Ular dalam Kosmologi Orang Jawa

Dulu, masyarakat Jawa menganggap ular dari bagian dari kosmik kehidupannya. Seperti lahirnya kerajaan Mataram oleh Panembahan Senopati. Sang Senopati harus terlebih beraliansi dengan Nyai Roro Kidul, sang ratu naga dari laut selatan (Schlehe, 1998, 144). Begitu juga dengan pandangan tentang Dewi Sri sebagai penguasa kesuburan dan padi.

Persepsi terhadap ular dalam budaya Jawa, telah mengalami perubahan besar seiring berjalannya waktu. Pada masa lalu, khususnya bagi petani, keberadaan ular di sawah dianggap memiliki peran penting, menjadi bagian integral dari siklus pertanian yang dihormati.

Namun, pandangan terhadap ular kini cenderung bersifat negatif, sering dianggap sebagai makhluk berbahaya yang harus dibunuh. Sebuah perubahan nilai mengingat kenangan ketika masih kecil, dulu nenek saya tidak pernah sekalipun membunuh ular, melainkan hanya membawanya keluar ketika masuk ke dalam rumah.

Pemahaman ini dapat ditarik kembali ke pandangan orang Jawa terhadap tatanan kosmik yang harmonis dan teratur, sebagaimana diungkapkan dalam pandangan Heine-Geldern (1930). Orang Jawa memandang diri mereka sebagai bagian integral dari tatanan tersebut, dimana kehidupan manusia dianggap sebagai proses peralihan yang berkelanjutan dari satu tahap ke tahap berikutnya.

Ritual dan simbol hewan, seperti ular atau naga, menjadi elemen kunci yang memudahkan peralihan ini, menggambarkan keterkaitan erat antara manusia, alam, dan kosmos. Khususnya terkait konsep tiga lapis dunia, membentuk landasan pandangan yang mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari mitologi hingga struktur sosial.

Secara vertikal orang Jawa melihat dunia ini terdiri dari tiga lapis dunia, dunia bawah, dunia manusia dan dunia atas. Pemahaman tentang dunia ini bisa kita temukan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti bentuk bangunan (Wessing, 1978) hingga bentuk gunungan dalam wayang Jawa (Sri Soejatmi Satari, 1986). Pandangan ini bisa dimaknai sebagai peralihan, mulai dari asal-usul, kehidupan sekarang dan dunia nanti.

Mitologi Jawa menyatakan bahwa dunia bawah adalah tempatnya air atau asal-usul kehidupan. Di Jawa hal ini sejajar dengan ketuban bayi tempat janin berkembang. Dunia bawah dipercaya dihuni oleh seekor ular (naga). Naga sendiri merupakan kepercayaan yang berasal dari India. Naga digambarkan setengah manusia dan ular. Makhluk ini kadang digambarkan memakai mahkota. Ular juga menjadi simbol kesuburan dan kekayaan (Stutley and Stutley, 1984, 198-99).

Karena asal-usul segala sesuatu berasal dari dunia bawah dan dihuni oleh ular atau naga, maka manusia perlu bekerjasama dengan penghuni dunia tersebut. Oleh sebab itu, kelahiran suatu negara mengharuskan manusia berhubungan dengan penghuni dunia bawah tersebut. Seperti lahirnya kerajaan Mataram oleh Panembahan Senopati. Sang Senopati harus beraliansi dengan Nyai Roro Kidul, sang ratu naga dari laut selatan (Schlehe, 1998, 144). Diceritakan bahwa Senopati keluar dari perairan Samudra Hindia setelah tiga malam bercinta dengan Sang Ratu. Layaknya peralihan seorang bayi, bermula dari air ketuban ibu dan lahir ke dunia.

Begitu pula, terkait kelahiran suatu komunitas atau desa, terbentuk dengan cara yang kurang lebih sama. Tapi tentu saja hubungan dengan penghuni dunia bawah dalam level yang berbeda. Di tingkat desa seorang pendiri desa harus membuat perjanjian dengan roh alam setempat. Keberadaan entitas spiritual itu juga mewakili kesuburan di tempat tersebut. Setelah perjanjian dibuat, entitas spiritual tersebut akan menjadi pelindung bagi desa. Pelindung desa atau Danyangan biasanya juga berbentuk ular. Makhluk ini biasanya tinggal di sumber mata air (Wessing, 1999b).

