Keterkaitan rasa dalam praktik mistik keagamaan dengan rasa dalam pertunjukan kesenian di Jawa mengarah pada satu konsep perwujudan spiritualitas Tantris. Sarah Weiss dalam “Kothong Nanging Kebak, Empty yet Full: Some Thoughts on Embodiment and Aesthetics in Javanese Performance” (2003) memaparkan bagaimana olah rasa dalam kedua tradisi, diawali dengan mengosongkan diri, lalu membiarkan kekuatan semesta mengisi diri subjeknya.
Praktik olah rasa itu secara khusus memiliki keterkaitan erat dengan tantrisme di Jawa. Perwujudan spiritual Tantrik dalam hal ini adalah proses pencerahan untuk mencapai kesadaran spiritual dengan menghubungkan keterpisahan antara pikiran dan tubuh. Berangkat dari karya Judith Becker dan Mark Benamou, Weiss menyampaikan bahwa keterkaitan olah rasa dalam dua tradisi ini terjadi karena ada satu proses perwujudan yang menghubungkan kedua praktik tersebut. Perwujudan dalam hal ini adalah proses dimana para penampil kesenian mencapai ekstase yang paling maksimal serta penuh rasa dengan mengkombinasikan antara emosi dan pengetahuan mereka.
Weiss memaparkan bahwa konsep rasa dalam konteks Kejawaan adalah hubungan antara pemahaman mistis dan pengalaman diri yang berbasis dalam filsafat dan doktrin keagamaan. Istilah rasa masuk ke Jawa melalui bahasa Sansekerta dan Tantrisme India Abad Pertengahan, lalu menyatu menjadi penghayatan hidup sehari-hari.
Rasa dalam pertunjukan kesenian di Jawa diwujudkan dengan cara yang mirip seperti rasa dalam konteks Kejawenisme. Ia diwujudkan dengan melakukan konsentrasi penuh dan mengosongkan diri serta membiarkan diri subyeknya diisi oleh kekuatan semesta. Dikatakan memiliki kemiripan karena ada penyatuan mistik dalam pengosongan diri tersebut. Konsep pengosongan diri yang memungkin subyek diisi oleh kekuatan semesta ini juga ditemukan dalam teks-teks keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-18 dan abad ke-19 M.
Konsep pengosongan diri untuk mencapai penampilan yang maksimal dalam konteks pertunjukan kesenian di Jawa ini erat hubungannya dengan konsep penyatuan antara pikiran dan tubuh. Konsep yang telah dijelaskan tersebut mempunyai kemiripan dengan konsep spiritual Tantrik, terutama dalam hal penyucian ego dalam dalam tradisi mistik Kejawaan untuk mencapai kesadaran spiritual.
Dalam pertunjukan kesenian di Jawa, olah rasa yang dilakukan dengan mengosongkan diri dan membiarkan diri diisi oleh kekuatan semesta merupakan suatu bentuk perwujudan dari usaha penampil memperoleh pengetahuan dan konsentrasi mendalam atas karakter yang akan ditampilkan. Bagi subyeknya, membiarkan dirinya diisi oleh karakter tersebut, menjadikannya hanya terfokus pada segala sesuatu yang ada di atas panggung.
Dapat dikatakan bahwa penyatuan semacam ini menggambarkan penghayatan penuh seorang penampil sehingga sebuah karakter dapat masuk dalam tubuh dan pikiran mereka. Olah rasa dalam pertunjukan kesenian di Jawa dapat dikatakan baik jika penampil dan karakter telah menjadi satu. Inilah yang bisa ditemukan dalam berbagai jenis pertunjukan di Jawa yang masih melestarikan dimensi mistik tersebut.
Weiss memaparkan bahwa konsep penyatuan antara penampil dan karakter yang akan ditampilkannya, memiliki kesamaan dengan proses penyatuan tubuh dengan roh dalam tradisi mistisisme. Hal ini ada dalam konsep Jawa tentang hubungan antara pikiran dan tubuh yang tertuang dalam cerita Dewaruci ketika roh (dalam cerita Dewaruci disebut pramana) menyatu dengan tubuh dan pikiran.
Weiss menjelaskan lebih lanjut dalam cerita tersebut, ketika tubuh dan pikiran telah bersatu dengan roh, maka roh (pramana) akan menjadi bagian tak terpisaj dari kehidupan tubuh. Pada dasarnya, pikiran dan tubuh dengan roh telah saling bergantung satu sama lain.
Penyatuan antara tubuh dan pikiran dengan roh dalam cerita Dewaruci ini sama dengan olah rasa penampil pertunjukan dalam usahanya mewujudkan karakter yang akan dia tampilkan. Weiss sangat meyakini bahwa kedua hal ini sama dengan konsep perwujudan spiritual Tantris. Olah rasa dalam praktik perwujudan spiritual dan dalam pertunjukan kesenian di Jawa menggunakan satu bentuk perwujudan yang sama, yakni mengosongkan diri dan membiarkan kekuatan semesta mengisi diri subyeknya, hal ini sama dengan penyatuan diri antara tubuh dan pikiran dengan roh dalam konsep kehadiran Tuhan di dalam diri manusia.
Persis seperti ditemukan dalam alegorisme kehadiran Tuhan dalam diri manusia dalam kisah Dewaruci. Konsep inilah yang diilustrasikan Weiss sebagai ‘Kothong Nanging Kebak’. Analogi lain yang dapat menggambarkan konsep perwujudan praktik olah rasa ini adalah penampilan dhalang dan wayangnya. Penyatuan yang sama dalam cerita Dewaruci juga dipraktikkan di sini, dan karenanya dhalang dan wayang merupakan simbol dari penyatuan hubungan antara Tuhan dan manusia ketika pertunjukan dimulai.
Dhalang melebur dalam wayang-wayangnya dan juga sebaliknya. Gambaran yang jelas dari analogi keagamaan anatara dhalang dan wayang adalah ketika seorang dhalang merepresentasikan Dzat Yang Maha Kuasa dan wayang sebagai manusia. Keduanya dalam keadaan saling ketergantungan satu sama lain, dan hubungan antar keduanya direpresentasikan dalam proses penjiwaan dengan penuh rasa.
Analogi lain yang masih memiliki kaitan sangat erat dengan konsep penyatuan ini adalah analogi keris dan sarungnya. Perwujudan keris dan sarung menggambarkan sinergi dua hal yang menyatu dan merupakan satu-kesatuan. Sarung adalah keris dan keris adalah sarung ketika kedua benda tersebut disenyawakan.
Contoh terakhir yang menggambarkan konsep penyatuan dalam mewujudkan praktik olah rasa adalah tarian topeng. Untuk sampai pada suatu pertunjukan yang maksimal, para pelakunya harus menampilkan konsentrasi penuh dan keterampilan luar biasa sehingga lahir penjiwaan yang maksimal dan menghidupi satu sama lain. Penari harus paham semua gerakan dan karakter yang akan ia tampilkan, ia harus berusaha menciptakan karakter tersebut dalam dirinya, di sisi lain ia juga harus mengosongkan dirinya dari apapun kecuali karakter yang akan ia mainkan agar karakter tersebut dapat mengisisnya, kemudian membangkitkannya.
dirinya. Perwujudan olah rasa seperti ini merupakan usaha yang sama dilakukan dalam praktik mistik keagamaan maupun praktik pertunjukan kesenian di Jawa dalam upaya memperoleh penyatuan sempurna dengan karakter yang akan ditampilkan. []