Para penstudi Jawa acapkali menyematkan konsepsi erotisme Jawa berkelindan dengan suatu nilai keagungan yang melampaui erotisme itu sendiri. Bisa jadi justifikasi semacam itu dibutuhkan dalam menarasikan konsep erotisme sebagai tapal batas antara yang cabul dan yang agung. Hal ini dapat dilihat melalui narasi Anderson Sutton tatkala melacak akar tradisi sindhen serta Elizabeth Inandiak dalam menafsirkan Centhini.
Secara implisit Sutton menyinggung bahwa di Jawa tak ada perbedaan antara kenikmatan estetis dan erotis yang direpresentasikan oleh kesenimanan sindhen (Sutton, 1984). Demikianpun Inandiak yang menginterpretasikan kemanunggalan Tambangraras dan Amongraga sebagai puncak erotis atau laku erotis-mistik (Inandiak, 2012). Melalui keduanya, seolah-olah erotisme perlu disematkan pada suatu nilai yang lebih agung dari erotisme itu sendiri.
Pertanyaannya, erotisme itu sendiri apa? Jika ditelisik di berbagai disiplin ilmu, istilah erotisme tak pernah terjelaskan secara terang. Bahkan definisi erotisme sulit dirumuskan, sebab ia selalu dikaitkan dengan istilah lainnya, seperti: nafsu, seks, cabul, porno (Fellman, 2016). Sedangkan dalam konteks kesenian, diskusi seputar erotisme selalu diperdebatkan pada tataran distingtif antara erotis dan pornografi, padahal perbedaan tersebut sepenuhnya dianggap sebagai bualan retorik (Paveau,2014).
Merespons kerunyaman tersebut, hampir satu dekade yang lalu Ferdinand Fellman menawarkan jalan alternatif dalam mengamati studi erotisme. Menurutnya erotisme secara khusus tak merujuk pada teknik seksual, melainkan suatu interpretasi hasrat seksual. Interpretasi ini cukup beragam: pragmatis, fantatis, dan etis. Pada dasarnya, hal tersebut bukanlah definisi, tetapi sebuah formula untuk memberikan makna erotisme dalam berbagai aspek kehidupan manusia (Fellman, 2016).
Berpatok pada tawaran Fellman, maka dua narasi di muka dapat dilihat sebagai formula yang dikerangkai Sutton dan Inandiak dalam memaknai erotisme Jawa. Lalu apakah formula keduanya tepat dalam merepresentasikan erotisme Jawa? Ini merupakan persoalan lain, agaknya menjadi penting menguliti tulisan kedua ilmuwan tersebut untuk mengetahui seberapa tepat keduanya dalam menjelaskan erotisme Jawa.
Anderson Sutton dalam karyanya “Who is Pesindhen Pesindhen? Notes on the Female Singing Tradition in Java” (1984), secara garis besar melacak akar tradisi kesenimanan sindhen. Melalui investigasinya, terkuak bahwa ekspresi erotis dalam tradisi sindhen bukanlah hal baru di Jawa. Temuannya tersebut mengantarkan Sutton pada kesimpulan bahwa di Jawa tak ada perbedaan antara kenikmatan erotis dan estetis. Dengan kata lain ekspresi erotis sindhen lahir dari dinamika internal masyarakat Jawa itu sendiri.
Kiranya ada beberapa titik buram yang perlu dikemukakan tatkala mendedar tulisan tersebut. Pertama, sejauh pembacaan saya, Sutton sama sekali tak menyinggung definisi erotisme. Betapapun perkara definisi erotisme selalu berakhir runyam, sepatutnya penjelasan tersebut perlu diterangkan sebagai pijakan penting dalam menilik ekspresi erotis sindhen. Jika demikian makna erotisme yang ia kemukakan secara pondasional tergolong rapuh sebab kelalainnya sendiri tak mendefinisikan erotisme.
Disamping itu, besar kemungkinan Sutton terjebak dalam kerangka nalar Barat tatkala menginterpretasikan sindhen. Konklusinya yang menyebutkan bahwa ekspresi erotis-estetis terejawantahkan pada kesenimanan sindhen sepenuhnya tidak tepat. Pandangan semacam itu sangat khas Barat, menilik konstruk nalar Barat yang Barat dalam melihat seksualitas di kesenian erotis.
Hal ini dapat dijumpai melalui wacana para pemikir kontemporer Barat dalam merumuskan pengertian seni erotis, yang merupakan respons langsung terhadap estetika modern (pasca Baumgarten dan Kant), sebab dirasa cukup ketat dalam mengkategorikan karya seni. Hans Maen, secara eksplisit menguak estetika modern cukup ketat membangun tembok antara kenikmatan estetik dengan kenikmatan sensual atau seksual (Maes, 2013). Disusul penjelasan Peter Webb mengenai definisi erotika, “seni erotis membutuhkan legitimasi estetis dalam menggambarkan seksualitas” (Webb, 1975).
Rumusan para cendekia Barat itulah, pada akhirnya menjadi patron arah perbincangan erotisme yang melulu disematkan dengan estetika. Frame Sutton dalam mengamati sindhen pun demikian, terjerat pewacanaan Barat dalam menilik erotisme Jawa. Ini kian nampak tatkala Sutton menyinggung citra erotis sindhen berakar dari tradisi Juru I Angin atau penyanyi-penari, sedangkan masyarakat Jawa sendiri memandangnya sebagai Dewi Kesuburan (Suharto, 1999).