Perbedaan hubungan dengan ular atau naga pada tingkat desa dan tingkat negara adalah bentuk hubungan antara naga dan pemimpin. Pada tingkat desa, pemimpin desa memiliki hubungan yang setara. Berbeda di tingkat negara, karena hubungan ini terwujud dalam pernikahan, naga berada di bawah pemimpin (Wessing, 2006). Namun, di sisi lain, sang pemimpin harus mengendalikan kekuatan (seksual) istrinya jika kerajaannya ingin makmur (Wessing, 1997b, 331-33; Poerwantana 1971; LAI 1994, 55).

Setelah terbentuk suatu negara atau desa, tentu saja hubungan dengan naga harus tetap dijaga, bahkan berlanjut ke para keturunannya. Pada tingkat negara maupun desa, upacara persembahan diadakan setiap tahun (Wessing, 1999a). Selain perayaan tahunan, pada level desa, para penduduk menjaga sopan santun kepada penjaga desa. Wujudnya berupa pemberitahuan jika hendak mengadakan acara tertentu, seperti pernikahan, khitanan, atau akan melakukan perjalanan jauh. Menjaga hubungan juga bertujuan agar negara atau komunitas tetap memperoleh kesuburan dan kesejahteraan.

Khususnya bagi masyarakat petani, ular menjadi makhluk yang sangat penting. Keberadaanya memiliki hubungan erat dengan asal-usul padi. Mitologi Jawa menggambarkan bahwa tanaman pokok dalam pertanian ini, terkait dengan kisah Retna Dumilah. Retna awalnya adalah perhiasan yang berubah menjadi Tishnawati atau Dewi Sri, Dewi yang dikenal luas sebagai Dewi Padi.

Karena itu bagi petani, keberhasilan panen sangat bergantung pada peran Dewi Sri. Keberadaannya kadang juga dikaitkan dengan kehadiran ular di sawah. Sebab ada kepercayaan bahwa Dewi Sri memiliki kemampuan untuk berubah menjadi ular. Karena itu, para petani melakukan ritual selama proses menanam padi hingga panen. Ritual ini dianggap sebagai bentuk penghormatan dan rasa terima kasih kepada Dewi Sri yang dianggap memiliki pengaruh besar terhadap hasil pertanian.

Secara keseluruhan, pandangan Orang Jawa terhadap tatanan kosmik dan hubungan mereka dengan dunia spiritual disimbolkan dengan ular atau naga, membentuk landasan kaya makna bagi kehidupan sehari-hari. Mulai dari mitos pertanian hingga struktur sosial. Sedangkan konsep tiga lapis dunia menjadi
panduan untuk memahami peralihan dan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat Jawa. Dengan demikian, warisan budaya ini memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana Orang Jawa memelihara keseimbangan antara alam, manusia, dan entitas spiritual, menciptakan fondasi yang kokoh bagi identitas dan kearifan lokal. []

 

 

Terpopuler

Rampog Macan dalam Kosmologi Jawa

Tradisi Jawa berupa pembunuhan harimau di area terbuka dikenal sebagai Rampog macan. Awalnya tradisi...

Puasa dalam Mitologi Jawa

Dalam mitologi Jawa, tokoh wayang Werkudoro atau Bima sering dijadikan simbol ketangguhan dan...

Kelamnya Sejarah Agraria Donomulyo

Sejarah agraria Donomulyo, Malang Selatan, sebagai potret ketimpangan sosial akibat relasi...

Menimbang Ulang Dualisme J.H. Boeke

Teori dualisme sosial-ekonomi J.H. Boeke berupaya menjelaskan tantangan pembangunan ekonomi di...

Involusi Pertanian di Jawa

Geertz menggambarkan involusi sebagai proses intensifikasi tenaga kerja tanpa inovasi teknologi atau...

Harimau Jawa, Riwayatmu Kini!

Harimau Jawa (Panthera tigris sondaicus) telah lama dinyatakan punah, namun jejaknya tetap hidup...

Penyihir dan Kontrol atas Tubuh Perempuan

Perempuan sakti di beberapa budaya dicitrakan negatif dalam politik ingatan. Mereka digambarkan...

Kemerosotan Tayub

Tayub merupakan tarian Jawa yang kontroversial karena nuansa erotik dan ritual mistisnya. Melalui...

Waranggana

Waranggana merupakan simbol perempuan Jawa yang kuat dan mandiri, berperan penting dalam ekonomi dan...