
M.C Ricklefs dalam The Birth of the Abangan (2006) menyebut kajian Antropologi Islam Jawa sangat lemah dalam memanfaatkan data-data kesejarahan. Hasilnya, hasil studi tidak mampu memotret fakta masyarakat Jawa secara lebih utuh. Tulisan ini merupakan hasil perkuliahan Peta Kajian Islam Jawa di Prodi Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) yang diampu oleh Akhol Firdaus, Direktur IJIR UIN SATU Tulungagung.
Studi antropologi Islam Jawa ‘sangat lemah’ dalam memanfaatkan sumber-sumber kesejarahan. Hal ini dibuktikan salah satunya oleh studi atas abangan yang lebih didominasi data-data sosiologis daripada data kesejarahan. Hampir semua studi tentang abangan mengabaikan sumber-sumber kesejarahan yang berpotensi digali dari manuskrip abad ke-19 M ke belakang.
Antropolog Islam Jawa yang pertama kali mempopulerkan term abangan adalah Clifford Geertz dalam The religion of Java (1964). Ia membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kategori: abangan, santri dan priyayi. Segera setelah karya itu dipublikasikan, tiga kategori dianggap sebagai cara yang tetap untuk mengklasifikasikan masyarakat Jawa. Tanpa mengacu pada sumber-sumber sejarah,
Geertz meletakan posisi historisitas abangan dengan sewenang-wenang dan seolahseolah memiliki akar yang sangat panjang dalam sejarah Jawa. Padahal, kategori tersebut mungkin hanya berusia tidak lebih dari satu abad di beberapa tempat dan mungkin lebih pendek di tempat lain.
Model analisis Geertz tampaknya berkaitan dengan pendekatanya menggunakan analisis Weberian. Paul A. Erickson dan Liam D Murphy dalam A History of Antropological Theory (2018) menuliskan bahwa silsiah intelektual Geertz berasal dari Max Weber, seorang sosiolog terkemuka, dan berdampak pada penelitian dan
metode etnografisnya dalam menstudi Jawa yang menitikberatkan pada hubungan dan struktur sosial daripada data kesejarahan abangan.
Bagi Geertz, metode etnografis sangat efektif dalam mengungkap berbagai horizon atau jaring makna dalam sebuah masyarakat. Dalam karyanya The interpretation of Culture (1973) ia menuliskan, teknik itu merupakan instrumen yang canggih untuk memahamai teks budaya dalam kehidupan manusia yang tersimpul dalam perilaku dan hubungan praktis. Tetapi, tanpa dibarengi dengan membuka lembaranlembaran sejarah, hal itu terbukti kurang bisa memotret subjek penelitian secara utuh.
Putusnya sumber kesejarahan dalam penelitian Geertz, berpotensi buram dalam melihat kenyataan yang kontingen, terutama dalam hal ini terkait dengan diskursus abangan. Dalam teorinya, Geertz melihat abangan sebagai muslim nominal yang mempunyai tiga lokus kehidupan religius, yaitu slametan, kepercayaan terhadap roh dan peran penting dukun, serta lokus kehidupan sosial yang identik sebagai petani. Makna abangan dalam konteks penelitian Geertz mungkin tidak salah, tetapi jika kategori tersebut dianggap memiliki akar panjang dalam sejarah Jawa, maka
pandangan tersebut kurang tepat. Karena dalam sumber-sumber kesejarahan terminologi abangan bersifat sangat cair dan tidak berakar sangat lampau.
M.C Ricklefs dalam The Birth of the Abangan (2006) berargumen bahwa abangan sebagai kategori sosial-keagamaan muncul antara tahun 1847-1901. Hal ini dibuktikan pada edisi pertama kamus standar Jawa-Belanda karya J.F.C Gericke dan T. Roorda (1847:79) yang mengidentifikasi abangan menunjuk pada warna merah
dan merah tua. Tetapi, pada edisi terakhir yang muncul pada 1901, istilah abangan merujuk pada makna cemoohan kalangan ‘putihan’ untuk membedakanya dengan kelompok lain secara praktik keagamaan dan praktik sosial.
