Desa Proyek Kolonial?

Desa di Jawa yang kita kenal saat ini merupakan hasil proyek kolonial yang melembagakan struktur administratif demi kontrol dan eksploitasi. Sebelum kolonialisme, desa Jawa memiliki sistem kekuasaan yang lebih cair dan kompleks, di mana otoritas tersebar melalui para perantara tanpa batas teritorial yang tegas.

Desa sebagai unit administratif yang kita kenal saat ini tak ubahnya proyek kolonial. Sebelum kedatangan bangsa penjajah, desa Jawa tidak memiliki otoritas tunggal seperti kepala desa maupun demarkasi wilayah yang jelas. Sistem desa Jawa pra-kolonial bertumpu pada jaringan kekuasaan yang kompleks, di mana otoritas desa tersebar melalui ‘para perantara’ tanpa terikat batas teritorial. Celakanya, kedatangan rezim kolonial melembagakan desa Jawa menjadi institusi seragam dan terkendali di bawah kontrol mereka.

Potret pelembagaan desa tersebut diungkap Jan Breman dalam The Village on Java and the Early Colonial State (1982). Melalui analisis historisnya, ia menyingkap bagaimana otoritas kolonial melembagakan desa Jawa lewat pembentukan institusi kepala desa dan penetapan demarkasi wilayah. Menurutnya, kedua langkah tersebut menjadi pondasi penting eksploitasi dan kontrol kolonial yang terlihat dalam sistem tanam paksa, pajak tanah, dan mobilisasi tenaga kerja. Semua itu terjadi bersamaan dengan upaya penaklukan kolonial atas Jawa selama abad 19.

Dalam menyuguhkan analisisnya, Breman memanfaatkan laporan kolonial dan historiografi lokal. Betapa pun laporan kolonial sarat akan bias, Breman menyadari dan menjadi perlu baginya untuk menghadirkan narasi dari bawah (historiografi lokal). Dalam konteks ini, temuan onghokham terkait situasi pedesaan Madiun abad 19 menjadi pijakan penting. Berbekal data inilah Breman menunjukkan bahwa institusi kepala desa dan demarkasi wilayah merupakan hasil politik kolonial yang menjadikan desa Jawa sebagai unit administratif seragam demi mempermudah eksploitasi.

Tidak Mengenal Institusi Kepala Desa

Breman menyatakan bahwa tidak ada bukti historis maupun konsep kultural masyarakat Jawa yang menyebut kepala desa sebagai otoritas tunggal mewakili masyarakat. Sebaliknya, otoritas desa Jawa pra-kolonial tersebar melalui para perantara yang menjadi penghubung antara penduduk lokal dengan kekuasaan supralokal. Sebaran perantara tersebut juga beragam dan kompleks di masing-masing wilayah.

Dalam laporan Boekhoudt, misalnya, terdapat nomenklatur untuk menyebut para perantara secara regional. Di Banten, Tegal, dan Rembang, mereka disebut loerah; di Priangan dan Krawang, dikenal patinggi; di Cirebon terdapat koewoe aris; sedangkan di Pacitan disebut demang atau panglawe. Boekhoudt menggambarkan para perantara ini sebagai tokoh berpengaruh dalam suatu wilayah atau pejabat kerajaan yang berfungsi dalam sistem patrimonial.

Bila dirunut secara hierarki pejabat, terdapat bekel sebagai pejabat terendah yang bertanggung jawab pada atasannya, yakni demang. Seperti dalam laporan Crawford kepada Raffles, Bekel bertugas mengumpulkan pajak, mengorganisasi tenaga kerja, dan mengelola hubungan antara masyarakat desa dengan kekuasaan supralokal. Namun di wilayah lain seperti Kedu, bekel bertugas mengawasi beberapa lingkup desa sebagai primus inter peres sekaligus (Baud, 1838).

Meski begitu, Breman menilai baik laporan Boekhoudt mapun Crawford kepada Raffles, keduanya telah menyederhanakan kompleksitas jaringan kekuasaan lokal. Sebab, terdapat elit lokal seperti priyayi yang juga berperan sebagai perantara. Di Madiun, seperti dalam amatan Onghokham, priyayi tidak hanya mengelola pajak dan tenaga kerja, tetapi juga memperkuat dominasi mereka di tingkat lokal. Bahkan dalam beberapa kasus, priyayi berkembang menjadi pemimpin regional.

Selain priyayi, Ong juga mencatat keberadaan jago sebagai figur kepemimpinan desa Jawa pada awal abad ke-19. Ia berfungsi sebagai perantara politik yang menjembatani kesenjangan antara kekuasaan supralokal dengan basis pedesaan.

Dengan begitu, keberadaan perantara yang beragam dan kompleks menggambarkan bagaimana struktur kekuasaan desa Jawa tidak pernah ditandai oleh otoritas tunggal. Ini dikarenakan para perantara lebih didasarkan pada hubungan patron-klien, bukan teritorial.

