Menunggu Datangnya Ratu Adil

Orang Jawa menggunakan konsep Ratu Adil sebagai pengharapan atas datangnya sosok penyelamat yang memulihkan keselarasan dengan alam dan kesentosaan. Diwarisi dari konsep Erucakra dalam tradisi Hindu-Jawa. Meski begitu, konsep tersebut terlalu abstrak. Karenanya diberi muatan makna baru melalui konsep Kristus Sang Juru Selamat dariajaran Kristen, dan konsep Imam Mahdi dariajaran Islam. Dalam sejarah, harapan akan datangnya Ratu Adil pernah diberikan kepada Pangeran Diponegoro. Melalui pemaknaan baru, Sang Pangeran adalah representasi Erucakra, Ratu Adil, dan Imam Mahdi pada saat bersamaan.

Masyarakat Jawa menghayati kehidupan sebagai upaya mencapai keselarasan dengan alam semesta yang seimbang dan statis. Namun dalam kenyataannya, di dunia yang serba modern keseimbangan absolut sangat sulit diwujudkan.

Inilah momen awal masyarakat Jawa memiliki harapan besar akan datangnya sosok Mesianis. Harapan ini terintegrasikan oleh budaya asing, yakni budaya Barat dengan sosok Kristus Sang Juru Selamat, serta Islam dengan kehadiran Imam Mahdi. Ekspektasi mesianik ini berdampak pada orientasi awal kesadaran ekologis masyarakat Jawa, lalu bertransisi menjadi pengharapan besar terhadap sosok yang telah terpesonifikasikan oleh budaya asing tersebut.

Dalam karya berjudul “Javanese Messianic Expectations: Their Origin and Cultural Context” (1959), Justus Maria Van der Kroef menjelaskan tujuan hidup masyarakat Jawa adalah mencapai homeostasis atau keselarasan dengan alam semesta. Hal ini tereJawantahkan dalam frasa Jawa berbunyi tata tentrem. Orang Jawa mengidealkan suatu tatanan alam yang tetap dan seimbang.

Oleh sebab itu, tugas keturunan dari para leluhur Jawa bukanlah untuk memajukan alam, melainkan hanya dituntut untuk melestarikan dan memastikan agar keadaannya tetap. Senada dengan petuah Jawa kuno: “Anak dan cucu harus mempertahankan segala sesuatu yang telah diwariskan oleh para leluhur. Ini bukan masalah adat istiadat mereka sendiri, tetapi adat istiadat para leluhur, dengan demikian mereka akan berdosa sebagai keturunan jika tidak mematuhinya.”

Bukanlah perkara mudah untuk menjaga serta melestarikan keseimbangan alam semesta. Bagi masyarakat Jawa sangatlah sulit diwujudkan di tengah dinamika perubahan zaman yang fana seperti saat ini. Perubahan-perubahan seperti perataan dan pembersihan rumah oleh pemerintah, pembangunan jalan baru, ataupun perubahan sistem pengenalan koin baru dalam bentuk mata uang sering ditafsirkan
sebagai gangguan terhadap keseimbangan alam. Bahkan, sebagian dari mereka menyebutnya sebagai tanda-tanda kiamat.

Drewes melihat kepercayaan masyarakat Jawa bahwa keseimbangan alam merupakan sesuatu yang rentan terganggu oleh perubahan, sehingga mereka perlu melakukan ritual-ritual tertentu seperti upacara slametan. Ini dilakukan sebagai tanggung Jawab mereka untuk menjaga dan memulihkan kondisi tatanan baru agar tetap seimbang (Drewes, 1925).

Meski demikian, di balik praktik ritual tersebut, Kroef menyaksikan adanya harapan besar masyarakat Jawa akan datangnya tanda-tanda penyelamat atau sosok Mesianis. Kehadirannya diharapkan dapat mengisyaratkan periode transisi menuju tatanan baru yang lebih seimbang dan selaras dengan alam semesta. Menurutnya, pengharapan ini didorong oleh sebuah kepercayaan yang menjadi bagian dari
kosmologi Jawa, yakni konsep adanya Mesianis Jawa.

