Pandangan Clifford Geertz dalam karyanya Agricultural Involution telah memberikan pengaruh signifikan terhadap wacana akademik di Indonesia serta studi agraria di tingkat global. Topik ini menjadi semakin relevan setelah saya membaca tulisan Benjamin White yang berjudul “Agricultural Involution and Its Critics: Twenty Years After.” Dalam tulisannya, White mengeksplorasi berbagai kritik terhadap teori Geertz, terutama berkaitan dengan keterbatasannya dalam menjelaskan perubahan struktural dalam sistem agraria.
Dalam tulisannya, White menyoroti bahwa Geertz cenderung melihat involusi sebagai fenomena budaya yang melekat dalam masyarakat agraris, tanpa cukup mempertimbangkan peran kolonialisme, kapitalisme global, dan perubahan ekonomi yang lebih luas dalam membentuk stagnasi pertanian di Jawa. Jika kita melihat kondisi pertanian Jawa saat ini, apakah konsep involusi agraria masih relevan, atau justru telah berkembang menjadi bentuk stagnasi baru akibat tekanan ekonomi global?
Untuk memahami kritik terhadap Geertz dan relevansinya dalam konteks ekonomi global saat ini, penting untuk terlebih dahulu meninjau konsep yang ia ajukan. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Agricultural Involution?
Agricultural Involution
Clifford Geertz dalam Agricultural Involution mengemukakan bahwa sistem pertanian di Jawa mengalami proses involusi, yakni penambahan jumlah tenaga kerja secara terus-menerus tanpa diiringi oleh peningkatan produktivitas yang signifikan atau perubahan struktural dalam sistem agrarisnya. Menurutnya, meskipun populasi meningkat pesat, inovasi teknologi dan transformasi sosial-ekonomi tidak terjadi, melainkan hanya intensifikasi kerja yang menjadi solusi utama. Akibatnya, pertanian Jawa tetap bertahan, namun stagnan, mencerminkan pola adaptasi internal yang tidak efisien dan memperdalam kemiskinan bersama (shared poverty).
Namun, banyak kritikus berpendapat bahwa teori Geertz terlalu menyederhanakan masalah stagnasi agraria dengan hanya menyoroti aspek budaya, psikologis, dan ekologis. Mereka menilai bahwa faktor lain, seperti ketimpangan ekonomi dan tekanan politik, juga berperan signifikan dalam menyebabkan stagnasi tersebut. Yang paling penting, Geertz dianggap belum sepenuhnya mengakui bagaimana struktur kekuasaan kolonial membentuk sistem pertanian di Jawa demi melayani kepentingan ekonomi pihak kolonial itu sendiri.
Misalnya dalam kebijakan sistem tanam paksa dirancang untuk memaksimalkan produksi tanaman ekspor (misalnya tebu) dengan memanfaatkan tenaga kerja petani tanpa memberikan alat reproduksi atau insentif yang memadai bagi mereka. Alih-alih mendorong modernisasi pertanian, sistem ini malah mempertahankan struktur tradisional yang memungkinkan pihak kolonial meraih keuntungan maksimal dari hasil pertanian, sementara petani tetap hidup dalam kemiskinan meskipun bekerja lebih keras. Dengan kata lain, peningkatan tenaga kerja yang terjadi sebenarnya digunakan untuk memperkuat dominasi kolonial atas sumber daya desa, bukan untuk memperbaiki kesejahteraan petani.
Budidaya tebu berdasarkan prinsip sistem tanam paksa adalah contoh nyata dari dinamika ini. Alih-alih menciptakan sinergi yang saling mendukung dengan pertanian subsisten, budidaya tebu justru merusak struktur dan keberlanjutan pertanian desa secara keseluruhan. Eksploitasi kolonial ini memiliki dampak yang sangat luas dan mendalam. Produksi padi sebagai sumber pangan utama masyarakat pedesaan menurun drastis, pola hubungan agraria yang sebelumnya lebih tradisional berubah menjadi lebih eksploitatif, dan terjadi percepatan pembentukan kelas sosial yang semakin terpolarisasi antara pemilik tanah besar dan petani tanpa tanah. Dengan kata lain, sistem kolonial tidak hanya memperburuk kondisi ekonomi petani, tetapi juga menciptakan fondasi bagi ketimpangan sosial yang berlangsung hingga kini.