Melampaui Batas Teritorial

Selain tidak mengenal institusi kepala desa, Breman menyoroti bahwa desa Jawa pra-kolonial tidak terikat secara kaku pada basis teritorial. Tidak adanya batas-batas wilayah tersebut bukan berarti struktur desa sepenuhnya kacau. Baginya, desa Jawa yang melampaui batas teritorial menunjukkan hubungan sosial yang dinamis dan cair.

Ini dapat dilihat dari pola pemukiman desa yang biasanya terdiri dari desa inti yang dikelilingi oleh dusun-dusun kecil seperti dukuh atau cantilan. Dalam masyarakat Sunda, pola pemukiman lebih bervariasi, dengan seorang pemimpin bertanggung jawab beberapa kampung kecil tanpa hierarki yang dominan.

Bahkan di wilayah Cirebon, sistem solidaritas lokal seperti mancapat-mancalima atau sambung bau menunjukkan bagaimana desa-desa saling mendukung dalam konteks sosial dan ekonomi yang lebih luas. Oleh karena itu, Breman menegaskan jika desa lebih berfungsi sebagai kumpulan cacah (rumah tangga) yang berada di bawah pemimpin yang didasarkan bukan pada prinsip teritorial, melainkan hubungan personal.Begitupun dengan kepemilikan tanah. Bagi Breman, tanah tidak selalu terikat secara teritorial, melainkan mengikuti pemiliknya. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk memilih pemimpin yang mereka kehendaki, seperti tergambar dalam pepatah lama dari Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, akhir abad ke-19: “Tjitjing di mana, ngawoela ka mana soeka“—yang berarti “Tinggal di mana saja, mengabdi kepada siapa pun yang kau kehendaki.”

Desa Proses Politik Kolonial

Namun sayangnya, seperti diungkap Breman, kedatangan kolonial secara bertahap mengikis struktur desa Jawa tersebut bersamaan dengan upaya pelembagaan desa menjadi unit administratif seragam. Tahapan ini berlangsung sejak dimulainya kebijakan reorganisasi yang melingkupi perjalanan kolonial selama abad 19.

Breman menunjukkan, di bawah kepemimpinan Daendels, reorganisasi dilakukan untuk memperkuat kendali kolonial di tingkat lokal. Di Cirebon tahun 1809, reorganisasi ini berimbas pada pengangkatan dua pejabat desa: Koewoe (mantri) untuk desa besar dan Prenta (petinggi) untuk desa kecil—dengan enam hingga sepuluh rumah tangga. Dusun dengan kurang dari enam kepala keluarga digabungkan ke desa terdekat, dan penduduknya dipaksa pindah.

Saat peralihan kekuasaan kolonial belanda ke tangan integrum Inggris, intervensi administrasi di tingkat lokal semakin ditekan. Di bawah kepemimpinan Raffles, kebijakan pajak tanah (landrent) diberlakukan—yang secara bersamaan mewajibkan setiap desa memiliki Kepala Desa sebagai perantara pemungutan pajak sekaligus pegawai polisi negeri. Aturan ini tercantum dalam Instruksi Pendapatan tahun 1814.

Selain itu, kebijakan Raffles juga memperketat sistem pendataan penduduk. Setiap perpindahan individu harus dilaporkan, termasuk kedatangan dan kepergian warga desa. Breman menilai bahwa langkah ini menciptakan struktur desa yang lebih seragam dan terkendali, sekaligus mengurangi fleksibilitas hubungan sosial yang sebelumnya cair.

Sebagai contoh di Banten awal abad ke-19, terdapat peran mandur yang sebelumnya merupakan kepala suku yang ditunjuk oleh Sultan, lalu digantikan oleh Residen Kolonial. Bersamaan dengannya, sentraliasai penduduk dilakukan dan fungsi kepala desa mulai diterapkan. Sejalan dengan laporan pertengahan abad 19 yang menyebutkan bahwa mantan mandur diangkat oleh kolonial untuk mengisi jabatan kepala desa (Eindresumé, 1867).

Fenomena serupa terjadi di Priangan. Pada masa VOC, istilah “desa” bahkan tidak ditemukan sebagai unit teritorial yang terstruktur. Seorang Residen pada tahun 1857 menjelaskan bahwa tidak ada kepala desa. Laporan tersebut juga menggambarkan bahwa “petinggi”, yang sering kali menjabat merupakan orang luar. Mereka memegang kekuasaan atas loerah (wilayah administratif) yang tidak terbatas, dan bertanggung jawab atas beberapa kampung (Van Rees, 1867).

