Tembang Parau Ledhek Jimbe

Jimbe adalah desa legendaris. Disebutkan dalam kitab Negarakertagama sebagai salah satu tempat peristirahatan Raja Hayam Wuruk Ketika berziarah ke Candi Simping, makam leluhurnya. Hingga 1990an akhir, Jimbe masih dikenal sebagai desa yang terus melahirkan Ledhek-Ledhek ternama. Kesenian tersebut memiliki ekosistem yang sehat. Kini, semua diambang kepunahan. Minat terhadap kesenian Tayub makin hilang, para senimannya juga tidak sejahtera. Kondisi ini seolah dibiarkan saja oleh pemangku kebijakan.

Kesenian Ledhek di Jimbe semakin meredup. Pamornya kini tidak sedahsyat dahulu. Jimbe pernah menjadi pusat Ledhek di Mataraman. Dulu bagi yang ingin menjadi Ledhek tidak ada tempat belajar selain di desa ini. Semua tidak lagi sama, sejak tahun 90-an kesenian di Jimbe mulai kehilangan jati dirinya.

Mulai redupnya Ledhek Jimbe salah satunya disebabkan oleh perubahan persepsi masyarakat terhadap profesi ini. Mereka hanya dipandang sebagai perempuan penghibur. Karena banyak para pelaku kesenian ini diambil sebagai istri atau selir para pejabat. Begitu juga pertunjukan Ledhek sendiri selalu identik dengan minuman beralkohol dan saweran.

Ledhek, sang maestro (Mbah Jonggor) berinisiatif untuk mengadakan festival lomba Ronggeng atau Ledhek. Sayangnya, sebelum festival sempat digelar sang maestro telah berpulang. Sebagai penghormatan atas jasanya, festival akhirnya digelar pada momen tujuh hari wafatnya. Mendiang Mbah Jonggor memang merupakan tokoh kunci di balik kesuksesan Ledhek Jimbe. Di tangannya pada tahun 70-an Jimbe menjadi pusat Ledhek di wilayah Mataraman. Jimbe pada saat itu memiliki hampir 80an Ledhek yang selalu siap hadir di panggung pentas.

Mbah Jonggor jugalah orang pertama yang memiliki inisiatif membuka sekolah Ledhek di Jimbe. Pada saat itu, ia melihat di Desa Jimbe banyak sekali perempuan namun kebanyakan mereka hanya berpangku tangan menunggu nasib. Karena memang tidak banyak juga perempuan yang mengenyam pendidikan. Sesaat setelah sekolah Ledhek didirikan, empat kelas diperuntukkan untuk menampung para calon Ledhek.

Saat itulah Jimbe mulai lekat dengan Ledhek dan iringan tembangnya. Jimbe lantas dihujani berkah dari pertunjukan seni tersebut. Desa dengan Ledhek terbanyak ini menjadi wilayah yang makmur. Jika dulu di wilayah lain belum ada televisi, lain halnya di Jimbe, umumnya di sana beberapa rumah telah memiliki media hiburan tersebut.

Berlimpahnya kemakmuran di Desa Jimbe karena pertunjukan Ledhek pun menyebabkan masalah yang tidak terduga. Masih dalam ingatan Tunas, keadaan itu memicu permasalahan antar desa. Gemerlap Ledhek memicu kecemburuan sosial dari desa lain. Terutama dari desa seberang timur sungai. Hal itu tidak merisaukan Mbah Jonggor dan para Ledheknya. Mbah Jonggor tetap berusaha menjaga pertunjukan Ledhek agar lestari.

Usaha penuh dengan kesukaran dan bahaya telah terlewati hingga berujung pada tahun 2016 saat festival Ledhek yang terakhir diadakan. Festival Ledhek se-Kabupaten Blitar berhasil digelar dengan diikuti 44 peserta dari 22 kecamatan. Sementara kesenian ini kembali ramai, pemangku kekuasaan di Desa Jimbe sendiri malah kurang antusias. Untuk tetap menghidupkan kesenian ini, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menyarankan untuk menggelar pertunjukan Ledhek di tempat lain.