Dengan demikian, para ahli berpendapat bahwa analisis Geertz harus lebih memperhatikan bagaimana kebijakan kolonial dan struktur kekuasaan ekonomi-politik mempengaruhi dinamika pertanian Jawa, sehingga memberikan wawasan yang lebih komprehensif tentang penyebab stagnasi agraria dan implikasinya pada pembentukan hierarki sosial di pedesaan.
Relevansi Agricultural Involution di Era Kontemporer
Jika kita melihat kondisi pertanian Jawa saat ini dalam era globalisasi dan neoliberalisme, relevansi konsep involusi agraria yang diajukan Clifford Geertz masih dapat ditemukan, meskipun dalam bentuk yang telah berkembang. Konsep involusi, yang awalnya menggambarkan intensifikasi tenaga kerja tanpa inovasi teknologi atau perubahan struktural signifikan, kini tampaknya telah bertransformasi menjadi bentuk stagnasi baru yang lebih kompleks. Dalam era neoliberalisme, petani kecil di Jawa menghadapi tekanan besar dari pasar global, seperti fluktuasi harga komoditas, dominasi agribisnis skala besar, dan persaingan dengan produk impor murah.
Kondisi ini menciptakan pola mirip involusi, dimana petani bekerja lebih keras tetapi tetap tidak mampu meningkatkan kesejahteraan mereka akibat ketidakadilan struktural. Selain itu, integrasi pertanian Jawa ke dalam rantai nilai global telah memperkuat ketimpangan sosial-ekonomi, dengan tanah dan sumber daya semakin terkonsentrasi di tangan segelintir elit atau korporasi besar. Dengan demikian, konsep involusi agraria masih relevan, namun ia telah berevolusi menjadi bentuk stagnasi baru yang dipicu oleh tekanan ekonomi global dan kebijakan neoliberal yang seringkali merugikan petani kecil.
Kebijakan neoliberalisme yang menekankan liberalisasi perdagangan, privatisasi sumber daya, dan deregulasi pasar telah menciptakan lingkungan dimana petani kecil semakin sulit bersaing. Mereka sering dipaksa untuk bergantung pada pinjaman bank atau kredit usaha dengan bunga tinggi untuk membeli benih unggul, pupuk kimia, dan pestisida yang diperlukan oleh program-program modernisasi pertanian. Namun, harga jual hasil panen mereka tetap rendah akibat dominasi perusahaan besar dalam rantai distribusi, sehingga petani kecil hanya mendapatkan proporsi kecil dari nilai ekonomi yang dihasilkan. Fenomena ini mencerminkan evolusi dari involusi agraria Geertzian, di mana intensifikasi tenaga kerja tidak lagi hanya berlangsung dalam konteks lokal, tetapi juga menjadi bagian dari eksploitasi global yang lebih luas.
Tantangan Berlapis Petani di Jawa
Meskipun pengaruh kolonialisme masih meninggalkan luka yang mendalam, petani di Jawa kini dihadapkan pada tantangan baru yang lebih kompleks: adaptasi terhadap dampak globalisasi dan neoliberalisme. Era kolonial dulu memperkenalkan sistem eksploitasi agraria seperti Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa), yang menciptakan ketimpangan struktural dan mereduksi petani menjadi buruh tanpa otonomi. Namun, hari ini, dalam era pasar bebas dan dominasi kapitalisme global, tekanan terhadap petani kecil semakin intens. Mereka harus berjuang menghadapi fluktuasi harga komoditas global, persaingan dengan produk impor murah, serta dominasi korporasi besar yang menguasai rantai pasok pertanian.
Kebijakan neoliberal yang menekankan liberalisasi perdagangan, privatisasi sumber daya, dan deregulasi pasar justru semakin memperlebar kesenjangan antara petani kecil dan pemilik modal besar. Dalam situasi ini, petani tidak hanya dituntut untuk bertahan hidup, tetapi juga dipaksa beradaptasi dengan sistem yang sering kali tidak berpihak pada mereka. Akibatnya, banyak petani kecil kehilangan akses ke tanah, alat produksi, dan pasar yang adil, menciptakan bentuk baru dari stagnasi sosial-ekonomi yang mirip dengan konsep “involution” yang pernah digambarkan oleh Clifford Geertz, namun dengan dimensi yang lebih luas dan lebih rumit akibat intervensi global.