Transformasi Hubungan Warok-Gemblak

Hubungan antara warok dan gemblak sering diwarnai ambiguitas. Satu sisi hubungan mereka dianggap sebagai homoseksual, tetapi disisi lain disebutkan sebagai sebuah hubungan antara anak dan orang tua asuh. Ki Ageng Kutu mendirikan sebuah perguron yang berisikan muridnya dengan sebutan warok. Sebagai penganut Buddha Tantrayana, ia percaya bahwa dengan menjauhi keinginan fisik dapat mencapai kekuatan spiritual. […]

Hubungan antara warok dan gemblak sering diwarnai ambiguitas. Satu sisi hubungan mereka dianggap sebagai homoseksual, tetapi disisi lain disebutkan sebagai sebuah hubungan antara anak dan orang tua asuh. 

Ki Ageng Kutu mendirikan sebuah perguron yang berisikan muridnya dengan sebutan warok. Sebagai penganut Buddha Tantrayana, ia percaya bahwa dengan menjauhi keinginan fisik dapat mencapai kekuatan spiritual.

Benedict Anderson (2006) dan Bianca Smith (2015) mengatakan bahwa dalam pemikiran Jawa, antara seksualitas dan kekuasaan memiliki keterikatan yang erat. Seorang warok harus melepas hasrat seksualnya terhadap perempuan agar bisa mengumpulkan kekuatan spiritual. Sperma dianggap sebagai konsentrasi kekuatan dan juga sebagai alat transmisi menjadi energi superior. Proses pengumpulan kekuatan dilakukan melalui ‘pertapaan’ dengan mengubah hasrat seksual menjadi pencapaian spiritual.

Pantangan warok tersebut didasarkan asumsi bahwa dengan kehilangan sperma dapat mengikis kekuatan spiritual. Sehingga solusinya para warok meminta bantuan anak laki-laki yang kemudian disebut gemblak untuk bertindak sebagai ‘pengganti’ kehadiran perempuan. Pantangan seksual dirangkai dalam tradisi warok melalui sosok gemblak.

Onghokham (1975) mengatakan bahwa warok yang dapat mengumpulkan kekuatan spiritualitas memiliki pengaruh yang besar sebagai pemimpin dalam kehidupan politik di desa. Warok juga memiliki status yang tidak resmi dalam pemerintahan. Mereka memiliki peranan penting dalam kepemimpinan namun
juga memiliki potensi sebagai pembuat onar. Otoritasnya bersifat personal, tergantung pada seberapa tinggi ilmu yang ia kuasai.

Pada dekade 1980-an gemblak menjadi sebuah kebanggaan bagi warok, dan juga mendapat pengakuan di masyarakatnya. Namun setelah 1980-an, sebutan gemblak justru bersifat stigmatik. Kepemilikan gemblak awalnya dianggap sebuah kebanggaan sekaligus penentu status sosial yang tinggi, yang mana akan membawa warok pada posisi kedudukan yang terpandang dalam struktur sosial. Namun hal tersebut kini justru berubah menjadi citra buruk yang melekat pada diri seorang warok.

Adanya stereotipe buruk tersebut, mengubah relasi warok dan gemblak cenderung dimaknai sebagai hubungan antara anak asuh dan orang tua asuh. Rido Kurniawan (2017) mengatakan bahwa pengangkatan gemblak dianggap sebagai salah satu bentuk dari pemberdayaan masyarakat. Gemblak yang mayoritas berasal dari keluarga miskin dapat memiliki kehidupan yang layak, meningkatkan perekonomian dan juga banyak dari mereka yang mendapat pendidikan yang tinggi. Sehingga tak sedikit dari mereka yang kini memiliki pekerjaan yang mapan.

Kehidupan seorang anak yang menjadi gemblak bisa dikatakan lebih terjamin ketika bersama warok. Sang bapak asuh akan mencukupi segala keperluan gemblak, mulai dari pakaian, makanan, tempat tinggal bahkan. Kesejahteraan tersebut tidak hanya dinikmati oleh sang anak akan tetapi juga keluarganya. Dalam proses pengambilan gemblak itu sendiri terdapat sebuah kesepakatan antara warok dan kedua orang tuanya. Kesepakatan tersebut berupa sapi sebagai imbalan kepada gemblak dan keluarganya selama masa kontrak.

Seorang anak yang diangkat menjadi gemblak tidak hanya terpenuhi secara materi akan tetapi secara religi dan etika. Mereka akan diajari oleh sang bapak asuh mengenai ilmu-ilmu agama, mengaji, sopan santun, dan juga disekolahkan sampai pada jenjang tertentu. Sehingga mereka bisa membaca dan menulis. Sang Anak bisa bertahan untuk menjalani kehidupannya secara lebih sejahtera. Sisi positif inilah
yang menjelaskan kehidupan layak yang dinikmati oleh para mantan gemblak.

Stereotipe baru yang dilekatkan pada hubungan warok dan gemblak di masa kini diciptakan untuk mematahkan stereotipe yang telah melekat lama. Upaya ini bisa dikatakan sebagai sebuah bentuk kelahiran kembali identitas gemblak dan warok. Anak asuh dan orang tua asuh tersebut dilekatkan dengan alasan bahwa praktik homoseksual itu sendiri tidak benar-benar diakui oleh mantan gemblak. Mereka tidak merasa melakukan hubungan layaknya pasangan heteroseksual bersama dengan warok.

Selain itu, Stereotipe tersebut menggeser homoseksual yang ada menjadi hetero-normative yang semakin kuat. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa orientasi seksual warok tetaplah mengarah kepada lawan jenis. Sesuai dengan tatanan sosial yang dibentuk oleh pemerintah mengenai keluarga inti yang berisi ayah, ibu dan anak (Sunardi, 2009). Posisi warok sebagai orang tua asuh dan gemblak sebagai anak asuh dianggap lebih sesuai dengan identitas masyarakat daripada identitas lamanya.

Para mantan gemblak juga tidak membantah mengenai stereotipe baru tersebut. Hal tersebut terbukti dengan cara mereka yang cenderung bangga ketika menceritakan kisah hidupnya bersama sang bapak. Tidak terlihat guratan trauma atau sikap membenci terhadap identitas mereka. Para mantan gemblak cenderung berterimakasih dan merasa syukur karena dengan menjadi seorang gemblak, mereka bisa memiliki kehidupan yang lebih baik serta bisa sampai di titik terbaik dalam kehidupannya.

Kisah warok dan gemblak di masa kini berusaha dihidupkan kembali dengan citra yang baru, yakni dengan menghadirkan pemaknaan baru mengenai hubungan mereka sebagai sebuah hubungan antara anak asuh dan orang tua asuh. Ini merupakan bentuk pengalihan dari stereotip praktik homoseksual yang telah mengakar. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memulihkan citra yang melekat cukup lama pada hubungan warok dan gemblak. Meski tentu saja, hingga saat tidak ada yang bisa memastikan apakah praktik homoseksualitas warokgemblak, sudah benar-benar hilang atau tetap mewarnai relasi yang kompleks tersebut. []