Nampak bersebrangan antara penarikan kesimpulan Sutton yang tendensius memotret legenda Juru I Angin sebagai ekspresi erotis dengan worldview masyarakat Jawa sendiri yang menghayatinya sebagai laku spritual.
Di samping itu, Sutton menerangkan tradisi sindhen lahir dari inisiasi keraton Mataram Islam. Mengingat di periode tersebut pertunjukan penyanyi-penari (tayub) cukup digandrungi oleh masyarakat Jawa. Hal ini juga bebarengan dengan manjangkitnya budaya hedon dalam tubuh keraton dimana situasi tersebut memantik respons para priyayi dengan mematronkan tradisi penyanyi-penari (sindhen) ke dalam kerangka budaya adilihung yang khas keraton.
Kiat tersebut dapat dicermati sebagai akuisisi keraton untuk memberi demarkasi dirinya dengan hiburan rakyat Jawa pada umumnya (Setiawan, 2014). Dengan begitu, besar kemungkinan citra erotis sindhen diprakarsai berdasarkan selera hedon kalangan keraton. Toh kenyataannya pandangan seksologi Jawa sendiri hampir sepenuhnya didominasi oleh pandangan para pangeran serta priyayi (Sukatno, 2015).
Pelacakan Sutton tersebut tak sepenuhnya salah menautkan tradisi sindhen berakar dari legenda Juru I Angin. Tetapi, kesalahpahamannya dalam melihat ekspresi Juru I Angin tak dapat disangkal, yang cenderung lebih dekat sebagai aspek spiritual ajaran Siwaisme di periode Jawa Kuno (Suharto, 1999). Hal ini, semakin diperkuat dengan narasi Inandiak tatkala menafsirkan Centhini, dimana benih-benih ekspresi erotis-istis masih terekam jelas dalam teks Centhini yang notabennya dituliskan pada era stis masih terekam jelas dalam teks Centhini yang notabennya dituliskan pada eraJawa Baru.
Beranjak menuju karya Elizabeth Inandiak “Dari Erotika ke Sir Centhini” (2012), yang mengintrodusir istilah ‘sir’ sebagai penyekat antara konsep erotisme Barat dengan Jawa. Menurutnya, ‘sir’ hanyalah khayalan sebelum terjadinya senggama, sebuah keterpesonaan panca indera melintasi khayalan dan pikiran. Di Jawa, erotisme tidak perlu tubuh ragawi, erotisme hanya perlu khayalan. Sedangkan puncak erotis sekaligus jalan mistik penyatuan (kemanunggalan).
Potret kemanunggalan tersebut, merupakan buah dari kepiawaian Inandiak dalam menggubah skenario adegan antara Amongraga dengan Tambararas, yang menghabiskan 40 malam tanpa bersetubuh. Di momen itulah ‘sir’ lahir sebagai puncak erotik. Disisi lain, ‘sir’ hadir sebagai pembanding erotika serta digadanggadang mewakili ekspresi erotika Jawa. Betapapun demikian, Inandiak kurang jeli dalam menguraikan sengkarut antara yang cabul dan sakral dalam Centhini.
Dalam makalahnya, Inandiak menyusun klasifikasi berbagai ekspresi erotis yang tertuang dalam serat tersebut. Mulai dari erotika si Cebolang, erotika di buku kesembilan, erotika sebagai ajaran halus (asmaragama), erotika sebagai ajaran kasar (mantra-mantra bobrok), lalu klimaksnya puncak erotika yang mistis-erotis (sir). Muatan ekspresi erotis yang beragam inilah, menjadikan Centhini dicitrakan sebagai
kitab etorika yang paradoks.
Nampak dalam tulisannya tersebut Inandiak cukup bimbang menjelaskan situasi bertolak belakang tersebut. Di satu sisi, Centhini dijuluki karya sastra adiluhung yang suci karena ajaran erotika mistiknya. Di sisi lain, dicitrakan bobrok sebab termuat adegan-adegan liar nan kasar sehingga menceburkan para pembacanya ke tingkat syahwat badaniah yang sangat rendah dan begitu kasar.
Kemungkinannya, di Jawa, erotisme dipersepsikan oleh masyarakatnya pada dua sumbu yang saling bertolak belakang, antara cabul dan agung. Di satu sisi, dicemooh cabul sebab merusak moralitas masyarakat Jawa. Di sisi lain, menjadi agung sebab menyimpan khazanah pengetahuan lokal didalamnya. Dua kutub ini kian kentara tatkala Mataram Islam berkuasa, strategi poltiknya yang kental akan nuansa hierarkis mempertajam sensibilitas masyarakat dalam mempersepsikan erotisme.
Betapapun hegemoni keraton sukses menempatkan tradisi sindhen serta teks Centhini di posisi yang cukup bermartabat di mata masyarakat. Selagi ekspresi yang tertuang dari keduanya keluar dari batas moralitas Jawa, ia akan dituding sebagai cikal-bakal kemerosotan moral masyarakat Jawa. Jika dianalogikan, di Jawa kepuasan akan erotis dapat dimaklumi jika disematkan pada tujuan yang luhur–
sebagaimana dalam teks Centhini yang erotis-mistis (etis), serta melalui kesenimanan sindhen yang erotis-estetis (fantatis).