sosok penari perempuan atau Juru I Angin yang memiliki kemampuan menyanyi dan menari secara bersamaan. Dalam pertunjukannya, Juru I Angin menampilkan dua bagian inti yang disinyalir memiliki kesamaan dengan tradisi taledhek tayub.
Umumnya pertunjukan Juru I Angin dilakukan di dekat balai-balai Keraton. Pertunjukannya dikemas dalam bentuk komedi yang kental akan nuansa erotika. Digambarkan Juru I Angin menari sembari meliukkan lekuk tubuhnya yang indah bersama dengan para lelaki secara bergantian. Kemudian diselingi candaan seorang buyut yang ikut andil menyemarakan nuansa erotis. Selepas itu, Juru I Angin masuk kedalam Keraton menemani para priyayi yang sedang ‘minum’ sembari menghiburnya dengan kidung.
Lebih lanjut dalam serat Centhini juga dideskripsikan secara gamblang aktivitas erotis dalam pagelaran Tayub. Gambaran singkatnya, diceritakan bahwa sebagian besar para penonton Tayub yang umumnya lelaki, berakhir dalam kondisi mabuk dan lekat akan aktivitas seksual mereka bersama taledhek. Seperti lazim distigmatisasikan, taledhek merupakan manifestasi dari erotika perempuan Jawa (Lysloff, 2001).
Di sisi lain perlu digarisbawahi bahwa penyanyi-penari terkadang adalah sosok laki-laki yang berperan sebagai perempuan. Pergantian peran seperti ini bukan hal baru di Jawa dan sisa-sisanya dapat dilihat dalam pentas Ludruk, melalui tingkah seronok tandhak yang begitu lihai dalam memparodikan seksualitas feminin. Bahkan gelagat erotik yang ditampilkan tandhak sanggup memancing gairah dan digadang-gadang sebanding dengan tampilan erotika penari perempuan pada umumnya.
Selain itu, tradisi penyanyi-penari juga dilegitimasi cukup kuat dalam cerita rakyat Jawa. Dalam kisah tiga lelaki yang terdiri dari pemahat kayu, penjahit, dan pengrajin emas. Kisah dimulai ketika pemahat kayu diutus Tuhan untuk membuat patung perempuan cantik. Dengan tekun pemahat kayu akhirnya rampung membuat patung, lalu menaruhnya di sisi jalan yang jarang dilalui orang, sebagaimana diperintahkan Tuhan. Beberapa saat kemudian, datang seorang penjahit dan pengrajin emas melintasi jalan tersebut. Karena iba menengok ketelanjangan patung itu, lantas penjahit dan pengrajin emas secara sukarela mendadaninya. Alhasil, patung tersebut nampak kian menawan setelah dikenakan kebaya, sarung, dan kain dada pemberian penjahit, serta berbagai pernak-pernik perhiasan berupa cincin, gelang, anting-anting dan kalung dari pengrajin emas.
Selepas pulang ke-kediaman masing-masing, ketiganya berpuasa dan berdoa agar patung tadi dapat dijiwai kehidupan. Selang 40 hari, seorang Wali utusan Tuhan datang menghampiri patung tersebut, lalu secara seketika membuatnya hidup dan menjelma sesosok perempuan berparas cantik. Lantas sang Wali menuntun perempuan itu menuju rumah pemahat kayu, berbarengan dengan itu telah tiba penjahit dan tukang emas di tempat tujuan yang sama.
Setelah mendapat petunjuk dari seekor cicak, ketiganya saling berebut perempuan itu sebagai miliknya. Lantas sang Wali menengahi dengan memerintahkan ketiganya untuk menemani pengembaraan perempuan tersebut—yang akan menari dan bernyanyi, ke seluruh negeri. Mereka patuh, lalu keempatnya memulai perjalanan mengelilingi Majapahit dengan pemahat kayu sebagai pemain rebab, penjahit menabuh gendang, dan tukang emas memainkan gong, kecrek, dan ketuk.
Melalui legenda tersebut, secara implisit menegaskan bahwa masyarakat umum (panjak) memiliki tanggung jawab penuh untuk melindungi penyanyi-penari. Hal ini dapat ditengok tatkala seorang penyanyi-penari atau taledhek hendak berpergian menawarkan keahliannya selalu ditemani oleh para panjak. Betapapun lebih berperan sebagai patner, panjak merupakan guru pesindhen.
Meskipun jarang dijumpai hari ini, sisa-sisanya dapat dilihat melalui aksi taledhek jalanan yang banyak dijumpai di daerah pinggiran Keraton. Sutton mencermati bahwa mereka cukup dipandang rendah sebagai pengemis bahkan acapkali dilabeli pelacur. Clifford Geertz dalam penelitiannya di Mojokuto turut menguatkan citra buruk taledhek jalanan yang ia kategorikan kedalam rumpun seni kasar atau seni abangan.