Bagi Breman, sistem administrasi kolonial memang sengaja dirancang untuk mengontrol penduduk pedesaan secara ketat. Bahkan, desa-desa baru ciptaan kolonial yang lebih terkonsentrasi, sering kali dikelilingi parit atau pagar, dengan hanya satu pintu masuk dan diawasi. Akses menuju ladang dibatasi untuk mempermudah pengawasan.

Sejalan dengan itu, Furnivall (1994) mencatat bahwa setelah landrent diberlakukan, sebagian besar desa-desa di Jawa mengalami proses penyeragaman. Dimana desa kemudian menjadi administratif tertutup, dengan tanah diikat dalam satu kesatuan yang terkontrol. Bahkan, selama proses ini, banyak desa yang dipisah, digabung, atau dinaikkan statusnya menjadi desa mandiri.

Kebijakan Raffles tersebut, secara tidak langsung meletakkan dasar bagi eksploitasi yang lebih sistematis. Van den Bosch, penguasa setelahnya menyempurnakan sistem pajak tanah melalui Tanam Paksa. Dimana petani dipaksa menyerahkan sebagian besar hasil panennya kepada pemerintah kolonial. Sejalan dengan argumentasi Robert van Niel (1964), yang menyatakan bahwa Bosch adalah pewaris utama sistem landrent. Di bawah tanam paksa itulah eksploitasi desa semakin terstruktur.

Seperti di Cirebon, kebijakan Bosch menyebabkan pertukaran tanah antar desa untuk menciptakan batas administratif yang lebih efektif. Sementara di Priangan, para petani diperintahkan untuk menyatukan rumah mereka menjadi kampung-kampung yang lebih tertib. Reformasi ini tidak hanya menghapus fleksibilitas sosial yang sebelumnya ada, tetapi juga memperkuat kontrol kolonial melalui pembatasan teritorial yang semakin ketat. Laporan tahun 1836 menyebut bahwa pemusatan perkampungan dilakukan secara sistematis (Eindresumé, 1886; Onghokham, 1975).

Barulah setelah Sistem Tanam Paksa dihapuskan, penetapan batas wilayah semakin diperketat. Melalui Domein-Verklaring atau undang-undang agraria kolonial (1870), survei tanah dilakukan untuk menetapkan demarkasi wilayah yang spesifik.   Seluruh Jawa disurvei dan dikelompokkan dalam kerangka desa dengan batas yang berdekatan. Akibatnya, Desa yang sebelumnya bersifat cair berubah menjadi unit administratif yang terkonsolidasi dan stabil.

Bahkan untuk mengoptimalkan program demarkasi tersebut, rezim kolonial mengeluarkan instruksi pada tahun 1879. Dimana Instruksi ini berisi bahwa semua tanah tak tergarap berada di bawah yurisdiksi kepala desa terdekat. Kepala Desa, yang sebelumnya menjadi pejabat administratif kolonial, memainkan peran penting dalam survei kadaster tersebut. Bagi Breman, proses penggabungan desa-desa berkembang pesat hingga awal abad ke-20

Dengan begitu, desa sebagai unit administratif yang kita kenal saat ini tak ubahnya proyek kolonial di masa silam. Pembentukan institusi kepala desa dan penetapan demarkasi wilayah merupakan hasil rekayasa politik kolonial sepanjang abad 19. Melalui analisis Breman, tampak jika desa Jawa di bawah rezim kolonial hanya dijadikan landasan utama pembangunan yang eksploitatif.

Terpopuler

Harimau Jawa, Riwayatmu Kini!

Harimau Jawa (Panthera tigris sondaicus) telah lama dinyatakan punah, namun jejaknya tetap hidup...

Penyihir dan Kontrol atas Tubuh Perempuan

Perempuan sakti di beberapa budaya dicitrakan negatif dalam politik ingatan. Mereka digambarkan...

Kemerosotan Tayub

Tayub merupakan tarian Jawa yang kontroversial karena nuansa erotik dan ritual mistisnya. Melalui...

Waranggana

Waranggana merupakan simbol perempuan Jawa yang kuat dan mandiri, berperan penting dalam ekonomi dan...

Desa Proyek Kolonial?

Desa di Jawa yang kita kenal saat ini merupakan hasil proyek kolonial yang melembagakan struktur...

Integrasi Kurikulum Nasional di Pesantren

Proses Integrasi kurikulum nasional di pesantren Indonesia dan Thailand Selatan mencerminkan dua...

Ragam Messianisme Di Indonesia

Messianisme di Indonesia mencerminkan keragaman budaya dan sejarah masyarakat yang meliputi...

Bakung 1967-1968: Potret Kelam Perang Pangan

Bakung 1967-1968 menggambarkan konflik antara Orde Baru (Orba) dan PKI yang menggunakan pangan...

Dukun Manten di Jawa

Dukun pengantin dalam tradisi pernikahan Jawa memainkan peran penting sebagai pembimbing spiritual...