Perempuan menjadi sumber kasekten utama di Jawa. Dalam dirinya terletak alam sekti (dunia spiritual) (Wessing, 2016). Di kebudayaan yang mengedepankan spiritualitas, perannya setara dengan laki-laki. Sebagai ibu, perempuan bertanggung jawab terhadap pembentukan dan pertumbuhan spiritual anak.
Di Jawa manusia dianggap memiliki dua tubuh, halus (spiritual) dan kasar (fisik). Tubuh spiritual dipercaya berperan penting dalam kehidupan seseorang. Ibu memiliki peran krusial dalam kehidupan spiritual seorang anak karena aspek ini menentukan kesejahteraan dan keseimbangan kehidupan sang anak di kemudian hari.
Itulah alasan mengapa orang Jawa tidak menganggap penting urusan sanad. Istilah ini merujuk pada penarikan garis keturunan paternal atau dari ayah. Dalam budaya Jawa, kualitas seseorang tidak sekedar didasarkan pada garis biologis semata, tetapi lebih karena keberadaan garis spiritual dari ibunya. Garis ini adalah ikatan yang menghubungkan ibu dengan anak. Secara fisik hubungan ini terjalin melalui tali plasenta, tetapi sekaligus menjadi tali batin bagi anak dengan sang ibu.
Melalui tali batin, hubungan anak secara spiritual menjadi hubungan seumur hidup. Plasenta menghubungkan ibu dan anak selama di dalam kandungan, tetap juga sekaligus mengiringi seluruh kehidupan anak. Sesudah anak dilahirkan, plasenta menjadi salah satu dari empat penjaga gaib atau ‘sedulur papat limo pancer’. Kekuatan ini menjadi penjaga ketika manusia hidup dan mengantarkan manusia ketika pulang, saat ajal tiba (Wessing, 2016).
Sedulur gaib ini juga bisa menjadi sumber kasekten. Istilah Kesaktian atau kasekten diambil dari bahasa Sanskrit, yakni shakti. Dalam kosmologi Hindu, shakti adalah energi Illahi yang berwujud perempuan (Bianca dan Woodward, 2015). Kekuatan ini bisa didapatkan dengan bertapa atau tapas. Merupakan lelaku puasa panjang tanpa makan, minum, tidur dan berhubungan seks. Tapi di sisi lain, kasekten juga bisa didapatkan dengan berhubungan seksual dengan perempuan shakti.
Ini seperti kisah Ken Arok yang ingin mendapatkan kasekten dan menjadi raja dengan cara mengawini Ken Dedes, seorang perempuan shakti. Ken Dedes dikenal sebagai perempuan istimewa karena memiliki kemaluan yang memancarkan cahaya. Ia juga dianggap sebagai Ardhanasariswara, perwujudan Siwa dalam bentuk setengah laki-laki dan perempuan (Bianca dan Woodward, 2015).
Perempuan shakti lain di Jawa seperti halnya Ken Dedes adalah Nyi Roro Kidul. Ratu penguasa pantai selatan ini merupakan figur yang sangat kompleks. Pada masa Hindu-Budha dia dikaitkan dengan Dewi Durga dan Dewi Sri (Roy E. Jordan, 1997). Setelah masa kerajaan Islam, sosok ini lebih dikenal sebagai penguasa laut selatan dan dunia gaib di Jawa.
Seperti halnya Ken Dedes, seorang calon raja di Jawa harus terlebih dahulu berhubungan dengan sang Ratu, agar mendapat kasekten. Hubungan ini juga bertujuan agar kerajaan mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan dari Ratu selatan tersebut. Hal ini seperti dalam sejarah lisan pernikahan Sultan Agung
dengan Nyi Roro Kidul. Sejarah lisan yang sekaligus melambangkan integrasi dan penghormatan terhadap sosok perempuan shakti.
Cerita tentang Ken Dedes dan Nyi Roro Kidul juga menunjukkan adanya dimensi kesetaraan gender dalam pandangan kosmologi orang Jawa. Di masa lalu misalnya, seorang raja dianggap sebagai manifestasi Dewa, begitu pula sang permaisuri dianggap sebagai Dewi (Kulke 1978).
Kisah Ken Dedes juga menempatkan perempuan sebagai subjek penting bagi kerajaan. Keberadaanya akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi Raja dan kerajaan. Ratu dianggap perwujudan putri Siva (penguasa gunung), yang tubuhnya merupakan gabungan dari Brahma, Vishnu, dan Siva (Lohesa, Keshava, dan Maheshvara). Berkat sang Ratu, Raja sebagai penguasa akan mendapatkan peningkatan kemakmuran.
Cerita Ken Dedes dan Nyi Roro Kidul menggambarkan bagaimana peran perempuan setara dengan laki-laki. Khususnya di berbagai kebudayaan yang mengedepankan spiritualitas. Pasangan laki-laki dan perempuan membawa kekuatannya sendiri, dan persatuan antara keduanya akan menambah kekuatan mistiknya (Noorduyn, 1978).
Inilah sekaligus yang menjelaskan mengapa dalam budaya Jawa, perempuan memegang peran yang sangat penting dan setara dengan laki-laki, tidak hanya dalam aspek kehidupan sehari-hari tetapi juga dalam ranah spiritual. Perempuan, sebagai ibu dan sumber kasekten, memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk diri manusia.
Kisah-kisah seperti Ken Dedes dan Nyi Roro Kidul menegaskan peran sentral perempuan dalam spiritualitas Jawa. Keduanya sekaligus menunjukkan bahwa mereka adalah sumber kekuatan dan kesejahteraan, serta menjadi simbol kesetaraan gender dalam spiritual. []