Menurut Geertz, taledhek jalanan merupakan penyanyi serta penari jalanan perempuan yang bermain karena disewa dan berjalan dari pintu ke pintu di sepanjang jalan kota, pasar, bahkan desa, mereka seringkali disinonimkan sebagai pengemis (Geertz, 1985). Bisa dikatakan citra taledhek jalanan dipandang cukup inferior di masyarakat sebagai pengemis bahkan beberapa orang tak segan menyebutnya sebagai seniman berkedok pelacur, karena penampilannya yang kerap menggoda penonton laki-laki.
Selain citra buruk taledhek jalanan, rupanya para priyayi menaruh ketertarikan besar pada taledhek, dan tak jarang menjadikan beberapa taledhek incarannya sebagai pelayan Keraton, gundik, bahkan dipinang sebagai istri. Hal ini pada nantinya mengubah pamor taledhek, ditandai dengan penambahan nama ‘pesindhen’ lantas menjadi pesindhen-taledhek. Penambahan ‘pesindhen’ tersebut cukup signifikan mengubah tradisi penyanyi-penari di Jawa.
Sutton menganalisis setidaknya di penghujung abad ke-19 M, bentuk tampilan pesindhen-taledhek mengalami pemangkasan peran. Dengan hanya menyuguhkan nyanyian tembang semata, tanpa perlu menari seperti sebelum-sebelumnya. Hal ini nantinya melahirkan jurang pemisah dalam konteks pertunjukan gamelan antara penari tunggal perempuan (taledhek) dan penyanyi tunggal perempuan (pesindhen).
Nampaknya, ketertarikan priyayi Keraton cukup serius, hal ini terbukti dengan diberikan mandat khusus kepada Canthang Balung (Surakarta) dan Lurah taledhek (Yogyakarta) sebagai orang yang bertanggung jawab mengurus pesindhen-taledhek. Di sisi lain mereka juga ditugaskan mencari bakal calon pesindhen-taledhek di desadesa serta memastikan para perempuan tersebut dilatih dan dididik sebagai penari.
Menengok pesindhen-taledhek lahir melalui inisiasi Keraton, dengan demikian mereka memiliki status sosial yang lebih tinggi ketimbang taledhek jalanan. Walaupun pada akhirnya para pesindhen-taledhek tersebut dipaksa tunduk pada keinginan priyayi yang dilayaninya.
Deskripsi Sutton dan Geertz cukup menggambarkan keluguannya dalam menengok taledhek jalanan. Pandangannya dalam menjabarkan taledhek sebagai profesi rendahan tanpa menimbang aspek lain secara mendalam, tak lebih apa yang dijabarkan keduanya merupakan duplikasi dari pikiran awam. Mengapa begitu? Simbolisasi wacana kesenian Keraton melalui kerangka ke-adiluhung-nya, patut dicurigai sebagai alat legitimasi Keraton—dalam mengukuhkan demarkasi antara dirinya dengan kesenian pinggiran (taledhek jalanan) yang kemudian terdefinisikan sebagai seni kasar.
Alhasil, stigmatisasi taledhek cukup riskan bahkan tak jarang berujung pada berbagai praktik diskriminasi. Dalam praktiknya, banyak taledhek yang bertahan dengan profesinya meski harus menghadapi gunjingan dan olokan. Akan tetapi kebanyakan dari mereka memillih alternatif lain dengan beralih profesi sebagai
pesindhen yang dirasa lebih bermartabat di mata masyarakat.
Status sosial peshinden-taledhek cukup terhormat. Demikianpun pesindhen. Sutton menjabarkan bahwa kurang lebih terdapat kesamaan antara dhalang dengan pesindhen. Yakni, keduanya sama-sama dilabeli gelar kehormatan: Ki untuk dhalang, Nyi untuk pesindhen yang sudah menikah, dan Ni untuk pesindhen yang belum menikah. Kemudian, dalam pertunjukan wayang kulit dhalang hadir sebagai figur utama, demikian juga peran pesindhen dalam pertunjukan musik gamelan. Di sisi lain, bahkan sebagian orang Jawa menganggap sosok pesindhen memiliki kesaktian yang dengan dhalang.
Tak ayal pamor pesindhen sering disebut sebagai waranggana (bidadari kahyangan), dan mampu menjadi sosok yang sakti (ampuh). Masyarakat Jawa juga meyakini para pesindhen terlahir dengan potensi khusus yang melebihi perempuan pada umumnya, namun ia akan menjadi ampuh ketika sudah matang (wis ndadi). Betapapun demikian ia juga mewarisi citra erotika penyanyi-penari dari masa lampau.
Tentunya masuk akal menautkan tradisi penyayi-penari sebagai akar dari tradisi pesindhen. Hal ini juga sejalan dengan argumen S. O. Robson bahwa, pada kenyataannya di Jawa tak ada perbedaan antara kenikmatan estetik dan erotik. Begitupun juga para pesindhen, tak cukup hanya bermodal kecakapan artistik, mereka juga didesak untuk piawai mengemas diri dengan citra erotika. Sudah sebagaimana mestinya, kita dapat menempatkan pesindhen sebagai mata rantai seni erotika lokal yang tak pernah kehilangan nilai dan nuansa estetikanya. []