Dinas juga merekomendasikan kepada anak didik Mbah Jonggor untuk membuka kembali pelatihan Ledhek di Jimbe. Karena sekolah Ledhek telah lama kehilangan peminatnya. Dinas bahkan mengatakan akan siap membiayai segala keperluan Tidak ada jalan untuk menagih janji kepada pemangku kebijakan. Akhirnya segala keperluan pelatihan disiapkan sendiri. Setiap minggu siang, beberapa orang yang mengikuti pelatihan mengumpulkan iuran seikhlasnya dari 5000 hingga 10 .000 Rupiah. Terkadang Mbah Karmi sendiri yang membiayai segala keperluan
pelatihan.

Berdasarkan catatan sejarah, Jimbe dan Ledhek memang tidak terpisahkan. Desa Jimbe sendiri merupakan wilayah istimewa di Mataraman yang pernah muncul dalam kitab Negarakertagama. Disebutkan dalam kitab Negarakertagama bahwa ketika Hayam Wuruk berziarah ke Candi Simping, pendiri Majapahit itu terlebih dahulu singgah untuk menghibur hati di suatu wilayah bernama Jimbe sebelum berangkat ke makam leluhurnya.

“Ndan ri çakha tri tanu rawi riɳ weçaka, çri natha muja mara ri palah sabhrtya, jambat siɳ ramya pinaraniran / lanlitya, ri lwaɳ wentar mmanuri balitar mwaɳ jimbe. [Tahun Saka tiga badan dan bulan Waisaka (1283), Baginda raja berangkat menyekar ke Palah, Dan mengunjungi Jimbe untuk menghibur hati, Di Lawang Wentar, Blitar mententeramkan cita.

Beberapa versi lain menyebutkan bahwa nama kawasan yang terletak di Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar ini berasal dari nama keris Empu Supo. Nama keris itu adalah Umyang Jambe namun banyak orang menyubutnya sebagai Umyang Jimbe. Keris yang konon sakti mandraguna ini selalu dicari oleh orang-orang yang memiliki kemampuan spiritual.

Meski begitu, saat ini pusaka tersebut telah diamankan dalam sebuah bangunan kecil. Ini karena saat tragedi pahit di tahun 1965 hampir semua situs tersapu bersih oleh vandalisme. Lokasinya tidak jauh dari rumah Tunas, narasumber sekaligus anak dari mendiang Mbah Jonggor sendiri. Tunas mengatakan, sebelumnya lokasi ini sangat wingit namun kini berbeda karena sudah banyak bangunan perumahan di sekitar lokasi. Bangunan kecil yang berisi rekam jejak Umyang Jimbe bahkan berdiri berhadapan dengan Mushola milik warga. Di sebelah baratnya juga masih terdapat aliran anak sungai yang menandakan bahwa lokasi itu dulunya pernah digunakan untuk melakukan tapabrata.

Seorang Ledhek yang hendak berpentas biasanya juga menghabiskan waktu di sana. Seperti seorang cucu yang meminta restu pada leluhurnya, seorang Ledhek yang meminta restu konon juga akan memiliki aura berbeda karena telah diberkahi kekuatan mistis dari moyangnya, yakni Mbah Umyang Jimbe.

Dalam suatu kesempatan diskusi, Akhol Firdaus, Direktur IJIR UIN SATU, melihat fenomena ancaman kesenian-kesenian berdimensi magis tersebut berakar pada tata kelola kesenian yang memang salah kaprah sejak awal, selain juga karena arus pengagamaan dan konservatisme. “Sudah pasti, Ledhek atau kesenian-kesenian lain yang berdimensi magis mengalami episode surut karena telah lama menjadi obyek pengagamaan (religionization) yang berlangsung panjang. Belum lagi strategi penundukan dalam bentuk normalisasi selama Orde Baru berkuasa,” jelas Akhol dengan nada menggugat.

Meski begitu, faktor penting yang mempercepat kepunahan kesenian-kesenian tersebut adalah aspek tata kelola kesenian, dan supporting system yang diciptakan oleh pemangku kebijakan. Lebih jauh Akhol mengatakan, “pemangku kebijakan, dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, hanya gemar menerbitkan nomor induk kesenian dengan segenap formalismenya daripada mendukung para seniman dalam membangun ekosistem yang sehat.” Pendek kata, kesenian itu memang ‘dibuat’ punah secara perlahan. []