Mereka meyakini Mesianis Jawa sebagai sosok pembawa perubahan menuju tatanan baru yang lebih ideal serta seimbang dengan alam semesta. Dengan kata lain mengakhiri ketidakseimbangan serta mendorong era baru yang lebih statis.

Bedasarkan tafsiran Kroef, kepercayaan masyarakat Jawa terhadap konsep Mesianis dipengaruhi oleh proses Hindunisasi Jawa di masa lalu. Pengaruh tersebut ditandai dengan penegasan konsep Mesianis Jawa melalui penggunaan istilah “Erucakra”, yang merupakan nama dengan nuansa Hindu. Kemungkinan, istilah ini baru digunakan pada masa dimulainya penyatuan antara pengaruh Hindu dengan kepercayaan masyarakat Jawa asli, beriringan dengan hadirnya gagasan Mesianis sebagai pembawa perubahan besar menuju tatanan ideal.

Selain konsep Erucakra, keyakinan kosmologi masyarakat Jawa juga dipengaruhi oleh doktrin ajaran Hindu tentang empat Yuga atau periode dunia. Pada periode akhir ajaran ini disebut sebagai Kaliyuga. Doktrin ini menggambarkan terjadinya kehancuran total, lalu disusul terbentuk tatanan baru yang sempurna. Sehingga bagi Kroef kepercayaan ini semakin memperkuat harapan masyarakat Jawa akan
kedatangan Erucarkra atau Mesianis Jawa yang mengantarkan transisi menuju keteraturan ideal setelah masa kekacauan.

Sayangnya, konsepsi Erucakra sangat jarang ditemui dalam catatan kesusastraan Jawa kuno. Bisa dikatakan konsepsi ini terbilang relatif abstrak. Namun, menurut Kroef seiring berjalannya waktu konsep ini kemudian melebur dengan konsep penguasa Jawa atau Raja Jawa, yang berperan sebagai wakil serta agen rekonstruksi keseimbangan alam semesta. Dalam pandangan masyarakat Jawa, para Raja diyakini
mampu menciptakan realitas yang menghubungkannya dengan leluhur kerajaan Hindu di India.

Hal ini menjadikan kedudukan sorang Raja sebagai tokoh sentral dan pemulih terbaik dari segala gangguan ketidakseimbangan alam. Mereka menyebutnya sebagai perwakilan dari ‘Ratu Adil’ yang membawa harapan akan hadirnya tatanan baru. Dalam sejarah kerajaan Jawa, Kroef menganggap prinsip kerajaan dan pemerintahan pada masa itu tampaknya tidak dapat dipisahkan dari implikasi sosok Mesianis.

Hampir keseluruhan para Raja utama Hindu-Jawa, mulai dari Erlangga yang memerintah dari tahun 1019 hingga 1049 M di sebagian besar Jawa Timur dan Jawa Tengah, hingga Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) sebagai raja pertama yang memerintah kerajaan Madjapahit (1294-1309 M), melihat diri mereka sebagai orang yang telah ditakdirkan oleh para dewa untuk mengakhiri masa-masa malapetaka akibat dari ketidakseimbangan alam semesta. Bahkan Kertaradjasa juga menamai dirinya sebagai “pelindung dunia yang jatuh dari surga”.

Proses penyatuan konsep Mesianis Hindu-Jawa berlanjut dengan terintegrasinya pengaruh budaya asing, yakni budaya Barat dan Islam. Kroef berasumsi bahwa orang-orang Barat memadukan konsep Mesianis Jawa dengan konsep Kristus, sehingga Kristus dipersonifikasikan sebagai Sang Juru Selamat. Asumsi ini dikuatkan dengan temuan Kroef tentang seorang penginjil Eurasia di Jawa Timur yang berhasil menarik beberapa pengikut dari orang Jawa dengan berkhotbah bahwa Kristus adalah Ratu Adil, sosok yang dinanti-nantikan kehadirannya oleh masyarakat Jawa.