Kemunculan istilah tersebut menunjukan adanya perubahan signifikan dalam struktur sosial-keagamaan masyarakat Jawa. Hal itu karena pada awal abad ke-19 M, Islam terintegrasi dengan baik dalam praktik beragama orang Jawa. Catatan dari Residen Belanda, A.D Cornets de Groot dari Gresik pada 1822, menunjukan bahwa orang Jawa dari berbagai golongan menjalankan rukun Islam sebagai praktik beragama sehari-hari tanpa adanya kelompok yang bertentangan.
Hal ini berbanding terbalik dengan gejala yang terjadi pada pertengahan abad ke-19 M. Pada laporan Hoezoe dari Semarang pada 1855 menunjukan bahwa penggunakan istilah abangan dipakai untuk mengkategori kelompok muslim yang sekuler. Begitu juga kunjunganya terhadap komunitas Kristen di Majawarna pada 1861, istilah abangan digunakan mengidentifikasi kelompok muslim secara keseluruhan untuk dibandingkan dengan kelompok Kristen.
Selain informasi Hoezoe, laporan koran Jawa bernama Jurumartani pada 1867 menuliskan istilah abangan untuk membedakanya dengan kelompok putihan. Berita itu memotret kisah seorang pemuda abangan yang menjadi menantu seorang agamawan desa atau kyai. Cerita tersebut merupakan suatu peristiwa yang unik, pasalnya ada dua kelompok yang bertentangan secara soial bercampur dalam sebuah ikatan pernikahan.
Sejalan dengan keberadaan kedua laporan tersebut, dalam catatan Harthoon antara tahun 1856-1860 di daerah Majawarna dan Malang, revivalisme Islam di Jawa membuat penafsiran terhadap praktik-praktik Islam semakin ketat. Pertumbuhan putihan secara signifikan sesudah periode Haji Akbar membuat meraka merasa menjadi “orang suci” dan menyebut selain mereka sebagai abangan. Hal inilah yang menjadi akar lahirnya dikotomi putihan-abangan.
Selanjutnya, pada 1880an istilah abangan adalah istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi kelompok yang menolak reformasi Islam di Jawa. Reformasi yang ditandai babak baru Islam menimbulkan penolakan ekstrem oleh masyarakat Jawa. Tuntutan-tuntutan yang ketat dari gerakan reformasi membuat tidak siapnya masyarakat Jawa menerima dakwah para pembaharu. Mereka yang menolak kalangan reformis Islam inilah yang kemudian disebut sebagai abangan.
Perlu diketahui bahwa sejak pertengahan abad ke-19 M, telah terjadi ketegangan antara kelompok abangan-putihan, dan mencapai titik krusialnya pada 1880an. Di tahun itu, jumlah angakat haji terus meningkat. Tak hanya itu, pesantren juga semakin memiliki banyak murid. Dampak dari peristiwa adalah ajakan untuk menjalankan Islam secara lebih murni dan konservatif, dan hasilnya sebagian besar masyarakat Jawa justru menolaknya dengan keras.
Gambaran tersebut menyiratkan bahwa istilah abangan bersifat sangat cair, dan lahir dalam konteks kesejarahan yang terlalu lama dalam sejarah Jawa. Hal itu dibuktikan dari laporan para misionaris yang mendeskripsikan istilah abangan secara berbeda-beda di setiap daerahya. Fluiditas inilah yang tidak ditemukan dalam kajian Geertz maupun penstudi Islam Jawa sesudahnya.
Semakin jelas bahwa kepedulian terhadap sumber-sumber kesejarahan dalam studi antropologi Islam Jawa sangat menentukan kemampuan antropologi dalam menjelaskan kenyataan. Hasil studi Ricklefs sekaligus menegaskan betapa rapuhnya data sosiologis dalam menjelaskan keberadaan masyarakat Jawa, terutama terkait