Sementara itu, dalam proses Islamisasi di Jawa pada abad ke-15 M, Kroef berpendapat bahwa kehadiran agama Islam di Pulau Jawa membawa pandangan yang sama dengan Barat, tentang keyakinan terhadap Mesianis Jawa. Menurutnya, konsep Mesianis Jawa juga ikut terpersonifikasikan dalam ajaran Islam, yakni
dengan hadirnya konsep ‘Imam Mahdi’ sebagai sosok penyelamat di hari akhir. Ia menguraikan bahwa sejak kehadiran Islam, keyakinan masyarakat Jawa tentang Ratu Adil mulai terkonsolidasikan dengan konsep Mahdi. Drewes menjelaskan lebih lanjut bahwa bagi masyarakat Jawa pada masa itu, Ratu Adil telah dianggap sebagai wakil dari Imam Mahdi yang berkuasa di Mataram. Versi lainnya, Ratu Adil dibuat berasal dari keluarga yang sama dengan Nabi Muhammad SAW (Drewes, 1925). Hal ini menunjukkan telah terjadinya akulturasi antara kepercayaan masyarakat Jawa dan Islam dalam konteks harapan akan hadirnya sosok Mesianis.

Dalam versi Islam, kepercayaan akan Ratu Adil mencapai puncaknya pada Perang Jawa tahun 1825 M yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Peristiwa ini ditafsirkan oleh Kroef sebagai upaya aristokrasi Jawa untuk memulihkan tatanan lama, guna melawan penetrasi dan kontrol kolonialisme yang dianggap sebagai proses westernisasi dan sekularisasi terhadap kehidupan masyarakat Jawa.

Sejak awal, Diponegoro menganggap dirinya sebagai pemurni adat Jawa dan Islam. Pada situasi ini, Diponegoro dipandang baik sebagai representasi dari Mahdi maupun sebagai Erucakra, sekaligus merupakan personifikasi harapan masyarakat Jawa abad ke-19 M akan kehadiran Ratu Adil.

Dengan demikian, Kroef memandang fenomena harapan masyarakat Jawa yang dibangun dengan pelestarian akan keseimbangan alam, seolah-olah menyimpan harapan pada seorang sosok penyelamat. Namun pada kenyataannya, konsep yang ditemukan dalam Hindu-Jawa tentang Erucakra cenderung relatif abstrak dan tidak terpesnofilasikan dengan sosok apapun. Sehingga ia mencoba menemukan padanan maknanya melalui konsep ajaran Kristus Sang Juru Selamat serta pandangan Islam tentang kehadiran Imam Mahdi.

Betapapun demikian, amatan Kroef mampu memotret transisi kesadaran ekologis masyarakat Jawa. Berawal dari kesadaran menjaga alam bergeser menjadi kesadaran pengharapan terhadap sosok penyelamat alam, bahkan pengaharapan ini mencapai puncaknya dan melekat pada sosok Pangeran Diponegoro sebagai representasi Erucakra, Ratu Adil serta Mahdi pada saat bersamaan. []

Terpopuler

Rampog Macan dalam Kosmologi Jawa

Tradisi Jawa berupa pembunuhan harimau di area terbuka dikenal sebagai Rampog macan. Awalnya tradisi...

Puasa dalam Mitologi Jawa

Dalam mitologi Jawa, tokoh wayang Werkudoro atau Bima sering dijadikan simbol ketangguhan dan...

Kelamnya Sejarah Agraria Donomulyo

Sejarah agraria Donomulyo, Malang Selatan, sebagai potret ketimpangan sosial akibat relasi...

Menimbang Ulang Dualisme J.H. Boeke

Teori dualisme sosial-ekonomi J.H. Boeke berupaya menjelaskan tantangan pembangunan ekonomi di...

Involusi Pertanian di Jawa

Geertz menggambarkan involusi sebagai proses intensifikasi tenaga kerja tanpa inovasi teknologi atau...

Harimau Jawa, Riwayatmu Kini!

Harimau Jawa (Panthera tigris sondaicus) telah lama dinyatakan punah, namun jejaknya tetap hidup...

Penyihir dan Kontrol atas Tubuh Perempuan

Perempuan sakti di beberapa budaya dicitrakan negatif dalam politik ingatan. Mereka digambarkan...

Kemerosotan Tayub

Tayub merupakan tarian Jawa yang kontroversial karena nuansa erotik dan ritual mistisnya. Melalui...

Waranggana

Waranggana merupakan simbol perempuan Jawa yang kuat dan mandiri, berperan penting dalam ekonomi dan...